INGIN Jadi Arsitek? Ingin kuliah di Arsitektur? Gampang. Di Indonesia ini, ada tak kurang dari sekitar 60 Fakultas Arsitektur, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Tapi, tunggu dulu, adakah anda benar-benar akan mampu menekuni dunia arsitektur, nantinya?
Arsitektur. Ini bukan sebuah bidang biasa, yang hanya berhubungan dengan hal-hal sains dan teknologi. Lebih dari itu, arsitektur berhubungan dengan hal penciptaan, merancang bangun sesuatu yang tak ada, untuk menjadi ada, begitulah kata Han Awal, salah seorang arsitektur senior negeri ini.
Sejak tahun 1960, setamatnya dari Technische Universitat, Fakultat Fur Architectur di Berlin Barat, Jerman, Han Awal memang langsung terjun menggeluti dunia Arsitektur ini. Hingga kini, lebih dari setengah jalan hidupnya, dilewati dengan bergumul di bidang arsitektur ini. Maka, pantas dan pada tempatnyalah kalau Han Awal berbicara mengenai dunianya, dunia arsitektur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Arsitektur, katanya, selain merupakan suatu bidang yang menyangkut sains dan teknologi, pun berhubungan erat dengan dunia art, seni. Karena itu, untuk menjadi seorang arsitektur murni yang berprestasi, dituntut untuk tidak saja menguasai sains dan teknologi, tetapi juga rasa seni, sense of art.
Sains dan teknologi dapat dipelajari dari universitas. Tapi seni? Rasa cinta terhadap seni, tidak lahir dari
ketekunan belajar di bangku universitas maupun buku-buku. Seni lahir dengan sendirinya, lahir dari suasana lingkungan sekitar. Karena itu, meski zaman ini merupakan sebuah zaman yang sedang menuju ke era teknologi dan sains yang bertumpu pada ratio, seni masih memegang peranan yang teramat penting, terutama, kalau kita berbicara menyangkut dunia arsitektur. Pusat-pusat kesenian, TIM –Taman Ismail Mardjuki— misalnya, masih sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa se-ni di dalam jiwa kaum muda dewasa ini.
Tempat-tempat serta situasi dan suasana seperti TIM itu, yang menumbuhkan kecintaan serta sense of art, sangat penting bagi perkembangan jiwa generasi masa kini maupun masa datang. Karena, “Banyak anak muda kini yang sangat berbakat di bidang arsitektur. Namun, bila bakat itu tak dipupuk dan diramu bersama rasa seni, ya.. sayang sekali. Karena Meski mereka kuliah dan menguasai sains teknologi, hasilnya akan hambar. Teknologi dan sins tanpa seni, akan hambar, kering. Karena itu, iklim seni itu perlu kita jaga, demi perkembangan generasi mendatang.”
Niat dan minat generasi muda kini terhadap bidang ar-sitektur, tampaknya sangat menonjol. Di antara sekian banyak pilihan jurusan di perguruan tinggi, misalnya, arsitektur merupakan salah satu jurusan yang sangat banyak menarik peminat. Bahkan, 60 fakultas teknik arsitektur di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta, nyatanya, tak mampu menampung semua peminat.
Meski demikian, Han Awal menilai, bahwa tak tertampungnya sebagian peminat arsitektur itu merupakan hal yang wajar saja. Karena, produk pendidikan teknik arsitektur yang ada selama ini, masih proporsional, dalam arti, tenaga yang ada masih sesuai dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Belum ada arsitek yang tak berguna, yang tak kebagian pekerjaan. Entahlah, untuk masa mendatang.
Ia mengamati, bahwa perkembangan asitektur di In-donesia ini, kini tampaknya mulai mengarah ke suatu perkembangan yang lebih baik. Dari sini, bisa diharapkan, akan lahir karya-karya arsitektur yang menonjolkan ciri khas Indonesia. “Sekarang ini, arsitektur di Indonesia, memang belum terlalu menampakan corak asli Indonesia. Ya, kalau pun ada, itu merupakan perpaduan antara arsitektur impor dan arsitektur berwarna Indonesia. Tapi, di masa mendatang, pasti, generasi penerus akan mampu menampilkan arsitektur yang melukiskan budaya bangsa kita.” demikian Han Awal berharap.
Harapannya itu, mungkin akan terpenuhi di masa yang relatif tak lama lagi, bila ditunjang oleh kesempatan untuk itu. “Seperti kita ketahui, sekarang ini, kesempatan-kesempatan untuk melaksanakan berbagai bentuk arsitektur, masih diserobot tenaga asing. Padahal, banyak di antara arsitek-arsitek Indonesia, tidak yang senior, bahkan yang muda-muda yang sangat berbakat, yang sebenarnya sangat mampu untuk mengerjakannya.”
Karena itu, Han Awal menghimbau, bahwa kesempatan, terutama harus diberikan kepada pakar-pakar kita sendiri. Kesempatan berkarya di negeri ini, sebenarnya merupakan hak anak negeri ini. Kalau perlu, alangkah baiknya, kalau ada undang-undang atau peraturan pemerintah untuk perlindungan hak-hak seperti ini.
KETERTARIKAN Han Awal sendiri pada bidang arsitektur, kisahnya, berawal dari ketertarikannya pada bidang seni, khususnya seni lukis. Hal ini, merupakan salah satu faktor penting yang mendorongnya untuk menempuh pendidikan di bidang arsitektur. Dan ketertarikan akan seni, itu lahir dari suasana dan lingkungan serta orang-orang di sekitarnya. “Waktu kecil, saya sangat kagum dengan eyang (kakek, red) saya. Ia seorang penata panggung pasar malam, ia pun menata dekor sandiwara. Saya banyak terpengaruh oleh kesenimanannya,” kisah Han Awal.
Ia lebih lanjut mengungkapkan kenangan masa kecilnya, yang sedikit banyak menghantarkannya untuk menekuni dengan penuh cinta, bidang arsitektur ini. “Ketika kecil, seperti eyang, saya menyenangi seni lukis. Selain itu, sebenarnya saya lebih menyukai fisika. Saya lebih mengangankan untuk menjadi ahli fisika yang lebih menitikberatkan sains daripada arsitektur yang berat ke teknik, ketrampilan,” kisahnya. Tapi mengapa Han Awal memilih arsitektur dan mengabaikan ketertarikannya pada fisika?
Hal ini penting dikemukakan, paling tidak, sebagai peringatan terhadap bapak-bapak dan ibu-ibu guru. Betapa tidak? Han Awal, misalnya, sebenarnya jauh lebih merasa tertarik pada bidang fisika, ketimbang ke bidang arsitektur. Tapi, kalau boleh menyalahkan seseorang, hingga ia lari dari bidang fisika, orang yang harus disalahkannya itu adalah guru fisikanya. Kenapa? “Guru fisika saya pintar, tapi, caranya mengajar, sangat tidak menarik, hingga motifasi untuk belajar fisika jadi hilang begitu saja. Dan Saya pun masuk arsitektur,” ceritanya.
Dari kenangan terhadap guru fisika ini, Han Awal yang juga seorang guru (dosen) menandaskan, bahwa peranan guru sangat penting dalam mengarahkan motifasi belajar pada siswa. Bahkan lebih dari itu, sama persis dengan yang dikemukakan profesor A. S. Munandar, ahli psikologi itu, Han Awal menyimpulkan, bahwa “Guru pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, sangat berperanan mempengaruhi dan bahkan membentuk masa depan anak didiknya.”
TERLEPAS dari peranannya sebagai seorang arsitek, Han Awal pun adalah seorang pendidik, seorang yang berkecimpung di dalam dunia perguruan tinggi. Betapa tidak, sejak tahun 1969 – 1971, ia menjabat sebagai Pembantu Rektor dan dosen di Akademi Pertamanan DKI Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1965 hingga sekarang, ia menjadi dosen tak tetap di Fakultas teknik Universitas Indonesia, Jurusan Arsitektur. Karena itu, tepat pula, dan pada tempatnya, bila ia berbicara mengenai dunia pendidikan.
Dan, bagaimanapun, di dunia pendidikan, ia melihat ada perbedaan yang cukup menyolok antara masa sekarang dan tempo dulu. “Dulu, di zaman Belanda ataupun di masa-masa awal kemerdekaan,” katanya, “pendidikan di masa itu mampu menelorkan tenaga-tenaga siap pakai. Tak perlu perguruan tinggi, sekolah menengah, SMP atau SMA, misalnya, sudah bisa menghasilkan siswa yang bisa siap pakai, yang bisa mandiri. Tapi sekarang? Sarjana sekalipun, belum merupakan jaminan akan mampu kerja.”
“Sepertinya ada yang mengganjal di dalam dunia pendidikan kita. Entah apalah,” ujar Han Awal. Mungkin sistem pendidikan itu sendiri? “Saya tak berani menggugat soal sistem. Karena, sistem yang diciptakan sekarang, bagaimana pun, pasti dengan maksud yang baik. Mungkin suasana, situasi dan kondisi sekarang, sudah berbeda dengan saat kita baru merdeka. Mungkin juga karena intensitas dari materi pelajaran. Saya tak bisa menilai secara pasti, tapi yang jelas, lulusan sekarang kurang bermutu, kurang kritis, kurang segalanya dibandingkan dengan lulusan sekolah di zaman dulu.”
Han Awal merasa, bahwa di zaman ketika ia masih remaja dan menempuh pendidikan, remaja seusianya pada umumnya merasa mereka akan benar-benar dibutuhkan. “Ya, anak sekolah di zaman itu, zaman saya, kalau sekolah itu merasa bahwa masih teramat banyak pekerjaan yang menunggu kita. Masih begitu banyak harapan yang diletakkan di pundak kita. Dan rasa ini, membangkitkan motivasi untuk bisa berbuat yang positif, demi ketrampilan diri, demi kemajuan dan perkembangan kepribadian. Karena itu, meski hanya tamatan SMA, remaja tempo dulu, sudah memiliki kemampuan untuk berkarya.
Sedang SMA sekarang? Jangankan lulus dan bisa langsung merupakan tenaga siap pakai, bahkan untuk belajar pun ogah. Dan, mungkin situasi dan kondisi sekaranglah yang menyebabkan remaja sekarang menjadi demikian mandul berkarya. Anak remaja setingkat SMA sekarang, belum merasa bahwa ia dibutuhkan. Hal ini jelas sekali, tak hanya melalui sikap yang tersirat, bahkan secara gamblang diucapkan banyak remaja sekarang, “Presiden sudah ada, menteri sudah lengkap, malah sarjana pun sudah kebanyakan, sampai banyak yang masih menganggur. Lha, kalau begitu, untuk apa kita belajar?”
Mungkin juga, lantaran di zaman dewasa ini, remaja sudah terlampau dimanja dengan segala kebutuhan yang sudah tersedia. Mencatat, misalnya? Tak perlu itu, karena toh sudah ada buku-buku, bahkan ada fotocopy segala. Sarana yang lengkap, mungkin membuat orang terlena, hilang motifasi untuk berjuang, untuk belajar. Lha, kalau demikian, apa yang mau dikata lagi? — igs. b
Sumber: Majalah AKU TAHU/ MEI 1988