Keberadaan hiu paus yang bisa dijumpai tiap hari di sejumlah wilayah perairan, termasuk Kaimana, Papua Barat, jadi daya tarik wisatawan. Setiap individu memiliki karakter pergerakan dan jangkauan masing-masing.
Kehadiran hiu paus atau ikan terbesar di dunia jadi perhatian bagi siapa pun yang melihatnya langsung. Liukan berenangnya terkesan lamban tapi bertenaga dan perilakunya yang tampak tak acuh menjadikan fauna air tak agresif itu sebagai daya tarik pariwisata. Bagi riset, kehidupan raksasa itu menjadi tanda tanya bagi para peneliti.
Apabila sebelumnya kehadiran hiu paus itu hanya bisa disaksikan rutin tiap hari di Teluk Cenderawasih, tepatnya di Kwatisore Nabire, kini titik-titik serupa sudah banyak. Sebut saja Botubarani di Gorontalo, Sumbawa Nusa Tenggara Barat, Teluk Sayan, dan Derawan di Berau Kalimantan Timur, hingga di Kaimana, Papua Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di daerah itu, hiu paus sejak dulu diketahui melintas seperti yang terjadi di perairan utara Pulau Jawa. Beberapa kali muncul kesaksian penyelam di perairan Kepulauan Seribu secara kebetulan bertemu megafauna itu.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Hiu paus (Rhincodon typus), ikan terbesar ini juga terdapat di Teluk Bicari, sekitar 30 menit dari ibukota Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Di sini terdapat sekitar 40 bagan yang hingga kini terdapata 28 individu berbeda yang 7 individu diantaranya telah di-tagging. Penanda ini dapat memberi info ke satelit lokasi pergerakan, suhu, kecepatan, dan kedalaman berenang hiu paus. Hasil pengamatan pada satelit menunjukkan hiu bertotol-totol di Kaimana ini berenang hingga ke perairan Timor Leste, Banda, dan Aru. Berenang maupun menyelam bersama hiu paus menjadi andalan di sejumlah daerah dan negara yang juga ingin dikembangkan di Kota Senja Kaimana.
Bahkan, beberapa orang meyakini jika melaut dan menjumpai hiu itu agar segera pulang agar tak mengalami petaka. Itu merupakan kearifan lokal untuk tak mengganggu hiu berkulit keras dan kasar yang sejak tahun 2013 dilindungi penuh di Indonesia ini.
Hiu paus yang bisa mencapai panjang 18 meter dan lebar 1,5 meter itu telah menjadi ikon penyelaman bersama hiu (shark diving). Salah satu lokasi relatif baru yang mulai dikenal akan kehadiran hiu paus yaitu di Kaimana, Papua Barat. Tepatnya di Teluk Bicari, sekitar satu jam perjalanan dari Ibukota Kota Senja ini, 40-an bagan penangkap ikan ada di situ sejak lama.
Para pemilik bagan umumnya adalah orang-orang Sulawesi yang merantau sampai Papua. Sejak lama para nelayan itu hidup berdampingan dengan hiu paus yang hampir saban hari mendatangi bagan karena tertarik dengan aroma ikan teri yang tertangkap di jaring.
Nelayan yang sehari-hari hidup terapung di bagan itu membagi hasil tangkapan dengan memberikan sebagian ikan kepada hiu yang dilindungi penuh di Indonesia itu. Maklum saja, mereka menganggap hiu paus sebagai pembawa rezeki.
Pemantauan
Kehadiran hiu paus di bagan-bagan yang tanpa mengenal musim tersebut mengundang pihak Conservation International (CI) Indonesia menelitinya. Sejak beberapa tahun ini mereka memantau hiu paus di Kaimana.
Hasilnya, hingga kini terdapat 28 hiu paus berbeda yang pernah mendatangi perairan setempat dan 7 di antaranya telah dipasang penanda satelit. Jumlah itu relatif lebih sedikit dibandingkan inidividu hiu paus yang pernah terdata mendatangi Teluk Cenderawasih (120 individu) dan Sumbawa (51 individu).
