Hari Kebangkitan Teknologi; Dari Dirgantara ke Maritim

- Editor

Senin, 10 Agustus 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pagi itu, Kamis, 10 Agustus 1995, pesawat N-250 berhasil lepas landas dari Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung. Prototipe pertama pesawat produksi Industri Pesawat Terbang Nusantara yang disebut Gatotkoco itu diterbangkan pilot penguji Erwin Danuwinata selama satu jam.

Terbang perdana disaksikan Presiden Soeharto dan BJ Habibie selaku Dirut Industri Pesawat Terbang Nusantara sekaligus Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Itu lalu menjadi tonggak sejarah Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, yang diperingati tiap tahun. Terbang perdana N-250 karya anak bangsa membuktikan ke dunia, bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi canggih, yakni teknologi pesawat.

Namun, program pembuatan N-250 ke tahap pembuatan prototipe berikut kandas diterpa krisis moneter 1998. Padahal, untuk sampai ke produksi, butuh investasi 650 juta dollar AS atau kini senilai Rp 8,45 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seiring dengan itu, IPTN mengalami kemunduran, ditandai pemutusan hubungan kerja sekitar 15.700 pekerja pada 1997, kini tinggal 4.200 orang. Itu seiring penurunan produksi pesawat. Masa surut juga dialami industri strategis dan industri lain.

Kelesuan mendera dunia penelitian. Anggaran riset sampai kini belum naik dari 0,08 persen produk domestik bruto, menurut perhitungan Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI. Padahal, menurut UNESCO, agar hasil riset berdaya guna bagi kemajuan bangsa butuh dana 2 persen PDB.

Mulai bangkit
Dalam kondisi sulit, PT Dirgantara Indonesia mencari terobosan. Prototipe N-250 dihanggarkan. Perhatian beralih ke N-219 yang dirintis pembuatan desainnya pada 2012.

ed1df481184046c3bff760efee5c0b48KOMPAS/YUNI IKAWATI–Sistem kendali di ruang pilot (kokpit) N-219 dipamerkan pada acara forum inovasi di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 13 April 2015.

Pembuatan pesawat dua baling-baling berpenumpang 19 orang itu jadi peluang bangkitnya industri pesawat nasional. Itu untuk mengatasi kelangkaan sarana transportasi udara antarpulau kecil di Indonesia.

Pesawat kecil diperlukan di Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau kecil dan terpencil. Pesawat perintis bisa memantau, mempertahankan kedaulatan dan integrasi di perbatasan, dan mendistribusikan kebutuhan pokok ke daerah terpencil.

“Pesawat N-219 bisa memenuhi kebutuhan itu,” kata Agus Aribowo, Kepala Bidang Aerodinamika Pusat Teknologi Penerbangan Lapan. Pesawat bermesin dua jenis baling-baling itu bisa mendarat di landas pacu 500 meter. Kapasitas bahan bakar bisa menjelajah 1.000 km.

Untuk mengatasi pendanaan pembuatan N-219 yang butuh Rp 300 miliar, PTDI bermitra dengan Lapan dan BPPT antara lain dalam desain, uji struktur dan mesin, serta analisis. Konsorsium melibatkan Bappenas, sejumlah kementerian, dan ITB. Kementerian Perhubungan akan mengurus sertifikasi kelaikan terbang. Pesawat N-219 ditargetkan Mei 2016 mulai uji terbang.

Setelah N-219, PTDI akan mengarah ke N-245. Pembuatan pesawat komuter berpenumpang 45 orang itu akan berbasis pada fasilitas produksi CN-235 PTDI. Jadi, 70 persen berbasis fasilitas produksi yang ada. “Tenaga kerja di PTDI menguasai teknologi pembuatannya,” kata Dirut PTDI Budi Santoso.

Pembuatan N-219 dan N-245 masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Desain produksi N-245 dikerjakan setelah proyek N-219 tuntas. Biaya pembuatan N-245 sampai sertifikasi Rp 1,8 triliun. “Pada 2016, pesawat disertifikasi agar N-245 terbang perdana pada 2018,” kata Manajer Pengembangan Teknologi dan Produk Baru Divisi Pusat Teknologi PTDI Palmana Banandhi,

Selain kedirgantaraan, pemerintahan Joko Widodo mendorong kemajuan dunia kemaritiman yang selama ini tertinggal. Sebagai negara kepulauan, moda transportasi efisien dan efektif di laut dan udara jadi tantangan besar. Pemerintah pun memacu pembangunan 24 pelabuhan besar dan pembuatan kapal di Tanah Air. (YUN)
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Dari Dirgantara ke Maritim”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB