Hari Sejarah Indonesia dideklarasikan dalam Apresiasi Historiografi Indonesia yang berlangsung 5-8 Mei 2014 di Yogyakarta. Penetapan hari tersebut setiap tanggal 14 Desember, mengacu peristiwa Seminar Sedjarah Indonesia yang berlangsung pertama kali pada 14-18 Desember 1957.
”Pendeklarasian Hari Sejarah Indonesia untuk menumbuhkan kepedulian terhadap sejarah nasional. Di era otonomi daerah, memang kepedulian sejarah meningkat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan lokalitas,” kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis Paeni, Rabu (7/5), di Yogyakarta. Sekitar 120 sejarawan peserta Apresiasi Historiografi menandatangani pendeklarasian tersebut.
Menurut Mukhlis, seminar sejarah tahun 1957 menjadi tonggak penting dalam mengalihkan materi sejarah yang berorientasi sudut pandang kolonial Belanda menjadi sudut pandang Indonesia. ”Apresiasi Historiografi Indonesia saat ini melanjutkan seminar sejarah pada 1957. Dengan penetapan Hari Sejarah Indonesia, setiap tahun akan ada pengkajian dan peningkatan keilmuan sejarah ini,” kata Mukhlis.
Segarkan penulisan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo, mengatakan, metode penulisan sejarah perlu terus disegarkan. Sejarah tidak hanya untuk mengetahui masa lampau, tetapi menjadikannya pengetahuan untuk menyusun masa depan. ”Dibutuhkan penyegaran penulisan sejarah,” kata Joko.
Selain diskusi, para peserta Apresiasi Historiografi Indonesia berkesempatan mengunjungi lokasi Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Memorial itu dibangun di atas tanah seluas 3.620 meter persegi dan diresmikan pada 8 Juni 2013 oleh Probosutejo, adik Soeharto.
Menurut Biyono (79), warga di sekitar memorial tersebut, rumah asli tempat kelahiran Soeharto sudah digantikan dengan petilasan yang baru. Banyak pengunjung yang mempertanyakan rumah asli Soeharto, padahal rumah itu sudah dirubuhkan.
Dalam kesempatan itu, film dokumenter perjalanan karier Soeharto juga disajikan. Kemudian, para pengunjung melihat diorama dan dokumentasi Soeharto.
Tanpa PKI
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 membawa Soeharto melejit di dalam kariernya hingga ditetapkan sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
”Penyebutan G30S memang lebih tepat tanpa ditambahi PKI (Partai Komunis Indonesia). Karena itu, sesuai fakta kejadian PKI merupakan yang tertuduh,” kata sejarawan Taufik Abdullah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (NAW)
Sumber: Kompas, 8 Mei 2014