Satu hiu yang terdata di Kaimana itu diberi nama Susi, penghargaan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Hiu itu pula yang tampak berenang bersama dua individu lain saat Kompas bersama sejumlah media lokal mendatangi bagan, pada November 2018 lalu.
Hiu paus Susi yang berukuran sekitar 6,5 meter itu bukan termasuk individu terbesar saat itu. Masih ada satu individu lebih besar berukuran panjang 7,5 meter dengan sirip cacat karena terluka.
Menurut CI Indonesia, hiu paus Susi sudah berbulan-bulan tidak terekam datanya dan menghilang dari perairan Kaimana. Hal itu diduga karena alat penandaan (tagging) yang dipasang di sirip punggung Susi sudah kotor. Kesempatan perjumpaan kemarin dimanfaatkan Jack, pemandu selam (dive guide) yang biasa mendampingi CI Indonesia di Kaimana, untuk membersihkan alat pemancar itu dari tempelan alga.
Dari pemantauan satelit yang bisa memberi informasi lokasi pergerakan, kedalaman, suhu, dan kecepatan hiu paus itu, terungkap bahwa tiap individu memiliki karakter pergerakan maupun jangkauan masing-masing. Hiu paus itu berenang antar kawasan konservasi di Papua Barat, Laut Arafura, Laut Seram, Laut Banda, hingga ada yang ke Papua Niugini dan Timor Leste.
Uniknya, CI Indonesia menunjukkan hiu paus di Kaimana berukuran 3,5-7,5 meter dengan perbandingan jantan dan betina 23:1. Data hampir serupa untuk hiu paus yang berada di Teluk Cenderawasih, Nabire, Papua.
Namun di St Helena, Atlantik Selatan, hiu paus mencapai ukuran 7,5 – 11 meter dengan perbandingan jantan dan betina 1: 1. Di Pulau Darwin di Galapagos, ukuran hiu lebih besar lagi yakni 9-13,5 meter dengan perbandingan jantan dan betina 1:10.
Melihat data itu, elasmobranch project officer CI Indonesia Erfa Canisthya, menduga perairan di Kaimana dan Teluk Cenderawasih merupakan tempat pembesaran karena ukuran hiu paus relatif kecil atau masih remaja. Sementara di Atlantik Selatan dan Pulau Darwin bisa jadi merupakan tempat hiu paus kawin karena hiu pausnya lebih besar.
Namun, hingga kini hal itu belum diketahui pasti proses kawin dan melahirkan. Masa hidup hiu paus ketika masih anak hingga remaja pun sama sekali tak diketahui. Pada tahun 1995 di Taiwan pernah tertangkap hiu paus betina sedang hamil. Setelah dibuka berisi 300 anakan di dalamnya. Hiu paus bereproduksi dengan ovovivipar atau bertelur dan memelihara janin di dalam tubuh.
Hiu paus yang penuh misteri itu di Maladewa bisa dimanfaatkan industri pariwisata untuk meraup 9,5 juta dollar per tahun, atau sebanding dengan Rp 130 miliar. Pundi-pundi itu pula yang dilirik berbagai daerah untuk menjadikan hiu paus sebagai “dagangan” pariwisata.
Kaimana termasuk satu di antara yang beruntung memiliki potensi itu, dan kini mulai menyiapkannya. Namun, selain infrastruktur dan akses perlu dipikirkan, tiap pihak harus menyiapkan Kaimana sebagai ekowisata berkelanjutan, termasuk aturan main “berinteraksi” bersama satwa itu di perairan liar.
Hal itu dinilai penting bagi keselamatan hiu maupun wisatawan itu sendiri. Meski hiu paus kerap disebut sebagai “hiu bodoh” dan tidak pernah ada catatan agresivitas, ukuran tubuhnya besar dan sapuan ekornya membahayakan jika mengenai tubuh manusia.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 20 Januari 2019