Puluhan peneliti asal Indonesia dan Inggris merancang kerja sama penelitian di wilayah Wallacea dalam lokakarya yang berlangsung Selasa (6/2) di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kerja sama itu diharapkan menghasilkan pemahaman bersama tentang keanekaragaman hayati di wilayah Wallacea dan respons terhadap perubahan lingkungan.
Ada sekitar 40 peneliti yang berpartisipasi dalam lokakarya tersebut dengan berbagai macam latar belakang, seperti ekologi, kelautan, satwa, farmasi, ataupun biogeografi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lokakarya ini diselenggarakan oleh Natural Environment Research Council (NERC), Newton Fund, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Ketua NERC Simon Kerley mengatakan, lokakarya tersebut diharapkan menjadi wadah bagi peneliti asal Inggris dan Indonesia untuk mendalami pemahaman terhadap keanekaragaman hayati dan respons terhadap perubahan iklim. Antarpeneliti yang terlibat berpeluang menjalin kerja sama penelitian.
KOMPAS/ LUKI AULIA–Suasana lokakarya yang diikuti puluhan peneliti asal Indonesia dan Inggris di bidang ekologi, kelautan, satwa, dan farmasi, yang berlangsung pada Selasa (6/2), di Makassar, Sulawesi Selatan. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Natural Environment Research Council (NERC), Newton Fund, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
”Kerja sama ini bagian dari portofolio kerja sama ilmiah dan budaya antara Inggris dan Indonesia. Kerja sama ini untuk menyoroti dan memahami keanekaragaman hayati Indonesia sebagai bagian dari perayaan karya Alfred Russel Wallace di wilayah ini,” ujar Simon.
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati berharap, kerja sama peneliti Indonesia dan Inggris ini diharapkan memberikan manfaat bagi kedua pihak.
Di samping itu, kerja sama tersebut harus mempu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, khususnya di wilayah penelitian Wallace.
”Kami akan membantu mempermudah pengurusan perizinan penelitian. Di masa sebelumnya perizinan cukup rumit, tetapi sekarang sudah ada penyederhanaan perizinan. Namun, syarat-syarat perizinan tetap harus dipenuhi,” kata Dimyati.
Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris, menjelajah wilayah Nusantara, termasuk wilayah Sarawak, Malaysia, pada periode 1848-1862. Salah satu warisan Wallace yang populer adalah istilah garis imajiner yang disebut ”garis Wallace”.
Garis imajiner tersebut, berdasarkan teori Wallace, membagi Nusantara dalam dua wilayah besar, yaitu wilayah barat yang ia sebut Indo-Melayu dan wilayah timur yang disebutnya sebagai Austro-Melayu.
Masih menurut teori Wallace, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera pernah menyatu dengan benua Asia. Adapun Irian (sekarang Papua) dan Australia juga pernah menjadi satu daratan.
Teori itu didukung dengan kemiripan berbagai jenis flora dan fauna di dua wilayah besar tersebut. Hanya, ada keunikan tersendiri di mana flora dan fauna di wilayah Sulawesi, kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara, dan sejumlah pulau kecil di sekitarnya, tak ada kemiripan dengan dua wilayah besar tersebut.
Selama penelitiannya di Nusantara, Wallace berhasil mengumpulkan ratusan ribu spesimen dari jenis mamalia, serangga, dan berbagai jenis burung. Ia juga pencentus teori evolusi. (APO)–LUKI AULIA
Sumber: Kompas, 6 Februari 2018
—————-
Memanfaatkan Potensi Keragaman Hayati
Masih banyak potensi keragaman hayati di Indonesia, khususnya di kawasan Wallacea, yang belum diteliti dan dimanfaatkan. Kendalanya terletak pada keterbatasan dana dan sumber daya peneliti yang memiliki ketertarikan pada wilayah Wallacea. Perlu perhatian khusus dari pemerintah dan pelibatan swasta untuk mengungkap potensi sumber daya hayati ini.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati mengatakan, kekayaan sumber daya hayati di Indonesia ibarat emas biru. Bukan hanya kekayaan flora dan faunanya, masa lalu di wilayah Wallacea juga bisa memberikan banyak informasi mengenai wilayah cincin api, keragaman hayati, dan sebagainya. Sayangnya, kekayaan itu belum banyak tergali lantaran terkendala pendanaan dan sumber daya peneliti.
”Jika wilayah Wallacea ini dipetakan, kita akan tahu berapa besar potensinya. Setelah tahu, apa manfaatnya untuk generasi sekarang dan mendatang? Itu yang harus digali terus,” kata Dimyati di sela-sela lokakarya jaringan peneliti Inggris-Indonesia, Selasa (6/2), di Makassar, Sulawesi Selatan.
Dia mengatakan, dana penelitian di Indonesia sangat kecil. Saat ini, anggaran negara untuk pembiayaan penelitian di segala bidang hanya sekitar Rp 10,9 triliun setahun. Ia membandingkan dengan anggaran penelitian sebuah perusahaan kosmetik yang mencapai Rp 15 triliun per tahun. Selain itu, peneliti Indonesia yang memiliki minat dan spesialisasi terkait wilayah Wallacea bisa dihitung dengan jari.
”Lantaran masih banyak yang belum diungkap, potensi keragaman hayati ini seperti ruang gelap di dalam rumah. Ini yang akan kita buka. Makanya, kerja sama ini akan kami manfaatkan,” ujar Dimyati.
Ada sekitar 40 peneliti yang berpartisipasi dalam lokakarya tersebut dengan berbagai macam latar belakang, seperti ekologi, kelautan, satwa, farmasi, dan biogeografi. Dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Natural Environment Research Council (NERC), Newton Fund, serta Kemristek dan Dikti itu, setiap peneliti memaparkan minat penelitian mereka.
Tantangan
Kepala Penelitian Terestrial NERC Simon Kerley mengatakan, tantangan umum yang dihadapi negara-negara tropis dengan keragaman hayati tinggi, seperti Indonesia, adalah bagaimana mengembangkan ekonomi sumber daya alam yang tangguh. Kebijakan sosial dan ekonomi yang terkait dengan tekanan lingkungan menghasilkan perubahan penggunaan lahan yang akan memengaruhi keragaman hayati.
”Ada kebutuhan dan dorongan di beberapa negara untuk beralih ke ekonomi sumber daya alam. Namun, ini akan memerlukan perbaikan radikal dalam kualitas dan kuantitas informasi untuk memahami keluasan dan kontribusi terhadap ekosistem,” kata Simon.
Menurut Simon, penelitian kolaboratif di kawasan Wallacea diperlukan untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati pada level yang baru. Pengetahuan yang diperoleh untuk memahami nilai-nilai ekonomi, lingkungan, dan sosial yang melekat pada aset kawasan.
Jamaluddin Jompa, Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, mengatakan, baik pemerintah maupun kebanyakan masyarakat di Indonesia tidak menyadari akan kekayaan sumber daya hayati yang dimiliki. Dukungan pendanaan untuk penelitian pun sangat terbatas. Ia pun sepakat bahwa Indonesia tak cukup punya banyak peneliti di bidang ini.
”Kekayaan sumber daya hayati kita itu ibarat emas. Seharusnya Indonesia bangga dengan kekayaan ini. Ada rasa ingin tahu yang besar, diteliti, dan dideskripsikan seluruh potensi tersebut agar tahu kegunaannya apa,” katanya.
Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Kawasan Wallacea didefinisikan sebagai kelompok utama kepulauan Indonesia yang dipisahkan oleh perairan dari kontinental Asia dan Australia. Wilayah Wallacea termasuk Sulawesi. Kawasan Wallacea disebut sebagai salah satu titik keragaman hayati yang tinggi di dunia. (APO/LUK)
Sumber: Kompas, 7 Februari 2018