Puluhan pegawai di kantor Pemerintah Kabupaten Bantul berlarian keluar gedung. Maklum, gempa berkekuatan 5,6 pada skala Richter (SR) melanda selatan Yogyakarta pukul 14.03 WIB kemarin. Pusat gempa berada di laut, berjarak 125 kilometer barat daya Bantul, dengan kedalaman 10 kilometer. Getaran gempa dirasakan hingga Pacitan, Solo, dan Cilacap.
Warga khawatir karena, pada 27 Mei 2006, pernah terjadi gempa berkekuatan 5,9 SR dan menghancurkan sebagian besar bangunan di Bantul dan Klaten. Apakah gempa kemarin berkaitan dengan aktivitas Gunung Merapi, yang meletus pada 26 Oktober 2010 dan belum berhenti hingga saat ini? “Belum dapat dilihat pengaruhnya terhadap aktivitas Merapi. Pada 2006, begitu ada gempa, aktivitas Merapi langsung naik,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandrio.
Memang, berdasarkan pantauan petugas pengamatan, intensitas letusan Merapi kemarin mulai menurun. Namun aktivitasnya tetap tinggi dan tekanan magma dari bawah masih berlanjut sehingga menggembungkan tubuh gunung. Magma terus mengalir karena terdapat gas yang masih kuat dari dalam perut bumi. “Saya lebih senang jika Merapi terus meletus karena energinya akan menurun,” kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Surono membantah informasi soal deformasi (penggembungan) Gunung Merapi di bagian selatan, yang dikabarkan ilmuwan luar negeri dengan data foto satelit. Menurut dia, deformasi gunung hanya terjadi di puncak. Foto satelit yang memperlihatkan penggembungan Merapi di bagian selatan, kata Surono, sebenarnya adalah tumpukan material gunung yang sudah dimuntahkan.
Jadi, Surono melanjutkan, foto satelit tersebut diumumkan setelah erupsi, dan yang membuat tubuh gunung tambah besar adalah material gunung yang sudah disemburkan. Ia menjelaskan, pada September 2010, Surono pergi ke Institut Nasional Vulkanologi dan Geofisika (INVG) serta telah mendapat foto satelit INVG yang merupakan hasil overlay (tumpang-tindih) foto sebelum meletus dan setelah Merapi meletus.
Jika foto satelit itu benar, seharusnya di puncak Merapi yang terjadi adalah inflasi 5 meter dalam 53 hari. Dia telah menjawab pengirim e-mail yang mengirim foto satelit tersebut. “Tidak semua informasi dari ahli luar negeri benar, dan yang dari Indonesia itu tidak benar,” katanya. “Data kami terbuka. Ahli-ahli dunia, seperti di USGS dan Jepang, mengetahui hal itu.”
Subandrio menjelaskan, status Merapi masih awas dan zona aman tetap pada radius di atas 20 kilometer. Dia mengingatkan bahwa masa jeda seperti saat ini biasanya justru masa ketika Merapi mengumpulkan energi. “Karena injeksi magmanya sangat cepat. Jadi, jangan kaget kalau kemudian terjadi letusan yang besar,” katanya kemarin. Bahkan kecepatan penambahan magma di perut Merapi, ujar dia, bisa mencapai 25 meter kubik per detik.
Beberapa waktu yang lalu, Subandrio menjelaskan, dari kacamata ilmiah, letusan Gunung Merapi kali ini sangat menarik. Ilmuwan, kata dia, mendapat ilmu pengetahuan baru. Bukan apa-apa, letusan tahun ini di luar tabiat Merapi, yang selama beberapa dekade terakhir tidak pernah meledak (eksplosif). Bahkan dalam seabad terakhir.
Letusan tahun ini, Subandrio melanjutkan, hampir menyamai letusan dahsyat Merapi pada 1872. Kala itu, Merapi meletus dengan skala eksplosivitas 4 dari skala 8, atau yang tertinggi untuk ukuran Merapi. Saat itu, suara letusannya dikabarkan terdengar hingga Pulau Madura, Jawa Timur, dan Karawang, Jawa Barat.
