Inovasi dalam Revolusi 4.0

- Editor

Senin, 17 September 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Astrofisikawan Roger Penrose pernah mengatakan alam semesta ini terdiri atas tiga bagian: alam fisik, alam mental, dan alam matematika.

Dalam pengamatan saya, ketiga hal itu memiliki peran dominan berurutan dalam mengatur hidup manusia seiring perkembangan zaman. Di era prasejarah sampai 10.000 tahun lalu hidup manusia ditentukan oleh dinamika alam fisik, seperti gempa, gunung meletus, dan perubahan iklim. Sebagian manusia musnah dan sebagian berpindah karenanya. Pada 10.000 tahun terakhir, setelah ditemukannya pertanian menetap, sejarah hidup kita diatur oleh alam mental berupa keserakahan segelintir penguasa dan penaklukan sehingga melahirkan perbudakan, kolonialisme, dan perang besar hingga kini.

Namun, pada 40 tahun belakangan ini kehidupan manusia kian ditentukan oleh alam matematika. Ini adalah era ketika imajinasi dan kemampuan matematika segelintir orang di sebuah laboratorium kampus atau garasi mobil di Silicon Valley kemudian diterjemahkan menjadi algoritma. Dari pojokan-pojokan sempit itu orang-orang ini bisa mengatur mulai dari cara kita berbelanja, bercinta, berbudaya, berbangsa, dan bahkan bernegara. Hanya dalam hitungan bulan. Hanya dalam kurun waktu yang singkat, beragam teknologi baru bermunculan. Mulai dari kecerdasan buatan, Data Raksasa, komputasi kognitif, media sosial, komputasi awan, Serba Internet, hingga teknologi Blockchain yang memungkinkan demokratisasi akses data.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seorang mahasiswa Indonesia di Oxford bahkan pernah mengingatkan saya setidaknya ada tiga hal yang akan saling bersaing mengisi ruang-ruang hidup publik dan pribadi kita tahun-tahun mendatang. Pertama, kemajuan ilmu komputer yang memungkinkan mesin cerdas mengambil alih sebagian pekerjaan manusia melalui kecerdasan buatan dan mesin pembelajar.

Kecepatan komputer terus meningkat mengikuti hukum Moore dengan fungsi yang kian mendekati otak manusia. Saat ini, otak manusia yang tersusun atas sekitar 100 miliar neuron dan kecepatan sinyal 120 meter/detik tak lama lagi akan dilampaui oleh superkomputer yang memerlukan 100 kali lebih sedikit transistor, tetapi beroperasi 20 juta kali lebih cepat.

Yang tak kalah dramatis, kemajuan neuroscience (ilmu saraf) yang sedang berusaha mengunggah kesadaran (memori dan rasa) manusia ke perangkat digital sehingga memungkinkan kesadaran manusia melampaui batasan-batasan fisik.

Teknologi ketiga yang segera muncul adalah kemajuan rekayasa genetik yang memungkinkan lahirnya manusia serba super dan serba sehat tanpa meninggalkan tubuh fisiknya. Pertanyaan besarnya, ke mana arah gelombang transformasi ini akan membawa masyarakat?

Sementara beragam persoalan warisan masa lalu seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, ancaman bencana ekologis, dan terorisme tak terhindarkan ikut membesar bersama gelombang itu. Reka masa depan juga tak selalu menyenangkan. Bahkan dalam beberapa hal kontradiktif. Perpecahan sosial terbuka lebar di mana-mana, justru di saat setiap orang dengan mudah terhubung satu sama lain. Imaji kenyamanan oleh pelayanan mesin-mesin cerdas dan otomasi hadir bersamaan dengan ancaman pendalaman ketimpangan akibat hilangnya lapangan kerja.

Alih-alih untuk pesimistis, gelombang perubahan ini akan memberikan inspirasi dan menemukan cara baru dalam melihat, menafsirkan, dan mengatasi tantangan yang menyertainya. Syaratnya adalah kepemimpinan politik yang visioner yang ditopang jejaring masyarakat berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari kampus sampai kampung, dari dunia hingga desa.

Konektivitas ke kolektivitas
Kapasitas untuk memecahkan masalah harus didorong semakin besar agar mampu memberikan jawaban yang seimbang atas persoalan yang kian kompleks. Kecerdasan kolektif adalah cara terbaik menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan lingkungan, sosial, ekonomi, dan teknologi.

Konektivitas adalah kunci kolektivitas. Pembangunan infrastruktur konektivitas antarmanusia dan antarwilayah adalah hal yang dibutuhkan sebelum kita mampu secara kolektif menjawab tantangan era digital. Di era Presiden Joko Widodo, 2.621 kilometer jalan berhasil dibangun, di mana 568 kilometer di antaranya jalan tol yang panjangnya hampir setara dengan capaian 32 tahun pembangunan (1982-2014). Sementara proyek Palapa Ring yang membentangkan kabel serat optik sejauh 36.000 kilometer juga dipastikan tuntas akhir tahun ini. Artinya, akses internet dan komunikasi kualitas tinggi, aman, dan murah akan menjangkau setiap wilayah Indonesia, sekaligus memastikan 132,7 juta warga digital baru hadir di dunia maya menyusul sekitar 50 persen rakyat Indonesia yang sudah lebih dulu mengakses internet.

