Orang-orang gemuk sering tidak percaya bahwa kegemukan dapat menyebabkan penyakit. Ilmuwan di Amerika Serikat berhasil mengungkapkan bagaimana kegemukan dapat menyebabkan penyakit. Pada orang-orang gemuk, proses terjadinya penyakit itu bermula dari peradangan di sel-sel lemak mereka yang tidak terjadi pada sel lemak orang langsing.
Penelitian berjudul ”Fenotip Makrofag dan Bioenergetik Dikendalikan oleh Fosfolipid Teroksidasi yang Diidentifikasi dalam Jaringan Adiposa Langsing dan Obesitas” itu dimuat dalam jurnal PNAS edisi 23 Juli 2018 yang juga dipublikasikan Sciendaily.com. Penelitian dilakukan ilmuwan dari Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Virginia, AS, antara lain Vlad Serbulea dan Norbert Leitinger.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan mencit percobaan yang sehat dan mencit yang gemuk. Melalui mencit, para peneliti di AS tersebut untuk pertama kali mampu menjelaskan mengapam sel makrofag, sel-sel kekebalan yang menetap di jaringan jaringan adiposa atau jaringan lemak, berubah menjadi berbahaya selama obesitas, menyebabkan peradangan yang tidak diinginkan dan tidak sehat. Pada mencit dan orang sehat, sel makrofag adalah sel kekebalan yang bermanfaat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Mungkin kita telah mengidentifikasi apa yang mengawali seluruh peradangan dan perubahan metabolisme,” ujar Vlad Serbulea.
AFP PHOTO/ STR/CHINA OUT–Dalam foto yang diambil pada 17 Juli 2018 ini, terlihat seorang perempuan obesitas sedang berjalan di atas treadmill di klinik pengurangan berat badan di Changchun, Provinsi Jilin, China.
Tim peneliti menemukan bahwa radikal bebas rusak yang diproduksi dalam tubuh mencit bereaksi dengan zat yang dikenal sebagai fosfolipid di dalam jaringan lemak. Serangan pada fosfolipid mendorong mereka untuk menyebabkan peradangan, yang merupakan respons kekebalan alami.
ARSIP HARIAN KOMPAS–Seorang anak yang kelebihan berat badan.
”Radikal bebas sangat reaktif sehingga mereka ingin mencari sesuatu. Fosfolipid menjadi wastafel yang sangat baik untuk radikal-radikal ini bergabung,” lanjutnya.
Mekanisme itu menghasilkan proses yang disebut oksidasi fosfolipid. Pada awalnya, para ilmuwan berharap fosfolipid yang teroksidasi akan terbukti berbahaya, tetapi tidak sesederhana itu.
Beberapa fosfolipid yang teroksidasi menyebabkan peradangan yang merusak, yaitu fosfolipid yang teroksidasi memprogram ulang sel-sel kekebalan menjadi hiperaktif. Akan tetapi, fosfolipid teroksidasi lainnya hadir dalam jaringan yang sehat. Fosfolipid teroksidasi terpotong yang lebih pendek menjadi protektif, sementara fosfolipid teroksidasi penuh yang lebih panjang meradang.
Menurut Serbulea, ketika membandingkan jaringan mencit sehat dan jaringan mencit obesitas, yang tampak berubah adalah rasio fosfolipid teroksidasi penuh dan terpotong. Studi mereka menunjukkan fosfolipid yang teroksidasi penuh atau lebih panjang cukup meradang.
”Mereka (fosfolipid yang teroksidasi) mendorong terjadi peradangan dalam sel-sel kekebalan ini (makrofag). Menurut kami, (fosfolipid yang teroksidasi) ini mendorong dan melanggengkan proses penyakit dalam jaringan lemak selama obesitas,” paparnya.
Norbert Leitinger menambahkan, sekarang ilmuwan tahu fosfolipid yang teroksidasi menyebabkan masalah penyakit pada mencit dengan obesitas.
Dengan pengetahuan ini, peneliti dapat berusaha untuk memblokir fosfolipid yang teroksidasi untuk mencegah peradangan. Ilmuwan mungkin dapat mengembangkan obat, misalnya, yang akan mengurangi jumlah fosfolipid teroksidasi penuh yang berbahaya.
AFP PHOTO/STR/CHINA OUT–Dalam foto yang diambil 17 Juli 2018 ini, terlihat dua perempuan yang kelebihan berat badan sedang bercakap-cakap ketika menjalani perawatan di klinik pengurangan berat badan di Changchun, Provinsi Jilin, China.
Dokter mungkin ingin mempromosikan jumlah fosfolipid yang bermanfaat dan lebih pendek. ”Peradangan penting untuk pertahanan tubuh Anda, jadi Anda tidak ingin menghilangkan peradangan sepenuhnya. Ini masalah menemukan keseimbangan yang tepat (antara fosfolipid yang panjang dan fosfolipid yang pendek),” ujar Leitinger.
Dengan mengembalikan keseimbangan itu, dokter mungkin dapat membuat terobosan signifikan melawan penyakit kronis yang sekarang menjangkiti jutaan orang dengan obesitas.
Kegemukan atau obesitas menjadi masalah di dunia saat ini. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS memperkirakan lebih dari sepertiga orang dewasa di AS mengalami obesitas. Obesitas sangat meningkatkan risiko penyakit metabolik, seperti penyakit jantung koroner dan diabetes tipe 2. Di AS, obesitas umum terjadi di kalangan kulit hitam non-Hispanik dan orang dewasa paruh baya.
Di Indonesia, obesitas juga terjadi pada usia paruh baya seperti yang diteliti di AS tersebut. Berdasarkan data Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Kementerian Kesehatan Tahun 2016, prevalensi obesitas, yaitu perbandingan jumlah orang dengan obesitas dan jumlah penduduk, secara nasional 27,2 persen.
Jika jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 sebanyak 261,1 juta jiwa, maka jumlah orang gemuk di Indonesia sebanyak 71.019.200 jiwa. Jumlah orang gemuk di Indonesia itu lebih banyak daripada jumlah penduduk Perancis yang sebanyak 67 juta jiwa.
Jika jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 sebanyak 261,1 juta jiwa, maka jumlah orang gemuk di Indonesia sebanyak 71.019.200 jiwa. Jumlah orang gemuk di Indonesia itu lebih banyak daripada jumlah penduduk Perancis yang sebanyak 67 juta jiwa. Obesitas terbanyak terjadi pada usia 40-44 tahun, sebesar 25 persen.
Prevalensi obesitas pada laki-laki di Indonesia sebesar 13,1 persen, sedangkan pada perempuan 27,2 persen. Artinya, perempuan lebih banyak yang mengalami kegemukan dibandingkan laki-laki di Indonesia tahun 2016.
Dari data Sirkesnas 2016 tersebut, terlihat bahwa obesitas lebih banyak terjadi di kota daripada di desa. Prevalensi obesitas di kota sebesar 24,3 persen, sedangkan di desa 17,1 persen. Penganggur lebih banyak yang obesitas, yaitu 22 persen, sedangkan obesitas di kalangan buruh, nelayan, dan petani hanya 7,8 persen.–SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 24 Juli 2018