Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerja sama dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang dalam pemanfaatan biomassa dari industri kelapa sawit sebagai dasar pengembangan teknologi biorefineri. Kerja sama itu diharapkan menghasilkan sumber energi alternatif bagi Indonesia.
“Pengembangan biomassa agar segera diterapkan jadi energi alternatif bagi Indonesia melalui teknologi biorefineri,” kata Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Keanekaragaman Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu (27/9). Itu disampaikan Enny pada Simposium Internasional ke-4 Bioproduksi Inovatif Indonesia (ISIBio 2017) di Bogor, Jawa Barat.
Biorefineri merupakan pengintegrasian peralatan dan proses konversi biomassa. Hal itu bertujuan memproduksi bahan bakar, listrik, dan bahan kimia bernilai tambah dari biomassa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Enny memaparkan, riset pemanfaatan biomassa nonpati sudah banyak dikembangkan para peneliti Indonesia, tetapi masih parsial sehingga penerapannya belum berjalan dengan baik. Kerja sama dengan Jepang yang lebih dulu mengembangkan biorefineri di negaranya diharapkan membantu Indonesia mengembangkan teknologi itu.
Kerja sama LIPI dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) ditargetkan menghasilkan supermikroba. Nantinya supermikroba tersebut akan memproduksi enzim untuk menghasilkan bioetanol atau biokatalis 50 gram per liter.
Saat ini supermikroba itu baru menghasilkan bioetanol atau biokatalis 40 gram per liter.
“Kami berencana mengembangkannya hingga bisa menghasilkan bioetanol atau biokatalis sampai dengan 50 gram per liter,” kata Yopi Sunarya, Manajer Proyek Biorefineri.
Dalam kerja sama itu, para peneliti dari LIPI telah menyeleksi 2.000 isolat mikroba lokal yang tersimpan di Bank Mikroba LIPI. Mikroba lokal itu akan diuji lebih lanjut di Jepang.
Transfer teknologi
Kerja sama Indonesia dan Jepang itu tak hanya terbatas pada pengiriman mikroba untuk diuji di Jepang, tetapi juga akan melibatkan transfer teknologi dari Jepang ke Indonesia.
“Kami tak hanya jadi pemasok biomassa ke Jepang, tetapi juga melakukan transfer teknologi agar nantinya dapat mengelola secara mandiri,” ujarnya.
Yopi, yang juga merupakan peneliti pada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, menjelaskan, saat ini Indonesia dan Jepang mengembangkan teknologi bersama untuk biorefineri melalui rekayasa mikroba dan efisiensi proses fermentasi lewat mikroba lokal. Seleksi mikroba dilakukan di Indonesia. Setelah memperoleh mikroba yang sesuai, pengujian secara rinci harus dilakukan di Jepang sebab teknologi Jepang dinilai lebih maju.
“Selain teknologi, kami juga telah menyiapkan sumber daya manusia Indonesia dengan mengirim peneliti muda untuk mengikuti proses rekayasa mikroba di Jepang,” ujarnya.
Saat ini, 10 peneliti muda Indonesia melanjutkan kuliah di Jepang, khusus bidang biorefineri. Universitas Kobe di Jepang menerima para peneliti muda Indonesia dan membantu membiayai pendidikan mereka.
“Saya pernah seminggu ke Kobe untuk melihat dan mempelajari proses rekayasa mikroba,” kata Immanuel Manurung, Direktur Operasional PT Agricinal Indonesia. PT Agricinal adalah perusahaan nasional yang jadi mitra LIPI dan pemasok biomassa mikroba ke Jepang sejak 2016.
Yopi menambahkan, untuk bisa memajukan industri di Indonesia, pandangan para peneliti harus diarahkan pada sektor industri.
“Para peneliti biasanya meneliti berdasarkan keinginan mereka. Mereka tidak berpikir untuk industri. Jadi, di proyek ini, pandangan mereka harus diarahkan pada proyek mana yang jadi target mereka. Mereka juga harus mendengar masukan dari industri, lalu mengemasnya sebagai peneliti untuk mencapai hal itu,” kata Yopi. (DD03)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2017, di halaman 13 dengan judul “Indonesia-Jepang Membangun Biorefineri”.