Volume material yang dilontarkan hampir mencapai 100 juta meter kubik, dengan dampak hujan abu, awan panas, dan banjir lahar mencapai radius 20 kilometer. Untuk letusan kali ini, pihaknya masih meneliti skalanya setelah semua fase erupsi selesai. Subandrio memperkirakan skala eksplosivitasnya sudah pada angka 3.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sukhyar menjelaskan, jika dibandingkan dengan letusan Gunung Galunggung pada 1982, “Saya nilai letusan Merapi kali ini lebih dahsyat.” Ketika itu, Galunggung memiliki energi erupsi yang kira-kira sama dengan energi Merapi saat ini. “Bedanya, Galunggung mencicil pengeluaran energi erupsi itu selama sepuluh bulan, sedangkan Merapi hanya dalam waktu dua minggu,” katanya.
Memang, hingga akhir pekan lalu, BPPTK Yogyakarta mencatat Merapi telah memuntahkan sekitar 100 juta meter kubik magma. Pada letusan sebelumnya, suhu magma Merapi–yang kemudian menjadi lava dan awan panas–sekitar 600 derajat Celsius. Jika asumsi suhunya sama, energi termal yang dilepaskan Merapi mencapai 12 megaton TNT. Ini sama dengan ledakan 600 bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945.
Dengan volume magma yang besar, ada ahli yang menggolongkan letusan Merapi kini telah memasuki skala VEI 4. Secara kualitatif digolongkan sebagai letusan kataklismik atau letusan yang menghasilkan perubahan besar bagi lingkungan sekitar. Biasanya, letusan skala ini terjadi tiap 10 tahun sekali. Sedangkan dalam konteks Indonesia, letusan Merapi 2010 adalah yang terparah sepanjang 30 tahun terakhir, setelah letusan Gunung Galunggung pada 1982-1983. Karena itu, status skala VEI 4 membuat letusan Merapi 2010 sama dengan letusan Gunung Galunggung pada 1982-1983 dan Gunung Agung pada 1963.
Para ilmuwan tentunya harus meneliti keunikan letusan Merapi 2010. Bukan apa-apa, letusan kataklismik biasanya merupakan ciri khas gunung api dengan masa istirahat panjang. Misalkan letusan Gunung Agung yang terjadi setelah 120 tahun tidur panjang. Begitu pula Gunung Galunggung, yang meletus setelah 80 tahun tidak aktif. Adapun Gunung Merapi rata-rata meletus setiap 3-5 tahun sekali.UNTUNG WIDYANTO |MUH SYAIFULLAH | PITO AGUSTIN RUDIANA
Ancaman Lahar Dingin
Sejak letusan pertama hingga 7 November lalu, jumlah material Gunung Merapi yang dikeluarkan mencapai 100 juta meter kubik. Sebagian besar material itu menumpuk di bagian puncak dan memenuhi hulu di beberapa sungai. Ini menjadi ancaman karena berpotensi menimbulkan banjir lahar dingin yang sangat besar.
Lahar ini akan meluncur ke bawah dengan cepat karena kecuraman gunung model strato tersebut. Material berukuran hingga 2 meter dapat terbawa arus karena debu halus dan pasir membuat alur sungai menjadi licin. Bisa jadi arus ini akan menggerus tebing sungai dan menghancurkan dam serta jembatan.
Aliran lahar tersebut kali ini banyak mengarah ke selatan dan timur. Padahal dam sabo banyak terdapat di sisi barat dan selatan untuk menjaga permukiman padat penduduk. Karena itu, penduduk di wilayah di arah timur harus lebih waspada.
Sampai Ahad lalu, banjir lahar dingin telah memenuhi hampir seluruh badan Kali Code. Lahar itu mengalir di bawah Jembatan Gondolayu sampai Jembatan Kewek di Kota Yogyakarta. Kali Code, yang awalnya memiliki kedalaman 3 meter, menjadi dangkal, dan tinggal 30 sentimeter dari bibir talud.
Potensi ancaman lain adalah runtuhnya puncak Merapi, sehingga membentuk kaldera atau kawah besar, seperti Gunung Krakatau dan Gunung Tambora, setelah meletus. Hal ini terjadi jika material yang dimuntahkan sangat besar, sehingga menimbulkan kekosongan ruang di dalam gunung api.
Sumber: Koran Tempo, 10 November 2010