Semua pihak telah memahami pentingnya menjaga ketinggian muka air di lahan gambut untuk mencegah terjadinya kebakaran. Hal tersebut juga sudah diatur dalam peraturan menteri. Teknologi modifikasi cuaca, yaitu hujan buatan, di kawasan lahan gambut bisa dilakukan sebelum gambut kering.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membutuhkan dukungan kebijakan agar hujan buatan untuk menjaga lahan gambut tetap basah guna mencegah kebakaran dapat dijalankan. Sebab, mencegah kebakaran hutan dan lahan lebih murah dan lebih mudah. Kebakaran hutan yang berlarut-larut saat ini akibat kebakaran di lahan gambut yang sulit pemadamannya karena api di lapisan gambut yang dalam sulit mati.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Warga secara manual membasahi lahan gambut yang masih mengeluarkan asap di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, Selasa (17/9/2019). Proses pemadaman dan pembasahan di lahan gambut membutuhkan waktu yang lama untuk memastikan api benar-benar padam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembatasan muka air lahan gambut diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Permukaan tanah di lahan gambut tidak boleh lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan yang dipantau.
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Anantasena mengatakan, pemantauan muka air pada lahan gambut dapat dipantau menerus di Jakarta. Hal ini karena di BPPT dan di Badan Restorasi Gambut (BRG) memiliki 56 sistem SMOKIES (Sistem Monitoring Online Kandungan Air Lahan Gambut Indonesia untuk Early Warning System kebakaran hutan dan lahan) yang sudah dipasang.
Peringatan awal untuk melihat potensi daerah yang rawan terbakar, menurut Anantasena, sudah dapat dilihat dari tinggi muka air tersebut. Lahan gambut tidak boleh kering karena jika kering amat mudah terbakar.
“Gambut itu merupakan lapisan batu bara muda sehingga amat mudah terbakar,” kata dia dalam acara Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema “Antisipasi Karhutla Berlanjut” yang diadakan di Jakarta, Kamis (26/9/2019). Keputusan menetapkan siaga darurat berdasarkan Level Muka Air Lahan Gambut (LMALG).
Dengan data tersebut, BPPT dapat merencanakan modifikasi cuaca jauh-jauh hari sebelum gambut kering. “Kita bisa melakukan secara mandiri di akhir musim hujan untuk mengisi embung dan kanal-kanal untuk simpanan di musim kering. Kami mengharapkan ada dukungan agar BPPT bisa melakukan itu sepanjang tahun. Tidak hanya saat terjadi bencana karena kalau sudah telanjur terjadi, kita semua lebih repot dan lebih rugi, karena lebih banyak biaya yang kita keluarkan,” kata Anantasena. “Kita bisa melakukan ini sepanjang tahun,” tambahnya.
Saat ini pemerintah telah mengerahkan 1 unit Hecules TNI AU, 1 unit CN 295 TNI AU, 2 unit Casa 212-200 TNI AU, 1 unit Casa 212-200 (BPPT), dan 1 unit Piper Cheyenne (BPPT). Sepekan terakhir di Pekanbaru berhasil turun hujan dengan volume 259 juta meter kubuk (m3), Palembang 30 juta m3, Palangkaraya 15 juta m3, Pontianak 86 juta m3. Untuk Jambi, menurut Anantasena, dilakukan penyemaian awan dan telah menghasilkan hujan yang merata.
“Tanggal 18 di Jambi begitu ada laporan kadar awan 70 persen langsung terbang langsung menyemai garam NaCL, langsung turun hujan yang pertama kali,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
Pencegahan bisa dilakukan
Dengan sifat bencana kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang dan terjadi di wilayah-wilayah yang sama atau berdekatan, bencana ini merupakan bencana yang bisa dicegah kejadiannya. Memprediksi bencana kebakaran hutan dan lahan, menurut Anantasena, lebih mudah dari pada memprediksi kejadian gempa bumi.
“Musimnya bisa diprediksi, cuaca bisa diukur, dengan modeling bisa diukur, wilayahnya pun sudah tahu,” kata Anantasena. Pemantauan muka air permukaan lahan gambut bisa dilakukan sepanjang tahun. “Karena mencegah lebih baik dari pada setelah sudah terjadi,” katanya.
Doni mengatakan, penyelesaian kebakaran hutan dan lahan tidak bisa dilakukan satu pihak saja namun harus kerja sama semua pihak. “Gubernur dan bupati harus mulai berpikir membangun sekat kanal agar titik api tidak bertambah dan bagaimana mencegah karhutla. Air gambut jangan dibiarkan lepas. Kalau terlambat dan musim kering tiba tidak akan bisa lagi dicegah kebakaran. Ini saatnya kita mulai bekerja membangun sekat sekat kanal,” tegasnya.
Hal yang bisa menjadi kendala adalah pernyataan siaga darurat dari kepala daerah yang dibutuhkan untuk bisa mengeluarkan dan dan biaya operasional.
Dari pihak Badan Restorasi Gambut (BRG), menurut Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Badan Restorasi Gambut, mereka tidak bisa melakukan pemeliharaan lahan gambut seperti membuat sekat kanal dan sumur karena tidak tersedia anggarannya.
“Kadang duit belum ada. Ada sumur dan pompa yang sudah diserahkan ke masyarakat dan itu menjadi tanggung jawab masyarakat untuk memelihara. Jadi masalah administrasi menjadi hambatan di lapangan,” ujarnya.
Pihak BRG juga tidak bisa melakukan pemadaman karena tugasnya hanya melakukan restorasi di lahan budidaya dan kawasan lindung yang sudah ditetapkan luasannya. Tidak ada dana untuk pemadaman.
Untuk areal konsesi pun BRG tidak bisa melakukan apa-apa karena bukan masuk dalam tanggung jawabnya. Target restorasi yaitu 2.676.601 ha namun tanggung jawab BRG hanya kawasan lindung (491.791 ha) dan kawasan budidaya (400.457 ha).
Perusahaan disegel
Pejabat pelaksana teknis Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL) Raffles B Panjaitan mengatakan, ada tambahan dua perusahaan yang disegel terkait kebakaran hutan dan lahan. “Sekarang yang siaga darurat sudah dua provinsi yaitu Riau dan Kalimantan Tengah,” katanya.
Dari data satelit 10 daerah yang terdapat titik panas, hingga 24 September 2019 dibandingkan dengan data rentang waktu sama pada 2018, sembilan daerah mengalami kenaikan jumlah titik api. Daerah-daerah tersebut adalah Riau, Jambi, Sumsel (di Sumatera), Kalbar, Kaltim, Kalsel, Kaltara, Kalteng (Kalimantan), serta Papua. Hanya Sumut yang mengalami penurunan jumlah titik api, dari 95 titik menjadi 49 titik api.
“Semua data satelit harus dicek di lapangan bersama-sama antara kementerian, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Data-data ini harus kita verifikasi sebab harus accountable dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Raffles.
Dia mengatakan, hal itu penting karena data ini sama, digunakan di seluruh Indonesia. “Sementara, luas wilayah kebakaran ini akan dihitung sebagai emisi gas rumah kaca (GRK) yang harus dipertanggungjawabkan di Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC),” ujar Raffles. Konferensi para pihak ke-25 (COP-25) akan dilangsungkan di Chile, Chil Desember mendatang.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 27 September 2019