Hutan yang semula riuh oleh celoteh buruh dan jeritan monyet pagi itu menjadi senyap, ketika terdengar suara mengaum yang berat, ”Auuummmm…” Cukup sekali, namun auman harimau sumatera itu membuat ciut nyali siapapun di dekatnya.
Demikian halnya kami. Sepanjang 12 jam perjalanan pada pertengahan tahun 2012 menuju Desa Renah Kemumu di pedalaman rimba Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi, kami pun diserang rasa was-was. Apalagi tapak-tapak kaki harimau berbagai ukuran tercetak jelas di jalan setapak berlumpur.
Sekalipun tak bertatap muka langsung, namun merasai kehadirannya saja sudah sedemikian menciutkan nyali. Konon, menurut warga desa yang menemani perjalanan, auman yang sekali itu menandai sang harimau merasa terganggu karena kami mengganggu ritual berburunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
WWF RIAU–Harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae) yang terlihat dalam jebakan foto yang dilakukan TIM WWF Riau di salah satu habitat harimau Sumatera di Riau. Dari tiga jenis harimau yang ada di Indonesia, kini tinggal harimau sumatera yang tersisa di habitatnya.
Matahari sudah gelap ketika kami akhirnya sampai di Renah Kemumu, desa tua yang menyimpan sejumlah tinggalan megalitik berusia ribuan tahun. Ketika kami berbagi kisah tentang jejak harimau yang bertebaran di sepanjang perjalanan, warga Renah Kemumu hanya tersenyum.
Kisah sehari-hari mereka hidup bersama harimau jauh lebih dramatis. Hampir setiap tahun, ada warga desa yang tewas dimangsa harimau. Sekalipun demikian, tak sekalipun warga di sana berburu harimau. Mereka menyadari hidup menumpang di dalam hutan yang menjadi kekuasaan harimau.
“Hutan ini memang rumah dia. Kita saja yang harus lebih hati-hati saja,” kata salah seorang tetua Desa Renah Kemumu.
Cerita warga Renah Kemumu ini mengingatkan pada tulisan William Marsden dalam buku History of Sumatera (1783), ”Jumlah orang yang dibantai harimau sangat banyak. Saya bahkan pernah mendengar tentang sebuah desa yang penduduknya habis dimangsa harimau.”
Sejarawan Peter Boomgaard dalam bukunya Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600-1950 (2001) menyebutkan, jumlah orang yang tewas akibat diterkam harimau di Pulau Sumatera pada tahun 1818-1855 rata-rata mencapai 1.000 orang per tahun. Kematian terbanyak terjadi di Lampung, yaitu rata-rata sebanyak 800 orang per tahun.
Walaupun banyak korban jatuh, menurut Marsden, masyarakat Sumatera saat itu jarang yang berburu harimau. ”Kepercayaan mistik yang sangat kuat membuat warga enggan berburu harimau. Padahal, pemerintah (Belanda) menawarkan uang banyak bagi orang yang bisa membunuh harimau,” tulis Marsden.
Bagi masyarakat di Indonesia pada saat itu, harimau menjadi sosok yang ditakuti, namun sekaligus di hormati.
Penghormatan itu jelas terlihat dalam kisah-kisah rakyat di Sumatera, yang di beberapa daerah menempatkan harimau sebagai buyut mereka, misalnya sebutan puyang di Sumatera Selatan, datuk atau inyiak di Sumatera Barat dan Jambi, serta opung di Batak. Demikian halnya di Jawa dan Bali dulu. Harimau merupakan sedikit dari binatang yang dihadirkan dalam wayang kulit.
Berbeda dengan masyarakat setempat, pada tahun-tahun kolonialiasi itu, Belanda menetapkan harimau sebagai binatang buruan yang harus dimusnahkan. Pertarungan antara harimau dengan manusia menguat, terutama di Jawa dan Bali.
–Lukisan Raden Saleh tentang Javanese Landscape, with Tigers Listening to the Sound of a Travelling Group. Lukisan diselesaikan di Dresden tahun 1849. Sumber: wikie.commons
Menurut catatan Boomgaard, hingga awal tahun 1830-an, banyak wilayah di Jawa yang masih menjadi daerah kekuasaan harimau. Dalam periode 1820 – 1830, penduduk di pulau ini yang terbunuh karena harimau dan kucing besar lainnya mencapai 500 orang per tahun sedangkan jumlah harimau yang dibunuh sebanyak 1.100 ekor per tahun. Pada periode 1830 -1850, jumlah orang di Jawa yang tebunuh karena harimau 200 orang per tahun, sedangkan harimau yang terbunuh 900 ekor per tahun.
Seiring pembukaan hutan untuk perkebunan secara besar-besaran di Jawa pada era 1830 -1870, konflik antara harimau dengan manusia pun meningkat. Hanya dalam tahun 1855 saja, sebanyak 147 orang di Priangan (Jawa Barat) tewas dimangsa harimau (Boomgaard, 2001).
Pemerintah kolonial Belanda, yang tidak dicekam mitos-mitos tentang harimau memimpin pembantaian besar-besaran harimau di Jawa dan Bali, seiring dengan pembukaan lahan pertanian dan permukiman yang merangsek ke hutan. Hal ini diteruskan setelah era Belanda.
Hingga pada tahun 1940-an, harimau bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah, menyusul kemudian harimau jawa (Panthera tigris sondaica) juga punah pada tahun 1980-an.
Dari tiga jenis harimau yang ada di Indonesia, kini tinggal harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang tersisa di habitatnya.
Pada tahun 2015 lalu, Andreas Wilting dari Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research, Jerman dan timnya, sebenarnya mempublikasikan temuan baru tentang kemiripan genetik harimau jawa dan harimau bali dengan harimau sumatera. Studi yang dipublikasikan di Scinence Advance itu mengusulkan taksonomi dan subspesies harimau yang baru, dengan menggabungkan tiga aspek yaitu morfologi, genetika dan ekologi.
Diusulkan, harimau hanya punya, dua subspesies, yaitu harimau sunda dan harimau kontinental. Harimau sunda terdiri dari harimau sumatera, jawa serta bali yang ada di Indonesia. Untuk harimau kontinental terdiri dari 6 subspesies sisanya yang tersebar dari Rusia hingga Malaysia.
Fakta ilmiah ini sempat membuka wacana introdusir harimau sumatera untuk mengisi kepunahan kerabatnya di Jawa dan Bali. Namun, sekalipun secara biologis barangkali dibenarkan, namun hal ini sepertinya mustahil dilakukan. Harimau tak lagi mendapat tempat di Jawa dan Bali, bahkan di Sumatera.
Seperti diberitakan Kompas, pada Sabtu (10/3) lalu, seorang pekerja bangunan, Yusri Efendi (34) tewas diterkam harimau di Indragiri Hilir, Riau. Dia merupakan orang kedua yang tewas diterkam harimau di dalam tiga bulan terakhir di daerah ini. Sebelumnya, berulangkali diwartakan di media yang sama tentang harimau yang dibunuh dan dikuliti, bahkan juga anak-anak harimau mati diracun (Kompas, 14 Juli 2017).
Melihat masifnya konflik antara harimau dan manusia di Sumatera akhir-akhir ini, sepertinya hanya soal waktu Panthera tigris sumatrae juga akan menyusul dua kerabatnya yang telah lebih dulu punah. Seperti diingatkan Rodolfo Dirzo dalam tulisannya di jurnal Science (2014), dominasi Homo sapiens di Bumi saat ini mengarah pada Anthropocene defaunation, yaitu pemusnahan fauna akibat ulah manusia, yang pada ujungnya ”membawa pemusnahan massal keenam kalinya di Bumi dan faktor penting bagi perubahan ekologi global”.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 14 Maret 2018