Integrasi Peta Kelar 99 Persen, Pekerjaan Berat Sinkronisasi Dikerjakan

- Editor

Sabtu, 23 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pelaksanaan integrasi satu peta telah mencapai 99 persen atau kurang satu data peta tematik peta batas administrasi desa dari total 84 peta tematik yang dipegang oleh 19 kementerian/lembaga.

Pelaksanaan kebijakan satu peta kini memasuki tahap sinkronisasi informasi-informasi geospasial antarwalidata peta tersebut. Proses ini diprediksi akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan integrasi yang kini mencapai 99 persen atau kurang satu data peta tematik peta batas administrasi desa dari total 84 peta tematik yang dipegang oleh 19 kementerian/lembaga.

74f08dc5-36e1-453a-85a7-08356e9f6c3c_jpg-720x407KOMPAS/BADAN INFORMASI GEOSPASIAL–Perkembangan sinkronisasi dan identifikasi informasi geospasial tematik terkait tumpang tindih pemanfaatan lahan di Indonesia. Bahan dari Kepala Badan Informasi Geospasial Hasanuddin Z Abidin pada 22 November 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin, Jumat (22/11/2019), di Jakarta, mengatakan, jaringan informasi geospasial nasional (JIGN) sudah terbentuk dan sebagian besar telah tersambung dalam geoportal. Artinya, informasi geospasial antar-kementerian/lembaga tersebut telah saling terhubung dan dipakai oleh kementerian dan pemerintah daerah. Hanya saja, diakui, data peta tersebut tidak dibuka ke publik—kecuali peta kebencanaan—karena masing-masing memiliki walidata pada kementerian.

Setelah informasi-informasi geospasial ini terkumpul, proses selanjutnya, yaitu proses sinkronisasi data, akan lebih sulit. Ini karena terkait penyelesaian ”ketelanjuran” pemberian izin-izin antarsektor ataupun dengan pemerintah daerah dan wilayah ulayat.

”Sinkronisasi agak lama karena aspeknya banyak dan macam-macam, misal kalau izin usaha pertambangan bertampalan (beririsan/tumpang tindih) dengan izin usaha perkebunan dan di sisi lain, pemilik izin sudah investasi, jadi ini bagaimana penyelesaian,” katanya.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Hasanuddin Z Abidin

Permasalahan-permasalahan ini kini sedang dikoordinasikan penyelesaiannya dan disusun tata cara sinkronisasinya oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Sekretariat Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta. Hasil identifikasi, tumpang tindih terbesar terjadi di wilayah Maluku dan Papua yang mencapai 15,3 juta hektar atau 31,2 persen dari luas Maluku dan Papua.

Ia menjelaskan, tumpang tindih tersebut terjadi karena izin-izin diterbitkan dengan menggunakan peta yang satu sistem dan satu standar. Karena izin menggunakan skala sangat kecil atau tidak detail, proses di lapangan, batas antar-izin tersebut menjadi beririsan.

Secara terpisah, Juru Kampanye Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (JPIK) Muhamad Ichwan menyebutkan, tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur sangat tinggi. Pada laporan JPIK terbaru, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari: Dari Legalitas Menuju Keberlanjutan—tumpang tindih tersebut mengancam operasional perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu—hutan alam (IUPHHK-HA) di kedua provinsi tersebut. Dari total 7,2 juta ha konsesi IUPHHK-HA, sekitar 2,6 juta ha atau 30 persen tumpang tindih dengan pertambangan, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI).

Peta rupa bumi
Karena itu, kini setiap kementerian/lembaga agar menggunakan peta dasar yang sama, yaitu peta rupa bumi, untuk menerbitkan perizinan agar tak terjadi lagi tumpang tindih lokasi pemberian izin. Badan Informasi Geospasial mensyaratkan peta rupa bumi skala 1 : 5.000 untuk penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR), batas desa, infrastruktur, dan lain-lain.

Namun, penyusunan peta berskala besar ini membutuhkan anggaran relatif sangat tinggi, yaitu Rp 7 triliun- Rp 9 triliun. Peta 1 : 5.000 ini menjadi modal dalam perencanaan pembangunan infrastruktur ataupun pembangunan lain.

kompas_tark_13631576_156_0-720x405.jpegKOMPAS/IWAN SETYAWAN–Fasilitas pembuatan peta yang tersedia di laman Badan Informasi Geospasial

Di satu sisi, kata Hasanuddin, Presiden Joko Widodo meminta perizinan dipercepat. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau PP One Single Submission (OSS), izin bisa dipercepat jika proyek tersebut ada dalam RDTR. Di sisi lain, penyusunan RDTR membutuhkan peta 1 : 5.000.

”Saya khawatir tiap-tiap orang tidak bisa menunggu, lalu masing-masing bikin peta sendiri-sendiri dan kembali ke onemap policy zaman dulu. Lalu, ketika dilaksanakan terjadi tumpang-tindih yang baru dirasakan dalam tahun-tahun mendatang,” katanya.

Peta detail 1 : 5.000 merupakan modal dalam penyusunan perencanaan yang akurat dan tepat. Muhamad Ichwan mencontohkan, apabila luas lahan baku sawah yang seharusnya menggunakan peta 1 : 5.000 tetapi menggunakan peta skala yang kecil, akan terjadi kesalahan pada luasan di lapangan sehingga berdampak pada alokasi pemberian subsidi pupuk dan bantuan peralatan yang ujungnya ”merugikan” negara.

”Banyak yang belum paham bahwa pemerintah itu kalau spent maksimal Rp 9 triliun itu bisa mengantisipasi kehilangan beberapa triliun. Loss karena peniadaan peta skala besar ini jauh dari spent yang dikeluarkan,” ujarnya.

Hasanuddin mengatakan, pihaknya sedang mempelajari kemungkinan-kemungkinan memenuhi kebutuhan permintaan peta skala tinggi ini melalui kerja sama dengan lembaga non-pemerintah, baik asing maupun Indonesia. ”Banyak negara mau bantu, tapi saya tahan dulu untuk dipelajari karena aturan belum kuat terkait (kerja sama) pemerintah dan non-pemerintah nasional atau asing dalam penyelenggaraan informasi geospasial,” katanya.

Sementara terkait program Satu Data Indonesia, BIG bersama Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan sedang pada tahap awal untuk integrasi. Pada tahap awal, mereka mengejar pemenuhan data terintegrasi untuk data terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). ”Integrasikan data ini tidak gampang serta baru mulai koordinasi dan membersihkan data,” ujarnya.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 22 November 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB