Kapan, di mana, dan seberapa kuat gempa berikutnya, sampai kini masih menjadi misteri ilmu pengetahuan. Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kesiapsiagaan menghadapinya.
Gempa berkekuatan M 6,9 terjadi pada Minggu (19/8/2018) malam menjadi babak baru bagi rentetan gemba bumi yang melanda Pulau Lombok. Jalur patahan di utara Lombok ternyata memiliki kuncian di bidang gempa berdekatan yang bisa runtuh dalam waktu berdekatan menjadi gempa kembar atau dikenal sebagai “doublet earthquake.”
?“Gempa M 6,9 merupakan aktivitas ‘gempa baru‘yang berbeda dengan gempa berkekutan M 7 dan susulanya yang terjadi sejak 5 Agustus 2018,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono, Senin (20/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Menurut Daryono, dalam ilmu gempa bumi atau seismologi aktivitas kedua gempa kuat semacam inidisebut sebagai “gempa kembar” (doublet earthquakes) atau bahkan “multi gempa” (multiplet earthquakes)mengingat kekuatanya tidak terpaut besar, lokasi dan kedalamannya berdekatan, serta terjadi dalam rentang waktu tak terlalu lama.
KOMPAS/HARRY SUSILO–Gempa berkekuatan Magnitudo 6,9 yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan diikuti gempa beruntun membuat area parkir di dalam kawasan Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur, penuh retakan, seperti terlihat, Senin (20/8/2018). Akibat gempa, pelabuhan penyeberangan dari Lombok ke Sumbawa ini sempat ditutup selama 12 jam. Area parkir, ruang tunggu, dan satu dermaga rusak.
?Sebelum gempa M 6,9 ini, Daryono termasuk yang awalnya meyakini gempa-gempa berikutnya di Lombok tinggal susulan dengan kekuatan yang akan terus mengecil. Dengan membaca pola gempa susulannya, BMKG cenderung meyakini kecil kemungkinan bakal terjadi gempa besar lagi di utara Lombok.
?Pada Sabtu (18/8/2018), Kepala BMKG Dwikorita Karnawati membantah kabar yang beredar di media sosial tentang prediksi gempa M 7 yang akan melanda Lombok dalam kurun 10 hari ke depan. Prediksi gempa yang disampaikan pengelola akun Facebook“Earthquake & Weather” yang mengaku berbasis di Belanda tersebut dikaitkan dengan kejadian gempa M 6,5 di sebelah timur Lombok pada Jumat (17/8/2018).
?“Tidak sedikit pula warga yang mempercayai berita tentang hoaks. Alhasil, masyarakat selalu merasa resah, khawatir, dan was-was,” kata Dwikorita dalam siaran pers yang diberi judul,”Prediksi Gempa 7.0 Earthquakes & Weather, BMKG Sebut Itu Hoaks.”
?Dwikorita menegaskan, hingga kini belum ada satu pun teknologi yang mampu memprediksi gempa bumi secara pasti dan akurat mengenai kapan dan berapa kekuatannya. Dengan demikian, jika beredar informasi berisi ramalan dan prediksi yang menyebut kapan dan berapa kekuatan gempa yang akan terjadi maka dapat dipastikan itu adalah kabar bohong.
?Namun, sehari setelah siaran pers ini, ternyata gempa berkekuatan M 7 yang kemudian direvisi menjadi M 6,9 mengguncang Lombok bagian timur. Beberapa komentar pendukung laman Earthquakes & Weather ini pun cenderung menyalahkan BMKG.
Tak bisa diprediksi
?Ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano termasuk yang meyakini bahwa sampai kini gempa tak bisa diprediksi. Setelah gempa M 7 pada Minggu (5/8/2018) Irwan sebenarnya khawatir ada potensi gempa berikutnya di segmen patahan sesar naik Flores yang memanjang dari Nusa Tenggara Timur hingga Bali ini. Namun, dia selalu berhati-hati menyampaikan pesannya.
?“Dari aspek ilmu pengetahuan gempa belum bisa diprediksi secara persis kapan akan terjadi. Apalagi, jalur patahan naik Flores ini amat sedikit data sebelumnya. Kami baru memasang GPS di Lombok setelah gempa 29 Juli 2018,” kata Irwan.
?Ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, secara teori, gempa bumi terjadi jika energi akibat pegerakan lempeng yang terkunci terlepas sesuai dengan siklusnya. Namun, kapan persisnya suatu bidang kuncian akan terlepas sehingga memicu gempa sampai sekarang masih misteri.
