Tingkat literasi di Indonesia menempati posisi 61 dari 62 negara yang dinilai. Hal ini disebabkan oleh rendahnya budaya membaca. Mentalitas membaca dan menulis perlu dibangun sejak dini agar terbiasa berani memunculkan ide dan gagasan dalam bentuk karya.
Berdasarkan riset Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata 3-4 kali per minggu. Lama waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Jumlah buku yang dibaca per tahun rata-rata sekitar 5-9 buku. Jadi, rata-rata tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia adalah 36,48 persen. Angka ini tergolong
Direktur Penerbitan dan Pendidikan PT Gramedia Asri Media Suwandi S Brata mengatakan, tingkat kegemaran membaca masih rendah karena sejak dini tidak pernah dibangun kebiasaan membaca.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dengan tingkat literasi yang rendah, ini berbahaya. Ide-ide besar selalu muncul ketika orang suka membaca. Mereka perlu dimotivasi untuk mulai menyukai budaya membaca,” ujar Suwandi dalam konferensi pers Gramedia Writers and Readers Forum (GWRF) 2018 di Perpusnas, Jakarta, pada Jumat (6/4/2018).
NIKOLAUS HARBOWO–(Dari kiri ke kanan) Penyair Joko Pinurbo, staf humas Perpusnas Elsa, Direktur Penerbitan dan Pendidikan PT Gramedia Asri Media Suwandi S Brata, serta Penulis Elvira Natali, dalam konferensi pers Gramedia Writers and Readers Forum (GWRF) 2018 di Perpusnas, Jakarta, pada Jumat (6/4/2018).
GWRF 2018 digelar mulai hari ini hingga Minggu (7-8 April) di Perpusnas. Acara tersebut akan dihadiri oleh beberapa penulis dan penyair, seperti Sapardi Djoko Damono, Leila S Chudori, Joko Pinurbo, Maman Suherman, Tere Liye, Eka Kurniawan, Donny Dhirgantoro, dan Bernard Batubara.
Suwandi menuturkan, budaya membaca perlu ditanamkan sejak dini untuk merangsang ide atau gagasan baru. Pemikiran tersebut pun diharapkan lebih reflektif dan tetap kontekstual.
“Jadi ada pemikiran kritis yang timbul, tidak pragmatis,” ucap Suwandi.
Penulis muda, Elvira Natali (21), mengatakan, kebiasaan membaca mampu menggerakan seseorang untuk berkarya.Elvira mengaku suka membaca sejak sekolah dasar. Ia mengawalinya dengan membaca cerita bergambar. Beranjak sekolah menengah atas, ia mulai menyukai bacaan novel.
Elvira pun termotivasi untuk mencoba berkarya. Saat itu dia duduk di kelas X SMA. Ia mengaku, naskahnya pun sempat ditolak oleh penerbit. Namun, ia terus belajar dan mengirimkan naskahnya kembali. Hingga kini, Elvira telah menerbitkan lima buku, yakni Janji Hati (2013), Return (2014), Two Souls (2016), (Never) Looking Back (2016), dan Bluebell (2018).
“Saya menyukai dunia menulis, jadi saya tidak mau berhenti begitu saja meski ditolak. Kalau tidak pernah mencoba, tidak akan jalan,” tutur Elvira.
Sebagai generasi milenial, Elvira menilai, kelemahan pada generasinya adalah lebih suka sesuatu yang instan. “Mereka terdidik membaca tulisan yang singkat, sehingga malas membaca buku yang panjang. Karena singkat, semenit lewat, jadi akhirnya tidak ada sesuatu yang berkesan bagi mereka,” ujar Elvira.
Penyair Joko Pinurbo menambahkan, perlu ada peningkatan kualitas membaca bagi generasi sekarang. Ia mencontohkan, tidak mudah untuk dapat memahami sebuah karya sastra apabila tidak pernah dibiasakan membaca.
“Untuk bisa mengapresiasi sebuah karya sastra tidak mudah, perlu latihan, perlu proses, perlu kekhusyukan sendiri. Tidak semudah kalau hanya membaca sepintas, sehingga kualitas membaca itu sangat penting,” ujar pria yang biasa disapa Jokpin.
Jokpin mengatakan, hal serupa juga perlu diterapkan dalam menulis. Menulis, menurut dia, perlu konsistensi.
“Menulis itu seperti menabung. Sedikit demi sedikit, berani mencoba. Jadi memang prosesnya harus konsisten. Kita menjaga energinya yang penting,” ucapnya.
Jokpin bercerita, dirinya mulai menulis puisi sejak umur 15 tahun. Namun, puisi pertamanya baru terbit ketika ia berumur 37 tahun.
“Saya kalau putus asa, saya sudah berhenti menulis. Artinya, ada faktor mental juga yang harus dijaga,” ujar Jokpin.
Dalam berkarya, Jokpin menuturkan, penulis juga harus berani mencari hal yang berbeda dari yang sudah ada di pasaran. Penulis harus memiliki kekhasan dalam mengekspresikan karyanya agar dikenali orang. Ia mengaku, hampir 20 tahun mencoba meneliti kosakata yang belum pernah ditulis oleh penyair-penyair di Indonesia.
“Gaya itu melekat pada diri penulis. Jadi, sulit ditiru siapapun,” ujarnya.(DD18)
Sumber: Kompas, 7 April 2018