Industri Hanya Butuh Keringanan, Bukan Potongan Besar
Rencana pemerintah memberikan insentif khusus bagi badan usaha berbasis riset masih menunggu persetujuan Kementerian Keuangan. Insentif seperti pengurangan pajak dinilai akan memikat industri dalam negeri memperkuat risetnya demi menghasilkan nilai tambah, yang berdampak pada kemandirian bangsa.
Secara khusus, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana membicarakan hal itu dengan Kementerian Keuangan. ”Saya ingin ada laporan dari industri, seberapa besar kontribusi riset dalam mengembangkan produknya. Tujuannya, mengetahui bagaimana Indonesia memperhatikan riset,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Kamis (29/1), seusai penandatanganan kerja sama antara PT Dexa Medica dan Kemristek dan Dikti di Gedung Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nasir melanjutkan, berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut, pihaknya akan membicarakan bentuk insentif riset yang mungkin diterapkan bagi industri dengan Kementerian Keuangan. Salah satu bentuk insentif yang digagas adalah pengurangan pajak penjualan produk hasil riset yang diekspor, sehingga industri-industri akan tertarik mengadakan riset berkualitas internasional.
Staf Ahli Menteri Ristek dan Dikti Bidang Kesehatan dan Obat L Broto Sugeng Kardono menambahkan, ketentuan tentang insentif riset sebenarnya sudah ada sejak delapan tahun lalu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. Pasal 6 ayat 2 menyebutkan, insentif bagi badan usaha yang membuat pengalokasian itu dapat berupa insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan.
”Peraturan ada, tinggal implementasinya. Itu butuh peraturan yang lebih teknis dari Kementerian Keuangan,” ujar Broto. Ia memaklumi itu tidak mudah mengingat kementerian ini bertugas memastikan keuangan negara tetap stabil sehingga harus memperhitungkan kehilangan pemasukan.
Keringanan biaya
Meskipun sulit, ada perkembangan terkait pemberian insentif riset, yakni keringanan biaya pemeliharaan paten. Setelah memperoleh paten, para peneliti pemilik paten dibebani biaya untuk memelihara paten, sekalipun hasil risetnya belum berhasil masuk ranah komersial, sehingga memberatkan.
Mulai Januari 2015, khusus bagi hasil riset yang dipatenkan tetapi belum dimanfaatkan industri, ada pembebasan biaya untuk memelihara paten. Setidaknya lima tahun.
Nasir mengatakan, salah satu riset industri yang perlu diberi kemudahan adalah riset obat yang mengutamakan pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia. Melalui sumber bahan dari dalam negeri, ongkos produksi obat bisa ditekan dibandingkan menggunakan bahan impor. Ia mengapresiasi PT Dexa Medica yang gencar meneliti manfaat bahan obat dari bahan alam Indonesia dengan adanya fasilitas DLBS.
Presiden Direktur PT Dexa Medica Ferry Soetikno menuturkan, dalam lima tahun terakhir, dana riset dan pengembangan perusahaannya meningkat 25 persen setiap tahun. Dana tersebut untuk membiayai penelitian dan fasilitas/infrastruktur penunjangnya, seperti investasi gedung dan peralatan.
Direktur Eksekutif DLBS Raymond R Tjandrawinata menambahkan, PT Dexa Medica mengeluarkan dana riset dan pengembangan setidaknya Rp 130 miliar- Rp 150 miliar per tahun untuk menghasilkan beberapa produk. Dari biaya riset, ada beban pajak sekitar 10 persen, seperti untuk membiayai pajak jasa penggunaan laboratorium dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) di rumah sakit selama uji klinis. ”Kami tidak mengharapkan pengurangan komponen pajak yang besar, cukup keringanan pajak untuk penelitian,” ucapnya. (JOG)
Sumber: Kompas, 30 Januari 2015