Gerhana Matahari Total 2016
Di jarak tak lebih dari 3 meter dari bibir pantai Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Fadhil (39), cukup sibuk. Tangan kirinya memegang kacamata gerhana, sementara tangan kanannya memegang telepon genggam.
Sudah hampir lima kali ia menjepret. Merasa hasilnya tidak maksimal, ia meminta istrinya memang kacamata itu. Ia lalu memotret menggunakan telepon genggam dari filter kacamata. Setelah dilihat sekilas, ia tersenyum. “Ini baru bagus hasilnya,” sembari menunjukkannya kepada istrinya.
Jepretan itu dilakukan warga Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat, tersebut, Rabu (9/3/2016), saat matahari berada pada fase gerhana matahari sebagian (GMS). Fadhil satu dari sekitar 2.000 warga dan pengunjung yang menyemut di pesisir Teluk Palu untuk menyaksikan gerhana matahari total (GMT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjelang GMT tiba, istrinya sempat mengajak Fadhil untuk pulang ke rumah, menghindar menyaksikan fenomena alam itu. “Masak pulang, padahal fase itu yang paling indah,” katanya. Istrinya pun mengalah dan mereka sama-sama menikmati cahaya korona yang berpendar indah.
Pada GMS 1983, Fadhil berumur enam tahun atau duduk di bangku SD kelas 1. Ia turut menyaksikan gerhana, tetapi atmosfernya berbeda dengan saat ini. “Sekarang semua orang sudah paham tentang gerhana. Gerhana untuk dinikmati,” katanya merujuk pada imbauan pemerintah Orde Baru untuk tidak menyaksikan gerhana pada era itu.
Sejumlah referensi menyebutkan GMT akan datang sekitar 365 tahun lagi di tempat yang sama. “Tentu kami sangat merindukan lagi gerhana matahari total ini,” ucapnya.
Bagi Brigitta (52) dan suaminya, turis asal Jerman, GMT kali ini sangat spesial. Kemarin, suaminya genap berusia 64 tahun. “Kami jauh-jauh datang untuk bersukacita merayakan momen ini yang tepat dengan ulang tahun suami saya,” tuturnya di sela melayani foto bersama warga.
Sebelumnya, ia bersama suami menyaksikan GMT di wilayah Afrika. Saat itu spesial untuk dia karena umurnya bertambah.
Pesta menjadi semarak karena saat GMS dan GMT berlangsung langit Palu cerah. Gerhana disaksikan dalam keadaan bersih. “Orang-orang di sini sangat antusias. Mereka juga ramah,” ujarnya.
Pengalaman emosional
Kesempatan menyaksikan fenomena alam yang sangat langka bahkan pertama kali seumur hidup itu membuat warga merasakan beragam pengalaman emosional. Banyak yang bergembira dan mengucap syukur, tetapi ada juga yang larut dalam haru dan tangis.
Salah satunya adalah warga di Sikakap, Kepulauan Pagai, berdatangan ke dermaga Pelabuhan Sikakap. Dermaga itu menjadi salah satu titik pengamatan GMT di kepulauan yang berada sekitar 200 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat. Selain di dermaga Pelabuhan Sikakap, pengamatan juga dilakukan warga dan wisatawan asing di Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara.
Sekitar pukul 06.10, warga yang datang semakin banyak. Mereka datang sendiri, bersama kerabat, hingga rombongan keluarga. Banyak juga anak-anak yang sepagi itu sudah bangun dan ikut ke dermaga bersama orangtuanya.
“Saya penasaran dan sudah tidak sabar ingin menyaksikan seperti apa gerhana matahari itu,” kata Fras Haditya Putra (16) yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya, kemudian berlari ke arah panggung. Ia berlari untuk berebut kacamata gerhana yang dibagikan panitia.
“Wow… lihat-lihat, matahari sudah mulai tertutup bulan…. Wow..,” beberapa warga di pinggir dermaga berteriak.
Saat gerhana total, ada juga warga yang melepas kacamata, kemudian menunduk dan tangan tengadah memanjat doa. Beberapa malah menangis.
Murniati Batubara (39) yang datang bersama suaminya, Efendi (40), misalnya. Beberapa kali ibu rumah tangga itu mengaku melepas kacamata. Ia kemudian mengusap air matanya yang meleleh di pipinya. Saat bercerita tetang pengalamannya menyaksikan gerhana matahari, tangis Murniatai belum usai.
“Saya tak berhenti mengucap syukur tadi, sampai tak kuasa menahan tangis. Saya kira wajar karena ini pertama kalinya saya melihat gerhana matahari,” kata Murniati.
Cara pandang
Bagi peneliti astronomi dan astrofisika Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi, Rukman Nugraha, perayaan GMT dan antusiasme masyarakat merayakan GMT hendaknya menandakan terbentuknya cara pandang logis atau ilmiah atas fenomena alam. Cara berpikir demikian merujuk pada kerja ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memprediksi GMT yang tepat dengan terjadinya GMT.
Cara berpikir demikian juga menghalau cara pandang yang membodohi masyarakat, seperti terjadi pada era Orde Baru. Waktu itu GMT dipandang sebagai bahaya yang menakutkan hingga orang tak boleh menyaksikannnya.
Jika dulu kala gerhana dimaknai sesuatu yang menakutkan, kini gerhana bisa menjadi momentum perubahan cara sudut pandang. Dari sesuatu yang menakutkan, penuh mitos, menuju rasionalitas dan keilmuan.
Sumber: Kompas Siang, 11 Maret 216