Idris Tinulele (45) geregetan menyaksikan pemandu wisata keliru memberi tahu jenis burung kepada wisatawan mancanegara. Ia tak mau hal itu terus terjadi lagi. Idris pun terjun sebagai pemandu wisata pengamatan burung. Sepi pada awalnya, tetapi kini pengamatan burung turut berkontribusi bagi gerak roda perekonomian lokal.
”Awalnya, saya tidak punya niat menjadi pemandu wisata pengamatan burung. Kejadian pada 2007 (pemandu memberi informasi keliru) membuat saya memutuskan untuk terjun sebagai pemandu karena saya tidak ingin wisatawan mendapatkan informasi yang salah,” kata Idris saat dijumpai di rumahnya, di Desa Wuasa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Kamis (14/9).
Wuasa berjarak 120 kilometer arah selatan Palu, ibu kota Provinsi Sulteng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lima tahun setelah 2007, dunia wisata pengamatan burung di Taman Nasional Lore Lindu (TN Lore Lindu) masih sepi. Pada periode itu, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) peminat pengamatan burung tidak lebih dari 20 orang. Kondisi tersebut tidak membuat Idris patah arang.
Kesabaran Idris menekuni wisata pengamatan burung mendapat momentum pada 2012. Sejak lima tahun lalu, wisman yang datang rata-rata 600 orang per tahun dengan puncak kunjungan pada bulan Juli-September. ”Saya anggap lima tahun pertama promosi wisata kepada wisatawan mancanegara,” kata suami dari Novlita Abe (34).
Jika dihitung secara ekonomis, jumlah wisatawan tersebut memberi sumbangan cukup signifikan. Rata-rata, turis asing menginap selama empat malam di penginapan di Wuasa ataupun di hotel di kota Palu. Di Wuasa, tarif per kamar penginapan Rp 250.000 per malam. Dengan hitungan kasar, wisman menghabiskan Rp 600 juta untuk penginapan per tahun.
Dari jumlah itu, retribusi ke kas daerah sebesar Rp 60 juta selama setahun. Nilainya bertambah besar jika dihitung dengan tarif tiket masuk ke lokasi pengamatan burung di TN Lore Lindu yang totalnya Rp 360 juta setiap tahun. Setiap wisman dikutip Rp 150.000 per hari untuk bisa mengamati burung.
”Dari hitung-hitungan tersebut, saya berani katakan bahwa wisata pengamatan burung termasuk jenis pelancongan yang mahal,” kata anak kedelapan dari 10 bersaudara pasangan Sagela Tinulele (almarhum) dan Maria Taloe.
Tamu yang didampingi Idris dibawa oleh perusahaan tur wisata yang berkantor di Palu, ibu kota Sulteng, atau Manado, Sulawesi Utara. Namun, tidak sedikit kelompok tur mancanegara yang menghubungi langsung Idris. Untuk jasanya, Idris diupah Rp 1 juta per hari.
Idris merupakan satu-satunya pemandu wisata lokal untuk pengamatan burung di TN Lore Lindu. Saat ini, ia tengah mendidik empat pemuda lokal untuk belajar memandu wisatawan pengamatan burung.
Wisman peminat pengamatan burung mayoritas berasal dari Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Dalam dua tahun terakhir, wisman regional juga mulai berdatangan, antara lain dari Thailand, Korea Selatan, China, dan Taiwan. Biasanya satu kelompok tur terdiri atas sembilan wisatawan.
Kenal burung
Merujuk pada buku Mengenal Taman Nasional Lore Lindu (2003) yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), TN Lore Lindu disebut suaka burung. Letak TN Lore Lindu di Garis Wallace yang memisahkan Asia dan Australia menjadi berkat. Dari 384 jenis burung di daratan Sulawesi, 267 jenis (70 persen) hidup di dalam kawasan seluas 217.991,18 hektar tersebut. Burung yang ”bersarang” di cagar biosfer tersebut 71 persen berkategori endemik, baik untuk ukuran Sulawesi maupun TN Lore Lindu.
