Gunung Agung Fase Kritis

- Editor

Senin, 25 September 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pergerakan Magma Terus Naik Mendekati Permukaan
Gunung Agung saat ini memasuki fase kritis. Pergerakan magma diperkirakan semakin mendekati permukaan. Jika kekuatannya cukup besar menjebol sumbat lava, kemungkinan akan terjadi letusan. Namun, waktu letusan belum bisa dipastikan.

“Pergerakan magma saat ini semakin ke permukaan, sekitar 2-3 kilometer dari kawah. Ini ditandai dengan peningkatan gempa vulkanik dangkal yang terus meningkat,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Gede Suantika, Minggu (24/9).

Dengan pergerakan magma yang semakin ke permukaan ini, menurut Gede, peluang terjadinya letusan lebih besar. Meski demikian, kapan terjadinya letusan sulit diprediksi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah 3 Denpasar Taufik Gunawan mengatakan, sampai 24 September 2017, frekuensi gempa naik, yakni 102 kejadian. Kekuatan gempa maksimum M 3,8 dan minimum M 2,2.

“Terjadi kenaikan nilai magnitudo dibandingkan hari sebelumnya yang berkisar M 2,2-3,7. Peningkatan kekuatan gempa dari hari sebelumnya mengindikasikan aktivitas gunung api naik signifikan,” kata Taufik.

Ahli gunung api Surono, yang turut berada di Bali, mengatakan, saat ini Gunung Agung berada pada fase sangat kritis. “Saya hanya bisa berharap segera meletus atau tidak sama sekali. Jika kekuatan dorongan magma dari bawah cukup untuk menjebol sumbat lava, akan terjadi letusan,” ujarnya.

Meski sudah dinyatakan menjadi Awas dan pergerakan magma mendekati permukaan, tidak bisa dipastikan itu akan berakhir dengan letusan. “Status Awas bukan jaminan bakal terjadi letusan. PVMBG hanya bisa memantau pergerakan magma dan kegempaan berdasarkan alat-alat untuk mengetahui peluang terjadinya letusan atau tidak,” kata Surono.

Selain memantau aktivitas kegempaan untuk mendeteksi pergerakan magma, peningkatan aktivitas gunung api menjelang letusan biasanya bisa dideteksi melalui pembengkakan tubuh gunung. Semakin bengkak atau menggelembung, itu berarti magma kian dekat permukaan. Itu membutuhkan alat tiltmeter untuk mengetahui perubahan bentuk gunung.

Namun, menurut Gede Suantika, tiltmeter untuk Gunung Agung saat ini rusak.. Padahal, alat itu seharusnya dipasang di dekat puncak, lalu diintip memakai teropong dari pos pemantauan. “Jadi, deteksi kami lebih banyak dari memantau kegempaan,” katanya.

Ahli geodesi kebumian Institut Teknologi Bandung Irwan Meilano menjelaskan, berdasarkan data kegempaan, ada dugaan proses pergerakan magma di Gunung Agung dimulai dari sumber yang dalam. “Ini menunjukkan ada kantong magma cukup besar dan dalam sehingga potensi kekuatannya bisa besar,” ujarnya.

Berdasarkan data BBMKG Wilayah 3 Denpasar, sumber-sumber gempa terdalam di bawah Gunung Agung ada di kedalaman 40-50 kilometer dan naik hingga di bawah 10 km. Sumber gempa bergerak dari barat laut, sekitar Gunung Batur ke arah tenggara.

Potensi bahaya
Gede mengatakan, zona bahaya yang ditetapkan saat ini mengacu pada sejarah letusan Gunung Agung tahun 1963. Berdasarkan itu, potensi bahaya primer yang bisa terjadi dalam radius 9 kilometer berupa jatuhan awan panas.

Jatuhan awan panas itu kemungkinan akan mengarah ke sektor utara lereng Gunung Agung, terutama di daerah aliran Tukad (Sungai) Tulamben, Tukad Daya, dan Tukad Celagi. Pada sektor tenggara, yang harus waspada ialah daerah aliran Tukad Bumbung, dan pada sektor selatan-barat daya, terutama di daerah Pati, Tukad Panglan, dan Tukad Jabah.

Sementara sebaran abu berpotensi mengarah ke barat, barat laut dan utara dari Gunung Agung. Sektor itu berpotensi terlanda hujan abu lebat dengan ketebalan maksimum 1,6 meter hingga jarak 15 km dari puncak. Adapun ketebalan abu maksimum 0,4 meter hingga jarak 30 km dari puncak.

Sebaran abu bisa mengganggu operasional penerbangan dari dan ke Bali, Surabaya, dan Banyuwangi. Potensi gangguan abu vulkanik di udara mengikuti arah dan kecepatan angin. “Penerbangan punya pemantauan abu tiap saat. Dampaknya bisa amat besar jika terjadi seperti pada 1963,” kata Gede. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Gunung Agung Fase Kritis”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB