Yin Shui Si Yuan. Ketika minum air, ingatlah sumbernya.
Pepatah Tionghoa tersebut, dalam bahasa Indonesia, mungkin lebih dikenal dengan kacang jangan lupa kulit. Intinya sama, yaitu siapa kita dan bagaimanapun suksesnya, jangan pernah lupakan asal-usul.
Dewanti Fitrijayanti (21), dara berkerudung asal Sorong, Papua Barat, dan lulusan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang, Jawa Timur, itu tak henti-hentinya menceritakan kenangan berkesannya saat menjalani masa orientasi di Universitas Ma Chung, Malang, tahun 2013. Ia seakan ingin mengabarkan kepada semua bahwa kampus pilihannya, yang notabene didirikan sekelompok warga keturunan Tionghoa ini, sangat menghormati keyakinan dan akidahnya sebagai Muslim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat itu, Dewanti menjalani orientasi pada bulan Ramadhan dan menginap di rumah keluarga beragama Nasrani. Bukannya menyepelekan kewajiban Dewanti sebagai Muslim untuk berpuasa, induk semangnya malah sudah bangun pukul 01.00 untuk memasakkan makanan sahur bagi Dewanti. Padahal, saat itu dara program studi teknik industri itu masih lelap tertidur.
“Saya merasa mendapatkan keluarga dan saudara. Bahkan, saat sedang jalan bareng dengan teman-teman, mereka justru sering mengingatkan saya untuk shalat,” kata Dewanti berkisah, Kamis (6/7).
Aqil Haykal (22), warga keturunan Arab asal Perumahan Sulfat, Kota Malang, justru sejak awal mengaku masuk Universitas Ma Chung karena rekomendasi keluarganya. Cita-citanya sebagai pengusaha multinasional bidang teknologi memaksanya harus bisa menguasai tiga bahasa asing dan paham teknologi. Aqil sudah bisa berbahasa Inggris dan Arab. Ia butuh mempelajari bahasa Mandarin.
“Akhirnya keluarga menyarankan saya masuk Ma Chung. Di sini saya belajar bahasa Mandarin sekaligus belajar menjadi pengusaha,” kata pria jurusan manajemen yang sudah merintis usaha bengkel online bersama teman-temannya beberapa waktu lalu. Aqil saat ini menanti keberangkatan untuk menempuh studi lanjutan di Universitas Suzhou di China karena mendapatkan beasiswa Confucius Institute.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI–Heriyanto, peneliti di Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigment milik Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur, Kamis (6/7), mengamati pigmen bakteri fotosintesis. Bakteri fotosintesis bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di bidang pangan dan energi terbarukan.
Keduanya hanya bagian kecil dari 1.200-an mahasiswa di Universitas Ma Chung. Kampus yang setiap tahun rata-rata menerima 350 mahasiswa tersebut selama ini dikenal sebagai kampus pencetak pengusaha-pengusaha muda. Kampus ini memiliki Malang Digital CoreI (MDC), yaitu fasilitas untuk mahasiswa dan nonmahasiswa yang berminat mendirikan usaha rintisan (start up) berbasis IT. Di sini, komunitas dan anggota mendapat pelatihan pengembangan usaha rintisan hingga dipertemukan dengan investor.
Ada satu lantai khusus untuk MDC di Universitas Ma Chung dan pengusaha pemula bisa menggunakannya sebagai kantor sementara. “Kami melakukan pelatihan, mentoring, dan berusaha menumbuhkan usaha rintisan bukan hanya untuk mahasiswa Ma Chung, melainkan juga untuk umum. Kami sediakan ruangan (coworking space) yang bisa dijadikan kantor sementara dengan sewa murah (hanya beberapa ratus ribu rupiah per bulan) agar mereka yang memulai usaha sendiri,” kata Peter Pasla, Ketua MDC.
Kampus yang beroperasi mulai 7 Juli 2007 itu tak hanya menjadi kampus swasta biasa. Tahun lalu, Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigment (MRCPP) ditetapkan sebagai pusat unggulan iptek (PUI) terbaik kedua setelah ITB oleh pemerintah. Di pusat riset ini, mereka meneliti bakteri fotosintesis yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan futuristik di bidang pangan dan energi terbarukan.
“Pemerintah mendukung penuh pusat riset kami. Harapannya, akan lahir temuan-temuan penting untuk kemajuan bangsa,” kata Rektor Universitas Ma Chung Chatief Kunjaya.
Hulu ke hilir
Universitas Ma Chung kini terus melahirkan ilmuwan dan pengusaha bagi Indonesia. “Kami bergerak di bidang pendidikan karena pendidikan adalah dasar untuk semua hal. Kalau ingin hidup lebih baik, harus dimulai dari pendidikan yang baik,” kata Kunjaya.
Kampus itu dibangun dari kesepakatan sekelompok warga Tionghoa asal Malang. Mereka alumni Sekolah Menengah Tionghoa Malang (Malang Chung Hua Chung Hsueh), berdiri tahun 1946, meneruskan semangat para pendidik terdahulu.
Sekolah Menengah Tionghoa Malang tutup pada 1966. Kini, sekolah itu menjadi SMA Negeri 5 Malang. Meski tutup, alumninya berkumpul setiap lima tahun sekali. Hingga akhirnya Mochtar Riady, alumnus senior, mengatakan apa mereka hanya akan bertemu setiap lima tahun, bersenang-senang, lalu pulang? Apa mereka lupa dengan jasa-jasa pendiri sekolah Ma Chung yang selama ini mendidik mereka hingga pintar? Padahal, saat itu Indonesia sedang terpuruk karena baru terlepas dari jerat krisis ekonomi 1997.
Ide itu terus digulirkan dan pada 2004, Soegeng Hendarto, satu dari 15 pendiri utama, mengumpulkan dana untuk membangun Universitas Ma Chung. Universitas itu akhirnya resmi beroperasi pada 7 Juli 2007. Hari ini, Universitas Ma Chung mulai menggelar rangkaian peringatan Dies Natalis X.
Pendidikan melahirkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri melahirkan pengharapan. Pengharapan melahirkan perdamaian (Confucius).(DAHLIA IRAWATI)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juli 2017, di halaman 22 dengan judul “Ini Kiprah Kami dalam Pendidikan”.