Kekayaan sumber daya alam Papua sudah lama dikeruk, bahkan penambangan tembaga dan emas di Timika oleh Freeport termasuk yang paling awal dilakukan setelah Indonesia merdeka. Namun, kondisi geologi Papua yang hiperaktif dan kerap dilanda gempa besar yang terkadang diikuti tsunami, sangat minim dipahami.
Padahal, energi yang mencipta kekayaan mineral Papua-yang disebut banyak geolog sebagai keajaiban alam karena mineralisasi emas dan tembaga yang terjadi di permukaan sehingga tinggal mengeruk-berasal dari sumber sama: kedahsyatan tumbukan lempeng benua yang mengepung pulau itu.
Begitu minimnya studi tentang kegempaan di kawasan ini membuat ahli gempa dari Research Center for Disaster Mitigation (RCDM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, menyebut Papua sebagai “Pulau dengan sesar paling aktif dan kompleks di dunia, namun paling sedikit diteliti.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Irwan mengatakan, hingga kini sesar Mamberamo yang memicu gempa berkekuatan M 7,2 pada Selasa (28/7) belum diteliti secara rinci. “Kami baru meneliti sesar Sorong. Pengetahuan kami tentang sesar dan kegempaan di Papua masih sangat sedikit. Padahal, kawasan Papua, merupakan rumah bagi sesar karena banyaknya sesar di kawasan ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, Irwan berharap, gempa berkekuatan magnitudo (M) 7,2 yang melanda Mamberamo pada Selasa lalu sebagai momentum melihat Papua dengan cara berbeda. Papua, tak hanya untuk kepentingan eksploitasi, tapi juga lahan studi tentang kegempaan untuk kemudian mencari formula pengurangan risiko bencana.
Kompleksitas tektonik
Secara umum, geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan amat aktif, yaitu lempeng Samudra Pasifik-Caroline dengan Lempeng Indo-Australia. Saat ini Lempeng Samudra Pasifik-Caroline bergerak ke barat dengan kecepatan 7,5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Lempeng Benua Indo-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm per tahun. Selain dua lempeng besar itu, juga terdapat banyak lempeng mikro, misalnya blok Biak dan blok Mamberano.
Lempeng mikro itu terdesak ke utara dan selatan akibat pengaruh Australia dan Pasifik. Akibatnya, terbentuk lipatan-lipatan di daratan Papua seperti jalur anjak Mamberamo (Mamberamo Thrust Belt) yang memicu gempa pada Selasa. “Mamberamo Thrust Belt ini adalah rumah bagi gempa-gempa sesar naik karena seringnya dilanda gempa besar,” kata Irwan.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, beberapa gempa di zona sesar ini antara lain pada 1916 dengan kekuatan M 8,1, tahun 1926 dengan kekuatan M 7.9, 1971 sebesar M 8,1, dan 1989 sebesar M 6,0.
Dengan lokasi di daratan, episentrum dangkal, gempa di Mamberamo Thrust Belt bisa amat merusak. Selain itu, wilayahnya yang berupa pegunungan, bisa dilanda tanah longsor yang dipicu gempa. “Beruntung gempa Selasa pusatnya di hutan dan jauh dari permukiman. Kalau gempa sekuat itu terjadi di sekitar permukiman padat, dampaknya bisa sangat besar,” kata Daryono.
Sebagai perbandingan, gempa berkekuatan M 5,9 di daratan yang mengguncang Yogyakarta pada 2006, menghancurkan ribuan rumah dan menewaskan lebih dari 6.000 orang.
Selain sesar Mamberamo, menurut Daryono, sesar aktif lain di Papua ialah sesar Ransiki, sesar Sorong, dan sesar Tarera-Aiduna. Tak hanya itu, laut di wilayah Papua, baik Samudra Pasifik maupun Samudra Hindia, juga berpotensi dilanda gempa besar dan tsunami.
Bahkan, Papua juga pernah dilanda tsunami kiriman (orphan tsunami) dari negara lain. Penelitian Gorden N Joku (2007) setelah tsunami Aitape tahun 1998 menemukan, masyarakat di Teluk Papua, tepatnya di Skouw Saey (pesisir utara Papua, sebelah timur Teluk Papua sampai perbatasan RI-Papua Niugini) pernah dilanda tsunami kiriman pada 1941, 1952, 1957, dan 1960.
Menurut ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari, tsunami yang sampai ke Papua pada 1952 merupakan kiriman dari gempa Kamchatka (Kuril Island, Rusia) berkekuatan magnitudo 8,8-9,0. Ini salah satu gempa terbesar dalam sejarah. Kemudian, kejadian pada 1957 adalah gempa-tsunami Adreanof Island (Auletian-Alaska) dengan kekuatan M 8,6. Tahun 1960, yang dalam paper Joku itu, disebutkan, tsunami di Kampung Enggros dan Tobati (kampung terapung di Teluk Jayapura) mencapai 10 meter. Ini adalah tsunami dari Cile.
Tantangan mitigasi
Selain kompleksitas tektoniknya yang minim diteliti sehingga risiko bencana belum sepenuhnya dimengerti, persoalan lain dalam mitigasi bencana di Papua adalah faktor sosial dan politik. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, mitigasi bencana belum jadi arus utama pembangunan. “Berita baiknya saat kami ke Papua pada 13 Juli 2015 lalu, dideklarasikan pembentukan Forum Perguruan Tinggi-Pengurangan Risiko Bencana Papua Barat. Anggotanya hampir semua perguruan tinggi di sana,” kata peneliti RCDM-ITB Nuraini Rahma Hanifa.
Hendri, dosen geofisika dan meteorologi dari Universitas Papua yang jadi koordinator forum itu mengatakan, “Selama ini tanggap darurat masih menjadi yang utama. Dengan forum ini, kami berharap bisa mendorong riset dan kebijakan tentang pengurangan risiko bencana di Papua,” kataya.
Hingga saat ini, kepadatan penduduk di Papua masih sangat rendah, yaitu sekitar 10 jiwa per kilometer dan pembangunannya cenderung stagnan, sehingga pengurangan risiko bencana kerap diabaikan. Namun, kota-kota di Papua pasti akan terus berkembang. Karena itu, untuk membangun Papua ke depan, aspek mitigasi bencana yang dilandasi riset kegempaan menjadi penting, mengingat setting tektonik kawasan ini yang hiperaktif.–AHMAD ARIF
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Geologi Papua yang Hiperaktif”.