Gerhana matahari total 9 Maret 2016 akan jadi peristiwa alam langka. Peristiwa yang rata-rata terulang di satu titik di muka Bumi setiap 375 tahun sekali itu akan menjadi momentum besar bangsa Indonesia untuk mengasah pengetahuan dan daya pikir rasional.
Jajak pendapat Kompas tentang gerhana matahari total (GMT) 2016 mengungkap, sebagian besar responden tahu fenomena gerhana matahari. Anggapan utamanya, gerhana adalah fenomena alam saat sebagian permukaan Bumi akan gelap beberapa saat.
Pemahaman responden tentang gerhana umumnya sebatas menerangkan pengalaman mereka terkait gerhana, baik gerhana matahari atau bulan. .
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kekurangpahaman acap kali membuat sebagian masyarakat mudah memercayai mitos, seperti Batara Kala menelan Matahari. Selain mitos yang bersumber dari kepercayaan masyarakat, pemahaman tentang gerhana juga banyak dipengaruhi penalaran secara agama: gerhana dikaitkan peristiwa yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Gerhana kerap dimaknai datangnya keberkahan seiring terbitnya cahaya terang usai gerhana. Kuatnya pengaruh mitos dan agama yang membentuk cara berpikir masyarakat membuat pemahaman tentang gerhana hanya sebatas penanda alam, entah itu bencana atau berkah alam.
Namun, terlepas dari polemik peristiwa gerhana, publik responden mengakui peristiwa ini sangat langka. Untuk itu, jadi momen menarik dilihat.
Sosialisasi
Publik mengakui, penjelasan gerhana matahari selama ini relatif terbatas. Dua dari tiga responden mengaku, hingga sekarang belum ada sosialisasi memadai tentang GMT 2016 dari pemerintah.
Publik ingin adanya sosialisasi agar masyarakat tak hanya sekadar tahu peristiwanya, tetapi juga mengetahui penyebab secara ilmiah.
Minimnya sosialisasi memunculkan keresahan dari asumsi-asumsi masyarakat. Salah satu keresahan publik yang terekam dalam jajak pendapat Kompas adalah efek melihat gerhana bisa mengakibatkan kebutaan. Sebagian besar (60,1 persen) responden percaya melihat GMT secara langsung bisa merusak mata.
Di sisi lain, pemerintah belum menyebarkan informasi proses gerhana matahari dan cara-cara aman melihatnya. Padahal, akses terhadap media komunikasi dan teknologi informasi sudah menjangkau hampir semua wilayah.
Kepercayaan responden bahwa melihat GMT bisa berakibat kebutaan mencerminkan cara pikir tentang gerhana matahari 2016 masih sama dengan GMT 1983.
Bahkan, dua dari tiga responden akan patuh jika pemerintah melarang melihat GMT 2016.
Konsekuensi dari kepatuhan itu, 45,5 persen responden mengaku tidak akan berbuat apa-apa selain berkumpul dengan keluarga di rumah pada 9 Maret 2016. Adapun 3 dari 10 responden (29,6 persen) akan beribadah dan berdoa bersama di rumah ibadah.
Berpikir kritis
GMT merupakan fenomena alam biasa yang tak mengancam kehidupan umat manusia. Melihat matahari secara langsung, baik saat gerhana atau tidak, merupakan tindakan berbahaya bagi mata.
Namun, anggapan melihat matahari langsung saat GMT bisa mengakibatkan kebutaan merupakan pandangan keliru. Ancaman kebutaan bisa diakali dengan menggunakan kacamata khusus gerhana.
Selain cara pandang konservatif, 27,3 persen responden akan bersikap kritis jika pemerintah melarang masyarakat melihat GMT. Keberatan utama, pelarangan itu pembodohan publik.
GMT 2016 momen nyata bagi pemerintah menyampaikan gagasan ilmiah secara jernih dan mengesankan. Manfaatkan momentum itu untuk mengasah kemampuan bernalar masyarakat.(LITBANG KOMPAS/SULTANI)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Dorong Daya Pikir Rasional”.