Para ilmuwan yang tinggal dan bekerja di luar negeri memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jejaring yang sangat berguna untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melaksanakan pembangunan sumber daya manusia secara besar-besaran yang dimulai tahun ini. Tidak hanya memprioritaskan APBN untuk pembangunan sumber daya manusia, pemerintah juga akan melibatkan kalangan diaspora dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pelibatan diaspora dalam pembangunan SDM merupakan respons pemerintah terhadap keinginan para diaspora, yaitu mereka yang tinggal dan berkarya di luar negeri. Senin (19/8/2019), 35 perwakilan diaspora Indonesia yang tergabung dalam Inovator 4.0 menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pertemuan tertutup yang juga dihadiri Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir, Presiden menyampaikan keinginannya agar para diaspora turut berperan dalam pengembangan riset, inovasi, dan pendidikan tinggi di Tanah Air.
“Dosen-dosen diaspora bisa membantu perguruan tinggi. Jadi, tidak hanya geger masalah rektor asing, tetapi bagaimana hal ini harus didorong bisa berkolaborasi untuk pendidikan tinggi Indonesia agar menjadi lebih baik, masuk kelas dunia,” kata Nasir sesuai pertemuan.
Budiman Sudjatmiko yang memimpin para diaspora dalam pertemuan dengan presiden tersebut mengatakan, anggota Inovator 4.0, merupakan warga negara Indonesia yang memiliki kepakaran dan bekerja di luar negeri. Mereka merupakan doktor di bidang robotik, ahli kecerdasan buatan, bioteknologi, rekayasa genetik, ahli saraf, dan lainnya. Selama ini para pakar diaspora tersebut sudah membantu pengembangan inovasi teknologi di desa-desa.
Kemristek dan Dikti bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, dan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional mengundang 52 ilmuwan diaspora untuk mengikuti Simposium Cendekiawan Kelas Dunia di Jakarta. Simposium yang dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres pada Senin siang itu akan berlangsung hingga 25 Agustus.
Berbagi pengetahuan
Kalla mengatakan, para ilmuwan diaspora merupakan bagian dari kemajuan bangsa. Karena itu, mereka perlu berperan mendorong kemajuan bangsa dengan cara berbagi pengetahuan, pengalaman, dan jejaring yang dimiliki. Mereka juga bisa menularkan budaya
maju di luar negeri ke Indonesia.
Kalla mencontohkan diaspora warga China sehingga di setiap negara bisa ditemui Chinatown. India juga menjadi contoh baik karena sangat banyak ilmuwan India, terutama di bidang teknologi informatika di perusahaan-perusahaan besar dunia. Filipina pun menjadi
contoh karena 20 persen produk domestik brutonya disumbang dari diaspora.
Kalla tidak meminta para diaspora meninggalkan pekerjaan mereka di sejumlah negara dan kembali ke Indonesia. Sebab, ujarnya, gaji di Indonesia mungkin hanya 10 persen dari yang diperoleh di luar negeri. Namun, apabila ada yang ingin mengabdi, seperti Sri Mulyani,
yang meninggalkan pekerjaannya di Bank Dunia dan mengabdi di Indonesia, negara akan menyambut gembira.
Deden Rukmana, perwakilan ilmuwan diaspora, mengatakan, berapa tahun pun ilmuwan diaspora tinggal dan bekerja di luar negeri, kecintaan terhadap Tanah Air tidak akan hilang. “Kapan pun negara memanggil, kami akan datang,” kata pengajar Urban Studies and Planning di Savannah State University, Amerika Serikat, ini.
Nasir mengatakan, pemerintah juga akan melibatkan para ilmuwan diaspora dalam berbagai riset. Apalagi, Presiden sudah mengisyaratkan membentuk Dewan Riset Nasional.
Untuk kepentingan itu, Kemistek dan Dikti sudah mengajukan tambahan dana abadi Rp 6 triliun. Dana ini untuk mengembangkan riset pangan dan pertanian, kesehatan dan obat-obatan, teknologi informasi dan komunikasi, transportasi, teknologi pertahanan, energi terbarukan, maritim, manajemen bencana, sosial, serta kebudayaan dan pendidikan. (NTA/INA)
Sumber: Kompas, 20 Agustus 2019