Pada 25 Juni 2019, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 45/2019). Regulasi itu didasarkan pada kebijakan yang dikenal publik dengan istilah ”insentif pajak super”.
Insentif tersebut diberikan dalam bentuk pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak (WP) yang melakukan kegiatan penanaman modal dengan kriteria tertentu. Diskon itu diperoleh dari pengurangan biaya dari penghasilan bruto, atau dari pengurangan PPh terutang.
Selain diberikan terhadap penanaman modal dengan kriteria tertentu, insentif PPh juga diberikan kepada WP yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia. Kebijakan ini sejalan dengan studi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang menyimpulkan kegiatan riset dan pengembangan dapat menghasilkan teknologi yang mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, menyelesaikan masalah sosial, dan pada akhirnya meningkatkan taraf hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konsiderans PP 45/2019, pemerintah menegaskan, insentif PPh ini merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk mendorong dunia usaha dan industri dalam melakukan kegiatan riset dan pengembangan. Secara konseptual, insentif PPh merupakan bentuk dukungan tak langsung pemerintah terhadap kegiatan riset dan pengembangan, di samping dukungan langsung berupa pendanaan riset (Abdellatif: 2009, 138).
Layaknya sebuah kebijakan payung, insentif PPh yang diatur dalam PP 45/2019 memerlukan petunjuk pelaksanaan dan teknis. The devil is in the detail. Dalam literatur, sekurang-kurangnya terdapat tiga aspek desain kebijakan yang perlu diatur. Pertama, bentuk insentif PPh. Di Indonesia, insentif PPh diberikan dalam bentuk pengurangan biaya dari penghasilan bruto, dan bukan kredit pajak seperti berlaku di AS dan Australia.
Besaran maksimum biaya kegiatan riset dan pengembangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar 300 persen (Pasal 29C PP 45/2019). Di Singapura, jumlah ini adalah 250 persen (Section 14D jo. 14DA Income Tax Act).
Belum diatur
Ketentuan itu belum mengatur jenis biaya riset dan pengembangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Secara konseptual, jenis biaya riset dan pengembangan meliputi biaya operasional (gaji, barang habis pakai, dan pelatihan), dan biaya modal (seperti mesin, bangunan, dan fasilitas riset).
Di Singapura, biaya modal dikecualikan dari biaya riset dan pengembangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak (Section 14D jo. Section 14DA Income Tax Act), kecuali biaya modal yang diatur dengan atau berdasarkan ketentuan Section 19 jo. Section 19A jo. Section 19C Income Tax Act.
Selain itu, ketentuan yang terdapat pada Pasal 29C PP 45/2019 juga belum mengatur tentang sifat insentif. Secara konseptual, insentif PPh untuk kegiatan riset dan pengembangan dapat diberikan untuk seluruh biaya yang dikeluarkan WP, atau disesuaikan dengan kenaikan inkremental dari biaya yang dianggarkan oleh WP (OECD: 2002, 16). Di AS, kredit pajak diberikan secara inkremental sebesar 20 persen dari selisih antara biaya riil dan jumlah tertentu (base amount), yang dihitung berdasarkan ketentuan Section 41 Internal Revenue Code.
Kedua, definisi riset yang dapat diberikan insentif PPh. Pasal 29C PP 45/2019 hanya mengatur insentif PPh diberikan untuk kegiatan riset dan pengembangan ”tertentu.” Sebagai perbandingan, di Inggris, ”riset dan pengembangan” tidak didefinisikan secara khusus, tetapi disesuaikan dengan definisi di Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), ditambah dengan kegiatan appraisal dan eksplorasi minyak dan gas bumi (Section 437 (2) Capital Allowances Act 2001).
Sebaliknya, riset dan pengembangan yang dapat diberikan kredit pajak di Australia bersifat spesifik, yaitu terdiri atas kegiatan riset dan pengembangan inti, dan kegiatan riset dan pengembangan pendukung (Section 355-25 Income Tax Assessment Act 1997).
Secara vertikal, definisi riset dan pengembangan yang dapat memperoleh insentif PPh perlu mencakup jenis penelitian yang relevan dengan industri yang ada di Indonesia. Misalnya, riset inovatif. Secara horizontal, definisi itu perlu mengidentifikasi sektor-sektor yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai industri. Misalnya, riset dan pengembangan kendaraan berbasis listrik yang telah diatur dengan PP No 55 Tahun 2019.
Ketiga, persyaratan khusus pemberian insentif PPh. Pasal 29C PP 45/2019 belum mengatur syarat subyektif dan obyektif yang mampu menjustifikasi pemberian insentif PPh. Menurut OECD (2002: 30), pemberian insentif PPh untuk kegiatan riset dan pengembangan perlu memperhatikan lokasi pelaksanaan kegiatan riset dan pengembangan, tingkat penggunaan komponen dan tenaga kerja dalam negeri, manfaat penelitian yang dapat dieksploitasi, dan kepemilikan hak atas kekayaan intelektual yang timbul dari kegiatan riset dan pengembangan tersebut.
Pada prinsipnya, kegiatan riset dan pengembangan yang memperoleh insentif PPh dilakukan di negara pemberi insentif PPh (OECD: 2002, 30). Prinsip itu terkait dengan hak negara itu untuk memungut PPh terhadap perusahaan atas laba usaha yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa yang dikembangkan dari riset yang diberikan insentif PPh.
Prinsip ini dapat dikecualikan jika badan yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan itu memiliki kegiatan usaha (perdagangan) di negara pemberi insentif PPh, atau jika badan tersebut melakukan kegiatan riset dan pengembangan berdasarkan suatu kontrak pekerjaan (contract research).
Sementara itu, negara pemberi insentif PPh juga sepatutnya memperoleh manfaat dan hak atas kekayaan intelektual yang dihasilkan dari riset dan pengembangan yang diberikan insentif PPh. Sekurang-kurangnya, hak atas kekayaan intelektual yang diperoleh dari riset dan pengembangan yang memperoleh insentif PPh wajib dimiliki WP dalam negeri sehingga negara itu tetap dapat memungut PPh atas royalti yang timbul dari eksploitasi atau pemberian lisensi atas hak tersebut. Untuk itu, perlu ada larangan pengalihan atau penjualan hak tersebut ke WP luar negeri.
Akhirnya, pengaturan mengenai ketiga hal di atas terkait erat dengan arah kebijakan riset dan pengembangan yang ingin dicapai pemerintah. Sesuai konsep yang ditawarkan OECD, kebijakan itu dapat diarahkan pada pengembangan sektor industri tertentu, seperti sektor industri komunikasi, dan sebagainya.
Selain itu, kebijakan tersebut juga dapat diarahkan pada peningkatan partisipasi pada kegiatan riset dan pengembangan, misalnya oleh UMKM. Terakhir, pemerintah perlu waspada terhadap praktik pengelakan pajak, misalnya klaim biaya yang tidak berkaitan dengan kegiatan riset dan pengembangan.
Adrianto Dwi Nugroho Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM; Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia
Sumber: Kompas, 14 Oktober 2019