?“Segmen patahan raksasa di Mentawai yang kita tahu sudah hitung siklusnya saja tidak terjadi gempa, padahal sudah dihajar beberapa kali gempa di sekitarnya,” kata dia.
?Menurut Danny, baru setelah terjadi gempa M 6,9, akhirnya diketahui bahwa gempa kembar di utara Lombok ini terjadi dalam satu zona patahan yang terdiri dari banyak segmen yang memiliki bidang kuncian beda, namun berdekatan siklusnya.
?“Seperti di Lombok, siklus gempanya cenderung homogen. Satu jalur gempa yang segmennya besar dibagi menjadi tiga segmen, tengah, barat, timur. Semuanya terisi penuh. Satu lepas lainnya ikut lepas. Sebelumnya kita tidak tahu siklusnya, karena memang sebelumnya tidak ada data historisnya maupun data pengamatan lainnya,” kata Danny.
?Pengetahuan baru tentang karakter gempa Lombok ini penting untuk mitigasi ke depan, termasuk juga mewaspadai kemungkinan terpicunya segmen gempa lain di jalur patahan naik Flores, baik di sebelah timur atau barat Lombok. “Kalau dari pola gempa susulannya, ada tren gempa arah Pulau Sumbawa. Namun ini spekulatif. Seperti di Lombok, kita juga tak punya data banyak di sana,” kata dia.?
Sebaran gempa Lombok setelah gempa M 6,9 tanggal 19 Agustus 2018 (warna merah) mengarah ke Pulau Sumbawa dan sebaran gempa sebelumnya (warna kuning). Sumber: BMKG, 2018
?Irwan mengatakan, untuk meningkatkan akurasi pembacaan karakter gempa di suatu wilayah, dibutuhkan banyak penelitian dan pemantauan. Untuk itu, negara harus hadir untuk mendukung kajian dasar kegempaan. “Masih sangat banyak sumber gempa di Indonesia yang belum diketahui karakternya secara rinci karena minimnya data kajian maupun pantauannya,” kata dia.
?Upaya memprediksi gempa bumi sebenarnya telah lama dilakukan banyak peneliti dan institusi di belahan dunia. BMKG sebenarnya juga telah mengembangkan sistem prediksi gempa dengan membangun sejumlah stasiun pengamatan prekursor (tanda awal) gempa bumi sejak beberapa tahun terakhir.
?Sistem BMKG dibangun berdasarkan pengamatan anomali atau perubahan gelombang magnet bumi dan perubahan sebaran gas radioaktif radon. Sensor magnet bumi dipasang di Gunungsitoli (Sumatera Utara), Liwa (Lampung), dan Tangerang (Banten). Sementara sensor radon dibangun di Yogyakarta dan Palabuhanratu, Jawa Barat.
?Sampai saat ini, hasil pemantauan BMKG dari sejumlah stasiun prekursor masih untuk kepentingan studi. Mereka belum berani menggunakannya sebagai panduan mitigasi karena akurasinya belum stabil.
?Selain aspek teknis, dari aspek sosial dan budaya, tantangannya besar jika sistem prediksi gempa itu diterapkan. Kontroversi prediksi gempa untuk mitigasi bencana misalnya, pernah dialami Pemerintah China. Sejak 1994, State Seismological Bureau of China intensif mempelajari perilaku hewan untuk prediksi gempa. Empat tahun kemudian, mereka mengklaim suksesevakuasi warga Kota Haicheng beberapa jam sebelum gempa (M 7,3) pada 4 Februari 1975 dengan mengamati perilaku cacing tanah.
?Namun, setahun kemudian, China gagal memprediksi gempa Tangshan (M 8,2) yang menewaskan 240.000 orang. Sepanjang 1996 dan 1999, China mengumumkan 30 prediksi gempa dan semuanya gagal (Ikeya, 2004).
?Bahkan negara dengan teknologi dan kajian kegempaan terdepan seperti Jepang juga tidak mengandalkan sistem prediksi gempa yang sampai sekarang masih menjadi misteri ilmu pengetahuan ini. Mereka memilih menguatkan konstruksi bangunan dan membangun kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana gempa, termasuk dengan pendidikan serta simulasi yang rutin dilakukan.
?Tak hanya bagi masyarakat Lombok, penguatan bangunan dan kesipasiagaan masyarakat menghadapi gempa bumi serta tsunami harus menjadi gerakan nasional. Dengan kondisi tektonik Indonesia, gempa bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 21 Agustus 2018