Burung endemik Sulawesi yang hidup di dalam TN Lore Lindu antara lain rangkong (Bucerotidae) dan maleo (Macrocephalon maleo). Dua jenis burung tersebut berstatus langka.
Adapun burung endemik khas TN Lore Lindu, antara lain, geomalia (Geomalia heinrichi), sulawesi thrush (Cataponera turdoides), great shortwing (Heinrichia calligyna), dan hylocitrea genesis. Dalam laman Daftar Merah Badan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), geomalia berstatus nyaris terancam (near threatened). Adapun sulawesi thrush, hylocitrea genesis, dan great shortwing berstatus berisiko rendah terhadap kepunahan.
Idris menyebutkan, saat cuaca cerah di titik pengamatan sekitar Telaga Tambing, Desa Sedoa, Lore Utara, wisatawan bisa mengamati 80-100 jenis burung. ”Kalau cuaca buruk, wisatawan hanya bisa mengamati tidak lebih dari 50 ekor burung,” ujar bapak tiga anak tersebut sembari menyebutkan waktu terbaik mengamati burung pada pukul 06.00-10.00 WITA.
Selain di sekitar Telaga Tambing, ada pula tujuh daerah sebaran burung yang menjadi lokasi favorit pengamatan, antara lain bagian utara TN Lore Lindu, meliputi Desa Sigimpu, Kecamatan Palolo, melingkar ke utara Desa Bora, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi; daerah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, mencakup Desa Sadaunta hingga Desa Toro; Lembah Napu tersebar di Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, hingga Desa Torire, Kecamatan Lore Tengah. Lembah Napu meliputi Kecamatan Lore Utara, Lore Timur, dan Lore Peore.
Pencinta alam
Idris mulai berkenalan dengan dunia burung pada 1997 saat masih aktif di kelompok pencinta alam Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako. Ia terlibat dalam pemantauan populasi burung maleo di TN Lore Lindu bersama dengan The Nature Conservancy. Setelah penelitian itu, ia mulai mendokumentasikan jenis burung. Data tersebut disempurnakan saat ia terlibat bersama tim LIPI untuk membukukan jenis-jenis burung di TN Lore Lindu.
”Dari penjelajahan itu, saya jadi kenal burung, baik dengan melihat langsung maupun hanya mendengarkan suara,” ujar Idris di Wuasa, Kamis (14/9). Dengan kemampuan seperti itu, Idris tidak kesulitan dalam memandu para wisatawan yang mayoritas ilmuwan dari kampus atau lembaga di negaranya masing-masing.
Berdasarkan pengalaman mendampingi wisatawan, Idris melihat potensi besar wisata pengamatan burung cukup besar. Sayangnya, daerah wisata tersebut belum dikelola dengan baik. Wisata jenis ini sepi dari promosi atau intervensi pemerintah daerah.
Selain itu, di kawasan TN Lore Lindu, jalur-jalur yang menghubungkan titik-titik pengamatan belum dibuka. Akses ke jalur-jalur itu penting untuk memudahkan mobilisasi wisatawan. Satu-satunya titik pengamatan yang sudah ditata dengan baik (ada tenda pengamatan) di dekat Telaga Tambing.
”Kalau wisata pengamatan burung diperhatikan, saya yakin wisatawan akan lebih lama bereksplorasi. TN Lore Lindu memiliki keunggulan yang jarang didapatkan wisatawan di tempat pengamatan burung lain,” kata Idris.
Di Sulawesi, tempat pengamatan burung lainnya ada di TN Bogani Nani Wartabone yang berada di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Bagi Idris, wisata pengamatan burung menjadi salah satu wujud pemanfaatan kekayaan fauna hutan tropis yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Kekayaan fauna di TN Lore Lindu terlalu sayang apabila tidak dikelola untuk kemaslahatan manusia dengan, tentu saja, tetap menjaga kelestarian kawasan.
Sumber: Kompas, 24 Oktober 2017