Gerakan Tanah; ”Pangkal-Ujung” Pertanian

- Editor

Jumat, 16 Januari 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia adalah negara kepulauan di atas pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik). Itu menciptakan busur vulkanik membentang dari Pulau Sumatera hingga Papua, yang dicirikan deretan pegunungan vulkanik yang terdistribusi di sepanjang zona pertemuan lempeng itu. Potensi bencana ada di sana.


Fenomena gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan longsor akan selalu ada di Tanah Air. Selain kondisi geologi, kepulauan Indonesia di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Hindia dan Pasifik), menciptakan iklim tropis basah dengan hujan tinggi.

Negara kepulauan ini juga rawan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, dan longsor. Pada sisi lain, tiga perempat penduduk Indonesia tersebar di wilayah rentan gempa dan bencana hidrometeorologi itu. Mereka tak mampu dan minim kapasitas memitigasi bencana-bencana itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akhirnya, risiko bencana itu berubah petaka seusai banjir, longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 1915-2010, terjadi 6.528 bencana alam yang menewaskan 250.003 jiwa (2010). Kejadian bencana meningkat sejak 1998. Bencana hidrometeorologi mendominasi sejarah bencana alam (80 persen total kejadian), sedangkan 20 persennya terkait fenomena geologi.

Dari sisi jumlah korban jiwa, mayoritas disebabkan bencana terkait geologi, yakni 91,8 persen dari total korban jiwa. Banjir mendominasi bencana hidrometeorologi, sedangkan kelompok geofisik adalah longsor.

Beberapa ahli mendefinisikan longsor sebagai perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, tanah, bahan rombakan atau campuran bahan itu, yang bergerak menuruni atau keluar lereng.

18743736hDitinjau dari sudut keteknikan, longsor akibat gaya geser tanah yang melebihi nilai kuat gesernya sehingga keseimbangan atau stabilitas lereng terganggu. Peran gaya geser sebagai gaya pendorong, sedangkan kuat geser sebagai penahan.

Faktor yang memengaruhi gaya pendorong adalah kemiringan lereng, air, beban, berat jenis tanah atau batuan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Secara singkat, faktor pemicu longsor ada tiga, yakni kondisi geologi, iklim, dan aktivitas manusia.

Di Indonesia, longsor adalah bencana terbesar kedua setelah banjir. Gabungan kondisi geomorfologi yang labil, iklim ekstrem, dan aktivitas manusia diidentifikasi faktor pemicunya.

Gunung dengan aktivitas kegempaan tinggi dapat memicu kenaikan air kapiler saat terjadi gempa. Dampaknya, peningkatan gaya pendorong dalam tanah. Selain itu, gempa juga menyebabkan retakan-retakan tanah yang berfungsi pori makro masuknya air ke dalam tanah.

Hujan yang terserap tanah akan menyebabkan kondisi tanah jenuh. Nilai kohesi tanah nol, yang selanjutnya menurunkan gaya penahan tanah. Aktivitas manusia yang memengaruhi keseimbangan lereng nyata dari pembangunan di daerah pegunungan.

Daerah pegunungan pada umumnya mempunyai nilai keindahan alam sehingga menarik banyak orang untuk memanfaatkannya menjadi area wisata atau vila. Populasi penduduk di pegunungan pun meningkat.

Selain alasan keindahan alam, populasi daerah berlereng bertambah akibat tekanan sosial dan ekonomi. Masyarakat menempati lahan berlereng dan mengelolanya untuk kegiatan pertanian. Populasi besar di daerah berlereng diikuti pembangunan dengan cara memotong lereng untuk konstruksi jalan, rel kereta, gedung, maupun perumahan. Aktivitas itu secara simultan meningkatkan kerawanan longsor.

Kaitan pertanian
Pada kasus longsor, pertanian di kawasan pegunungan berada pada posisi ”pangkal-ujung”. Pertama, pertanian dianggap salah satu penyebab longsor. Kedua, pertanian juga korban, berupa kerusakan lahan.

Pembukaan hutan dan pemotongan lereng untuk pertanian yang melanggar kaidah konservasi tanah dan air jelas meningkatkan potensi longsor. Bagaimana dengan lahan pertanian yang disertai usaha konservasi tanah dan air? Apakah bebas dari tuduhan penyebab longsor?

Konservasi tanah dan air, baik dengan metode mekanis, vegetatif, maupun kimia bertujuan meminimalkan aliran permukaan dan memaksimalkan infiltrasi sehingga erosi berkurang, simpanan air di tanah berlimpah. Infiltrasi maksimal jadi ”buah simalakama”, karena akan membuat kondisi tanah jenuh. Akibatnya, gaya penahan tanah menurun, gaya dorong naik.

Beban lereng bertambah karena peningkatan kandungan air dalam tanah yang meningkatkan gaya dorong. Jenis tanah yang umumnya di pegunungan vulkanik adalah lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur.

Tanah pelapukan itu di atas batuan kedap air, yang berperan bidang gelincir pada proses longsoran. Tanaman keras dengan perakaran kuat dan dalam membantu menahan gaya dorong lereng. Pada kondisi itu, konservasi tanah dan air pada lahan pertanian berlereng tetap ada pada posisi tidak benar.

Posisi pertanian pada uraian sebelumnya diumpamakan ”pangkal”. Posisi kedua, yakni dampak longsoran terhadap pertanian bisa diibaratkan ”ujung”. Setiap tahun, berhektar-hektar lahan pertanian rusak akibat longsor, bahkan terkubur beberapa meter longsoran.

Pengaktifan kembali lahan-lahan itu butuh waktu, tenaga, dan ongkos. Tanpa harta benda, tempat tinggal, dan sumber penghidupan, petani korban longsoran harus bertahan hidup. Bantuan pemerintah, swasta, dan masyarakat bersifat sementara. Pendampingan pada masa pemulihan akan membantu mereka kembali beraktivitas. Ada yang kembali ke sektor pertanian, ada juga ke sektor lainnya.

Pada tahap ini, kaitan pertanian dengan longsor adalah ”terdakwa” pada posisi ”pangkal” sekaligus korban pada posisi ”ujung”. Pengadilan mana yang bisa menyelesaikan?

Tulisan ini berusaha menganalisis kaitan pertanian dan longsor. Desain konservasi tanah dan air sebaiknya tak hanya didekati dari disiplin ilmu sipil, pertanian, dan kehutanan. Namun, multidisiplin ilmu mempertimbangkan kondisi geologi.

Selain fungsi ekonomi dan produksi, pemilihan jenis tanaman dan pola tanam juga harus mempertimbangkan fungsi penahan lereng. Model ini diharap melepaskan sektor pertanian dari posisi ”pangkal” dan menggeser posisi ”ujung” demi meminimalisasi rugi nyawa-harta.

NGADININGSIH
Staf Ahli Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM; Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM

Sumber: Kompas, 16 Januari 2015

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB