Grand Design Penelitian di Indonesia

- Editor

Senin, 25 Juli 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tidak dapat dimungkiri penelitian di hampir sebagian besar perguruan tinggi dan lembaga riset di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat dari rendahnya jumlah publikasi ilmiah yang diterbitkan pada jurnal internasional.

Fenomena rendahnya jumlah publikasi internasional yang diproduksi oleh peneliti Indonesia mendapat sorotan dan telaah yang mendalam sepanjang satu dekade terakhir.

Beberapa perguruan tinggi besar seperti ITB,UGM, UI, Unair, ITS, Unpad, IPB, Undip, Unand, Unhas, dan USU juga telah berusaha meningkatkan jumlah publikasinya pada jurnal internasional dengan impact factor tinggi, namun belum terlihat kemajuan yang berarti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jumlah publikasi internasional perguruan tinggi dan lembaga riset lainnya dalam sepuluh tahun terakhir untuk bidang sains terapan termasuk kedokteran dari Indonesia hanya meningkat tiga kali lipat dari 556 artikel pada 2000 menjadi 1.852 artikel pada 2010. Kondisi ini terlihat lebih miris untuk bidang-bidang ilmu sosial, dari hanya 24 pada 2000 menjadi 73 pada 2010.

Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kekuatan Indonesia saat ini sebenarnya ada di bidang ilmu-ilmu sosial, mengingat minimnya peralatan laboratorium yang tersedia untuk riset dalam bidang sains terapan. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Asia, publikasi ilmiah para peneliti kita pun masih sangat rendah.

Pada 2010 total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel, jauh tertinggal dibanding Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843).Masih untung jumlah publikasi ilmiah internasional kita masih unggul sedikit di atas Vietnam (1.854 artikel) dan Bangladesh (1.760 artikel),negara yang notabene baru berkembang.

Namun, jumlah publikasi ilmiah yang dihasilkan para peneliti kita hanya mencapai 7,9 artikel per 1 juta penduduk. Sementara Singapura menghasilkan 2.581 artikel, diikuti oleh Malaysia (300),Thailand (201), Pakistan (39),Vietnam (20,9),Bangladesh (10,7),serta Filipina (9,2).

Kultur Menulis

Rendahnya produktivitas karya peneliti Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor.Dua yang paling utama di antaranya adalah:

Pertama,kebiasaan menulis dan mengarang yang tidak dilatih dan dibiasakan sejak kecil yang mengakibatkan ada mental barrier dalam diri peneliti Indonesia.Ada kekhawatiran bahwa publikasinya akan ditolak. Menulis artikel memang membutuhkan skill atau keterampilan sendiri, sehingga tidak setiap peneliti dapat melakukannya tanpa latihan yang keras.

Kedua, minimnya dana penelitian dan fasilitas riset yang tersedia membuat mandulnya sebahagian besar para peneliti kita. Banyaknya publikasi ilmiah sedikit banyaknya akan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan serta lahirnya inovasi-inovasi baru dalam industri yang berbasis pada hasil penelitian.

Thailand dan Malaysia adalah dua contoh negara yang inovasi teknologinya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi rakyatnya mulai tumbuh dari kekuatan sendiri. Hal ini tercermin dari jumlah artikel ilmiah internasional mereka hanya 38% untuk Thailand dan 31% untuk Malaysia yang melibatkan peneliti asing.

Sementara data artikel Indonesia yang melibatkan peneliti asing sepanjang 10 tahun terakhir tetap berada di kisaran 70%.

Keterbatasan

Dengan jumlah perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset yang ada di Indonesia yang mencapai sekitar 3.000 institusi, peralatan penelitian pada institusi riset masih sangat kurang.Di sebagian besar laboratorium peralatan yang tersedia hanyalah peralatan gelas untuk praktikum dasar, sementara peralatan untuk penelitian yang lebih komprehensif sangat terbatas.

Pengiriman jumlah peneliti untuk mencapai gelar PhD di luar negeri harus diikuti dengan penyediaan dana dan peralatan penelitian di setiap laboratorium. Jika tidak, gelar PhD akan menjadi sia-sia dan tidak produktif.

Malaysia dengan jumlah PhD 8.000 orang pada 2008 mampu menghasilkan karya ilmiah pada jurnal internasional bergengsi sebanyak 8.000 lebih. Jumlah ini pun masih dirasa kurang oleh pemerintah Malaysia untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan inovasi-inovasi baru untuk kemajuan industri mereka.

Melalui MyBrain 15,Pemerintah Malaysia pada 2008 telah mensponsori hampir 4.000 orang untuk mengambil gelar PhD, 60% di antaranya studi di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia,Jepang,dan Selandia Baru.Malaysia juga menargetkan akan mempunyai 60.000 orang PhD pada 2020.

Indonesia dengan jumlah PhD mencapai 23.000 orang hanya menghasilkan 1.233 artikel. Dengan kondisi begini, impian akan lahir pemenang nobel dari Indonesia hanya akan menggantung di awang-awang.

Grand Design

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SDA) bisa menjadi raksasa dunia dalam bidang ekonomi jika para ilmuannya aktif meneliti dan mengkaji berbagai potensi sumber daya alam (SDA) yang tersedia. Dan juga sebaliknya, ketersediaan SDA Indonesia yang melimpah harus menjadi kekuatan dan tema besar dari peneliti-peneliti Indonesia.

Tanpa pengetahuan yang berbasis riset, akan sulit bagi kita untuk bernegosiasi dengan para pengusaha atau pelaku industri lainnya yang cenderung untuk membeli teknologi yang sudah jadi meskipun mahal. Harus ada satu kesatuan dari kekuatan potensi lokal sebagai sumber atau bahan penelitian dengan ketersediaan para peneliti dan dukungan peralatan dan dana.

Setiap institusi riset sudah harus memetakan kekuatan sumber daya manusia (SDM) dan SDA yang tersedia yang dapat menjadi bahan kajian. Adanya pusat-pusat keunggulan (center of excellence) yang tidak saling tumpang tindih antara satu lembaga riset dan lembaga riset lainnya termasuk tumpang tindih bidang kajian akan menjadi kekuatan raksasa jika bisa dikelola dengan baik.

Dana riset yang mulai dialokasikan dalam APBN dalam jumlah yang cukup besar.Beberapa universitas yang sudah menghasilkan doktor-doktor baru harus sudah berani mewajibkan para penelitinya untuk menghasilkan publikasi ilmiah pada jurnal internasional bergengsi.

Mungkin untuk awalnya bisa diterapkan bagi para peneliti yang mendapatkan dana penelitian di atas Rp100 juta,termasuk juga bagi mereka yang akan mendapatkan gelar doktor dari institusi pendidikan di Indonesia.

Memublikasikan hasil penelitian pada jurnal internasional dengan impact factor tinggi merupakan salah satu bukti pertanggungjawaban ilmiah dari penelitian yang dilakukan. Menulis artikel tidak sulit jika kita punya keinginan dan mau berlatih keras. Apalagi saat ini semua proses untuk pemuatan artikel di jurnal internasional dilakukan lewat internet.

Mulai dari proses pengiriman naskah,revisi,jawaban atas pertanyaan, hingga ke penerbitan dilakukan melalui sistem elektronik dan membutuhkan waktu yang tidak begitu lama.

EDISON MUNAF Guru Besar Universitas Andalas (Unand), Atase Pendidikan KBRI Tokyo

Sumber: Koran Sindo, Tuesday, 19 July 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 25 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB