Gunung Api; Dilema Status dan Bahaya

- Editor

Kamis, 15 Mei 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gunung Merapi berasap, melontarkan batu pijar, tetapi statusnya Normal. Setelah kegempaan meningkat, status Merapi jadi Waspada. Gunung Sindoro di Jawa Tengah juga berasap, tetapi statusnya Normal, sedangkan Semeru yang hampir tiap hari meletus status tertingginya Waspada. Bagaimana pemantauan menentukan status suatu gunung api?

Status gunung api memang tak melulu soal aktivitas gunung api yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Pemeringkatan dari Normal ke Waspada, Siaga, lalu Awas merupakan status yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)-Badan Geologi terhadap aktivitas gunung api dengan mempertimbangkan potensi bencananya terhadap manusia.

Status Normal atau tingkat dasar diberikan jika tak ada aktivitas tekanan magma. Adapun Waspada diberikan saat ada aktivitas gunung api, baik kejadian vulkanis, kegempaan, atau hidrotermal. Status Siaga menandai peningkatan aktivitas yang bergerak ke arah letusan atau berpotensi bencana. Awas artinya letusan berpeluang dalam waktu 24 jam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu, kenapa Gunung Merapi masih dinyatakan Normal setelah beberapa kali mengeluarkan asap, hujan abu, dan kerikil, bahkan batuan pijar?

”Belum ada aktivitas magmatis baru di Merapi, jadi kami masih tetapkan Merapi sebagai Normal,” kata Subandriyo, Kepala BPPTKG, setelah erupsi Merapi, Minggu (20/4). ”Letusan kecil seperti ini sudah kerap terjadi sejak letusan 2010.”

PrintMenurut dia, indikator pemantauan lain yang dipakai, seperti kegempaan dan deformasi (perubahan) tubuh gunung, belum terjadi. Namun, status Normal Merapi problematis karena diikuti imbauan pada pendaki agar tak mencapai puncak. Pendakian disarankan hanya sampai di Pasar Bubar, 2.500 mdpl.

Erupsi Merapi yang terlihat kasat mata itu sempat membingungkan masyarakat. Meski BPTKG berulang-ulang menyampaikan informasi Merapi masih Normal, masyarakat menilai tak lengkap dan tak jelas. ”Warga menilai ada yang ditutupi. Beberapa kali hujan pasir, kerikil, dan abu, bahkan batuan pijar tak ada peringatan sama sekali,” kata Agus Wiyarto, relawan Merapi, seperti diberitakan Kompas (Jumat, 25/4).

Status Merapi baru dinaikkan menjadi Waspada pada 29 April 2014 pukul 23.50 seusai kegempaan meningkat.

Menurut Kepala Badan Geologi Surono, kejadian letusan Merapi saat status Normal memang membingungkan. ”Berdasar pendekatan keilmuan, baik secara visual maupun teknologi pemantauan, aktivitas Merapi saat Normal sebenarnya tidak normal karena ada letusan. Apa pun penyebabnya.”

Sejak letusan kecil Merapi itu, Surono menyarankan agar status Merapi ditingkatkan. Itu menyangkut rasa aman masyarakat. ”Rasa aman ini dinamis. Bagi petugas pemantauan yang telah lama bertugas di Merapi, aktivitas ini mungkin masih dianggap aman, tetapi bagaimana dengan masyarakat?” kata dia.

Peningkatan status gunung api tak berarti gunung akan meletus atau mengarah pada letusan. ”Sebagai petugas, kami wajib memenuhi hak atas rasa aman itu dengan memberikan peringatan dini. Hak masyarakat itu diatur UUD 1945 bahwa setiap warga berhak mendapat perlindungan negara,” kata dia.
Faktor manusia

Selain terkait aktivitas gunung api, faktor keberadaan penduduk di sekitar gunung api menjadi pertimbangan penting menentukan status gunung api. Semakin padat penduduk, semakin kerap periode letusan/eksplosif letusannya, gunung dianggap paling berbahaya sehingga harus dipantau lebih intensif.

Pada konteks inilah Gunung Merapi, yang dihuni sekitar satu juta jiwa, berada dalam peringkat teratas dari 127 gunung api di Indonesia yang paling diwaspadai. Inilah satu-satunya gunung api di Indonesia yang memiliki empat pos pemantauan, dan semuanya masih aktif.

Biasanya, gunung-gunung api di Indonesia hanya punya satu pos pemantauan dengan dua atau empat petugas pos. Bahkan, ada beberapa gunung api tanpa pos pemantauan sendiri, tetapi digabung dengan gunung-gunung lain. Pemantauan Merapi dilakukan sejak era kolonial Belanda.

Jika Merapi telah lama dipantau, sebaliknya Gunung Sindoro. Sindoro lama terdiam sehingga pernah digolongkan tertidur, meskipun jejaknya jelas menunjukkan keaktifan pada masa lalu. ”Sering ada sindiran, petugas Gunung Sindoro sebaiknya tidur saja karena gunung ini lama diam,” kata Surono.

Namun, ia mengingatkan, Sindoro tetap gunung api aktif yang sewaktu-waktu bisa kembali bangun dan meletus, seperti terjadi dengan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Sinabung meletus lagi setelah ratusan tahun tidur. Bahkan, sebelum 2010, Sinabung masih digolongkan gunung api tipe B dengan konsekuensi tak dipantau.

Lain halnya dengan Gunung Semeru di Jawa Timur. Hampir tiap hari, gunung ini sebenarnya meletus. Para pendaki yang pernah ke Semeru, kenal betul fenomena letusan yang biasa terjadi pagi hari, dengan rentang beberapa menit sekali.

Sekalipun Semeru rutin meletus, statusnya belum pernah dinyatakan Awas. Paling banter Waspada atau Siaga. Letusan Semeru dianggap tak membahayakan warga karena lokasi permukiman jauh dari jangkauan.

Namun, sekalipun dalam status Normal, bukan berarti Semeru tak berbahaya. Pada 27 Juli 2000, dua petugas vulkanologi dari PVMBG-Bandung, Mukti dan Pardan, tewas terkena lontaran batu pijar Semeru saat survei di sekitar kawah.

Beberapa gunung api yang populer sebagai tempat wisata dan sumber ekonomi warga, seperti Ijen di Jawa Timur, lebih dilematis lagi. Begitu dinaikkan statusnya dari Normal menjadi Waspada atau Siaga, itu artinya 450 warga tak lagi bekerja menambang belerang.

Karena itu, sekalipun Ijen berstatus Waspada sejak Agustus 2013, zona bahaya gunung itu kerap diterobos. Padahal, selain potensi ancaman gas beracun, Ijen bisa mengirim tsunami air asam (pH 0-0,8) dari jebolnya kawah seperti terjadi saat meletus pada 1817. Saat itu, banjir lumpur asam mencapai Kota Banyuwangi, lebih dari 25 kilometer dari Ijen.

Setiap karakter gunung unik dan tak mudah dimengerti. Lebih repot lagi para petugas pemantauan gunung api, yakni bagaimana menghadapi masyarakat yang menggantungkan hidup pada gunung api.

Oleh: Ahmad Arif

Sumber: Kompas, 14 Mei 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 23 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB