Kaum akademisi dikenal sebagai penghuni menara gading yang indah, megah, dan menjulang. Dunia ilmu pengetahuan pada mulanya dunia teoretis, tidak konkret. Sementara masyarakat di luar kaum berilmu bergumul dengan kehidupan yang konkret: petani alami kekeringan, terlanda banjir, atau tertimbun tanah longsor. Seiring pergeseran waktu, ilmu pengetahuan mendekatkan diri pada hal-hal konkret.
Guru besar filsafat asal Belanda, Andrea Gerardus Maria van Melsen, pernah menulis, ilmu pengetahuan berkembang menjadi tempat sentral dalam kehidupan manusia sehingga ada tanggung jawab besar yang berkaitan dengannya (Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, 1969).
Rabu (5/4), muncul seruan moral lebih dari 190 akademisi. Mereka bekerja di 49 perguruan tinggi negeri dan swasta nasional, 10 universitas asing (Belanda, AS, Jerman, Australia), 15 organisasi masyarakat sipil, dan lembaga penelitian pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka mendesak pemerintah lebih berhati-hati dalam melakukan pembangunan yang berpotensi berdampak bagi lingkungan alam, manusia, dan tatanan sosial, budaya, serta identitas masyarakat.
“Kegigihan petani Rembang, Jawa Tengah, dengan kaum perempuannya yang memprotes industri semen di wilayah mereka menjadi pemicu berkumpulnya kami untuk membuat seruan moral kepada pemerintah,” tutur antropolog Suraya Affif dari Universitas Indonesia.
Protes petani Rembang hanyalah pemicu karena protes serupa terjadi di mana-mana.
Ahli hukum lingkungan Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, Minggu (9/4), menggarisbawahi, masalah utama bukanlah pada “kuantitas”, berapa orang yang setuju (dengan suatu proyek pembangunan) atau berapa yang tidak setuju. Isu sentralnya adalah adanya suatu keyakinan masyarakat akan kehidupan mereka yang melekat dengan alamnya.
Mencerabut akar
Seruan moral ini bukan hanya untuk kasus pabrik semen di Rembang, tetapi untuk mengingatkan pemerintah akan model pembangunan yang cenderung berpotensi mencerabut masyarakat dari akar pengetahuan, akar budaya, dan akar identitas mereka serta menghancurkan alam.
Dalam pernyataan sikap itu, mereka meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo belajar dari pengalaman sejumlah negara lain yang menghormati keberlangsungan hidup masyarakat lokal/adat beserta ruang hidup, kebudayaan, dan kesejarahannya. Pemerintah diminta konsekuen dengan konsep “membangun dari pinggiran”.
Kedua, pemerintah diingatkan, lenyapnya ruang hidup dan ruang ekonomi masyarakat justru mendorong jurang stratifikasi sosial yang makin tinggi, yang tak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, pemerintah diingatkan, paradigma pembangunan modern di negara-negara maju, termasuk di Asia, sudah meninggalkan industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam untuk tambang dan membabat hutan untuk perkebunan monokultur. Satyawan Sunito, ilmuwan Institut Pertanian Bogor, bertanya retorik, “Indonesia mau eksis berapa lama lagi kalau sumber daya alam semua dihabiskan?”
Keempat, paradigma pembangunan modern hendaknya lebih mengembangkan anak-anak muda dan kecerdasan otak untuk menciptakan karya yang kreatif, inovatif, dan berdaya saing. Kelima, diingatkan, banyak cara membangun yang lebih mementingkan manusia dan kelestarian alam. (ISW)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Ilmu Pengetahuan yang Tanpa Pamrih”.