Inovator besar, Nikola Tesla, dalam sebuah wawancara tahun 1926 pernah mengungkapkan visinya tentang masa depan, bahwa ”ketika nirkabel telah sempurna diterapkan, bumi akan menjadi selayaknya otak berukuran raksasa, di mana segala sesuatu di dalamnya akan menjadi partikel yang bergetar secara utuh dan berirama”. Indonesia hari ini, dalam metafor Tesla, layaknya otak anak-anak yang akan segera menginjak masa remaja. Sebuah fase di mana terjadi penebalan yang penting dari materi abu-abu di otak (tempat pemrosesan informasi) akibat koneksi antar sel-sel otak (neuron) yang tumbuh masif. Proses inilah yang memastikan si anak mampu bertahan hidup di lingkungan apa pun dan melalui keadaan apa pun yang ditemuinya kemudian.

Penggenjotan infrastruktur fisik dan digital selayaknya membangun konektivitas antar-100 miliar neuron x 265,4 juta otak kolektif bangsa Indonesia. Dari sini akan terbentuk jejaring kompleks kolaborasi produksi dan inovasi antarwilayah maupun antarneuron-neuron kreatif yang 63,36 juta di antaranya merupakan generasi milenial. Konektivitas fisik dan digital jadi perwujudan yang sesungguhnya dari persatuan Indonesia. Konektivitas yang meruntuhkan tembok geografis, sosial, dan kultural yang memisahkan, serta memberi kesempatan yang sama kepada tiap-tiap pandu bangsa untuk memiliki akses sumber daya alam dan digital, serta berkontribusi terhadap proses perubahan, pengelolaan, dan kemajuan negara.

Dengan demikian, tak sepatutnya kita ragu mengarungi gelombang transformasi sosial dan ekonomi di era digital. Oleh karena itu, perombakan kebijakan publik di sejumlah sektor vital seperti pendidikan, riset, perdagangan, dan kewirausahaan perlu segera dilakukan. Sistem pendidikan nasional, misalnya, harus membekali anak didik dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis serta keterampilan teknologi yang dibutuhkan di era digital. Tenaga kerja kita juga perlu adanya sistem pendukung untuk melakukan pembaruan keterampilan serta menjalani transisi karier dengan baik.

Kita juga harus segera membincangkan secara serius model jaring pengaman sosial yang sesuai dengan karakteristik kerja era digital. Singkatnya, saat ini, lebih dari sebelumnya, Indonesia membutuhkan hadirnya legislasi dan regulasi progresif yang siap menghadapi revolusi industri ke-4.

Jejaring inovator
Karena saya bicara kolektivitas, maka kita perlu cara-cara yang lebih partisipatoris untuk mengorganisasi ekonomi dan masyarakat. Kebijakan yang sifatnya top-down dengan solusi teknologi berskala raksasa bukanlah respons yang tepat untuk menjawab kompleksitas persoalan di era digital. Hanya ada dua jenis raksasa yang boleh bertahan di era digital: data dan jejaring. Perubahan sosial yang transformatif hanya dapat didorong oleh jejaring antara mereka yang membangun pemecahan masalah digital yang inovatif dan mereka yang sehari-hari bekerja langsung dengan inovasi sosial di kampung kota dan desa masing-masing.

Saat ini tengah berkembang kesadaran bahwa kita perlu gerakan inovasi sosial dan teknologi yang masif untuk dapat menjawab tantangan era digital. Di seluruh Indonesia saat ini ada orang yang bekerja dalam skala kecil, bergerak senyap, meski secara kolektif memiliki potensi untuk mengubah wajah. Mereka bekerja mulai dari cara mencerdaskan masyarakat, yaitu organisator-organisator masyarakat, wirausaha sosial, dan pendidik, yang didampingi mereka yang bekerja mencerdaskan perkakas seperti ilmuwan data, pakar kecerdasan buatan dan mesin pembelajar maupun yang sedang berupaya mencerdaskan individu, seperti ahli ilmu saraf (neuroscientist), psikolog, psikiater.

Dalam perjalanan politik, saya telah berbincang dengan banyak dari mereka, mulai dari level dunia hingga desa, mulai dari kampus sampai kampung. Dengan berbagai siasat dan kecerdikan, mereka menemukan cara cerdas untuk mengatasi persoalan yang digelutinya. Di setiap perbincangan itu saya selalu merasakan sensasi yang itu-itu juga, yakni adanya rasa keterbebasan karena perkembangan teknologi dan juga rasa sedang melakukan sesuatu yang besar dan berbeda. Keduanya, menurut filsuf Hannah Arendt, adalah hal yang ada dan dibutuhkan di tiap-tiap revolusi besar.

Pertanyaan besarnya: maukah para pembuat kebijakan membangun ekosistem untuk mereka? Ini yang seharusnya menjadi tema perdebatan politik kita. Jika kita mengerem, kita ditinggal; jika kita cuma berselancar, kita cuma jadi pasar; namun jika kita mau berinovasi, Indonesia bisa memimpin Revolusi 4.0 dunia ini.

Budiman Sudjatmiko Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia

Sumber: Kompas, 15 September 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB