Gajah dikenal sebagai satwa liar yang memiliki ingatan yang kuat. Ia dapat mengingat lokasi makanan dan air yang berlimpah dan akan kembali ke lokasi yang sama bertahun-tahun setelahnya. Hal ini tampaknya yang menjadi masalah karena sering kali lokasi tersebut telah ditempati manusia sehingga terjadi konflik.
AFP–Gajah afrika sedang dibius di Taman Nasional Amboseli, Kenya, 2 November 2016.
Peneliti dari Amerika Serikat, Jerman, dan Namibia melaporkan hasil penelitian tentang ingatan gajah tersebut dalam jurnal Ecological Society of America, Ecological Monographs edisi 9 Januari 2019 yang juga dipublikasikan Sciencedaily.com. Penelitian itu berjudul ”Variasi Temporal dalam Pemilihan Sumber Daya Gajah Afrika Mengikuti Variabilitas Jangka Panjang dalam Ketersediaan Sumber Daya”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gajah adalah insinyur ekosistem yang penting. Mereka mengontrol kondisi habitat atau ketersediaan sumber daya untuk organisme lain. Misalnya, mereka meningkatkan keanekaragaman tanaman dengan mendorong penyebaran benih dan transportasi hara. Sayangnya untuk hewan-hewan yang tidak terpisahkan ini, populasi gajah di seluruh Afrika menurun tajam dalam dekade terakhir karena perburuan liar dan pembatasan jangkauan mereka yang lebih besar.
Para ilmuwan meneliti Gajah Afrika (Loxodonta africana) di Taman Nasional Etosha, Namibia. Gajah Afrika dinilai ideal untuk penelitian ini karena mereka memiliki kemampuan kognitif yang sangat baik dan memori spasial jangka panjang.
”Kemampuan ini yang membantu mereka kembali ke daerah dengan makanan dan air yang lebih baik di savana Afrika dengan musim kemarau yang berkepanjangan di mana pengetahuan tentang ketersediaan sumber daya jangka panjang sangat diperlukan,” kata Miriam Tsalyuk, peneliti dari Universitas California di Berkeley, AS.
REUTERS–Gajah afrika tewas setelah minum air yang diberi racun di Taman Nasional Hwange, Zimbabwe, 27 September 2013.
Dengan menggunakan alat sistem penentuan posisi global (global positioning systems/GPS), para peneliti melacak pergerakan 15 kelompok gajah untuk periode mulai dari dua bulan hingga sedikit lebih dari empat setengah tahun. Kunci untuk penelitian ini, kata Tsalyuk, adalah pencitraan dan pengamatan berbasis satelit, yang digunakan untuk membuat data terperinci tentang jenis-jenis vegetasi dan biomassa. Bersama dengan peta air permukaan dan konstruksi buatan manusia, Tsalyuk dan rekan-rekannya kemudian mengorelasikan variabel-variabel ini dengan data pergerakan gajah untuk mencari pola perilaku.
”Sebagian besar penelitian ekologi sampai saat ini meneliti bagaimana satwa liar merespons keadaan lingkungan saat ini. Namun, hewan menggunakan memori spasial dan sosial untuk kembali ke lokasi yang telah menguntungkan pada masa lalu. Citra satelit memberikan informasi tentang kondisi masa lalu ini dan mengungkap kompleksitas penggunaan spasial satwa lia,” katanya.
Analisis mereka mengungkapkan bahwa gajah tampaknya ingat di mana menemukan makanan terbaik dan air yang dapat diandalkan. Informasi jangka panjang hingga satu dekade tentang kondisi hijauan adalah faktor yang lebih besar dalam keputusan gajah ke mana harus pergi daripada kondisi saat ini, terutama pada musim kemarau.
”Hasilnya memang sangat mengejutkan. Kami berpikir bahwa jika kami dapat menangkap kondisi vegetasi sedekat mungkin dengan waktu gajah lewat di sana, kami dapat menjelaskan preferensi untuk lokasi tertentu dengan lebih baik. Tetapi kami menemukan sebaliknya. Gajah memiliki preferensi yang lebih kuat untuk lokasi mencari makan yang kondisinya lebih baik selama bertahun-tahun,” tutur Tsalyuk.
AFP–Warga India berkonflik dengan gajah di perbatasan Nepal-India, 25 Mei 2015.
Di Indonesia, gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) juga memiliki jalur tetap untuk mencari makan dan minum. Sering kali konflik terjadi karena lokasi yang didatangi gajah telah menjadi permukiman manusia atau menjadi perkebunan kelapa sawit.
Harian Kompas, 7 Juli 2018, mengutip data Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung-Bengkulu bahwa sedikitnya terjadi 62 konflik gajah dan manusia di Tanggamus setahun terakhir. Kasus terbaru di kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara, Bandar Negeri Semoung, Tanggamus, Selasa (3/7/2018) dini hari. Penjaga kebun tewas diserang sekawanan gajah.
Di sekitar area konflik, diperkirakan ada 5.000 warga membuka hutan secara ilegal puluhan tahun lalu. Pemerintah tak mengizinkan karena kawasan itu zona inti yang bukan untuk program Perhutanan Sosial. Banyaknya warga bermukim di kawasan hutan membuat potensi konflik gajah-manusia di Lampung masih tinggi.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Setelah menjalani translokasi selama 36 jam, seekor gajah liar dari ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, tiba di habitat barunya di Hutan Harapan, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (6/10/2018) dini hari. Penggiringan gajah liar itu dibantu tiga gajah terlatih yang didatangkan dari Pusat Pelatihan Gajah Minas, Riau. Translokasi itu menjadi bagian penyelamatan gajah tersisa dari ancaman konflik dan kepunahan.
Untuk mengatasi konflik gajah dan manusia di kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara, Kabupaten Tanggamus, Lampung, sekawanan gajah liar digiring ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Selanjutnya, tim satgas akan berjaga di perbatasan kawasan taman nasional dan hutan lindung.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Syaiful Bachri menjelaskan, konflik terjadi di dalam kawasan hutan lindung habitat gajah. Kawasan itu jadi sasaran konflik karena hutan dibuka untuk perkebunan dan pertanian ilegal. Di dalam hutan ditanam tanaman pangan dan buah, antara lain jagung, nangka, dan pisang.
”Solusi segera adalah penggiringan ke dalam kawasan taman nasional serta memblokade wilayah perbatasan. Kami akan melibatkan pemerintah kabupaten dan mitra,” kata Penjabat Sekretaris Daerah Lampung Hamartoni Ahadis.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 10 Januari 2019