Untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu bulan, Eropa mengalami gelombang panas yang meluas dan intens. Perubahan iklim menyebabkan frekuensi gelombang panas kini sepuluh kali lipat lebih sering dibandingkan 100 tahun lalu. Sedangkan di Indonesia, hal ini memicu musim kemarau lebih panas dan kering.
Suhu permukaan yang terekam satelit, menandai gelombang panas yang kini mendera Eropa. Sumber: WMO, 2019
Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), Jumat (26/7/2019), menyebut, suhu udara di sejumlah wilayah Eropa mencapai rekor tertinggi sehingga mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Belgia, Jerman, dan Belanda mengalami rekor suhu nasional tertinggi dengan rata-rata di atas 40 derajat celsius. Kota Paris di Prancis mengalami rekor terpanas 42,6 derajat celsius, yang merupakan suhu tertinggi sejak dilakukan pencatatan pada 1630.
Gelombang panas pada bulan Juli ini mengikuti kejadian serupa pada Juni, yang sebelumnya juga mencatat rekor suhu baru di Eropa dengan suhu rata-rata 2 derajat celsius di atas normal. Juni juga merupakan bulan Juni terpanas di dunia.
Meteorologi Perancis (Météo France) mengumumkan, “Kita semua terancam, bahkan orang sehat. Bahaya lebih besar bagi manula, orang-orang dengan penyakit kronis atau masalah kesehatan mental, orang-orang yang minum obat teratur dan orang-orang yang terisolasi.”
Mereka yang bekerja di luar diminta untuk berhati-hati dan waspada terhadap tanda-tanda stroke panas. Météo-Prancis juga mengeluarkan peringatan bahwa gelombang panas akan meningkatkan risiko kekeringan.
Layanan meteorologi nasional Spanyol, AEMET, juga memperkirakan suhu mencapai di atas 40 derajat celsius. Mereka mengeluarkan peringatan risiko kebakaran ekstrem karena kombinasi panas, angin, dan petir. Bahkan di Portugal, kebakaran lahan telah terjadi pada awal minggu.
Di Jerman, Deutscher Wetter (Metorologi Jerman) menyebutkan, rekor suhu nasional baru terjadi di Lingen (perbatasan Belanda) dengan suhu 41,5 derajat celsius di Lingen (dekat perbatasan Belanda) pada 24 Juli lalu. Sebelumnya rekor suhu nasional adalah 40,3 derajat celsius (5 Juli, 2015).
Suhu Gilze Rijen, Belanda pada 24 Juli 38,8 derajat celsius memecahkan rekor panas berusia 75 tahun di negara itu. Belgia juga menetapkan rekor nasional baru di Angleur sebesar 40,2 derajat celsius. Adapun suhu di Inggris mencapai 38,1 celsius.
“Gelombang panas yang intens dan menyebar saat ini menjadi bukti tentang perubahan iklim akibat ulah manusia. Ini konsisten dengan temuan ilmiah sebelumnya bahwa gelombang panas bakal terjadi lebih sering dan meluas saat konsentrasi gas rumah kaca meningkat sehingga memicu kenaikan suhu global,” kata Johannes Cullmann, Direktur Departemen Iklim dan Air, WMO.
Banyak penelitian membuktikan kaitan perubahan iklim dan gelombang panas. Contohnya, laporan studi para ilmuwan dari World Weather Attribution tentang kontribusi manusia terhadap gelombang panas Juni 2019 yang memecahkan rekor di Perancis menyimpulkan,”Setiap gelombang panas yang terjadi di Eropa saat ini lebih intens akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.”
Studi ini juga menyebutkan, gelombang panas yang intens terjadi saat ini setidaknya 10 kali lebih sering hari ini daripada seabad yang lalu. Gelombang panas diperkirakan bakal terjadi tiap tahun jika suhu global naik 2 derajat celsius di atas suhu era pra-industri atau sebelum 1600-an. Jika pemanasan global 1,5 derajat celsius, peristiwa itu diperkirakan bakal terjadi tiap dua dari tiga tahun.
Padahal, kajian oleh Thorsten Mauritsen dari Stockholm University diterbitkan di jurnal Nature, 1 Juli 2019, menyebut, berdasarkan emisi karbon dan tren pembangunan pembangkit listrik tenaga uap, kenaikan suhu 1,5 derajat celsius diperkirakan terjadi pada 2033. Aktivitas manusia mendorong suhu global 1 derajat celsius dibandingkan tahun 1900-an.
Semakin kering
Wakil Presiden Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) bidang Meteorologi, Klimatologi dan Oseanografi Siswanto mengatakan, ekstremitas iklim saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode 100 tahun lalu. “Peluang kejadian gelombang panas di Eropa seperti saat ini, telah meningkat 10 kali lipat frekuensinya saat ini dibandingkan satu abad lalu,” katanya.
Perubahan iklim memicu musim kemarau di Indonesia lebih kering dan panas. Sepuluh tahun mendatang, suhu diperkirakan bertambah 0,5 derajat celcius dan kekeringan meningkat 20 persen. Sumber: BMKG
Siswanto yang juga Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menambahkan, gelombang panas yang saat ini melanda Eropa diperkirakan tak berdampak pada wilayah Indonesia. Selain karena sistem sirkulasi udaranya berbeda, aliran angin tidak mengarah ke wilayah Indonesia. Suhu panas yang mencapai lebih dari 50 derajat Celcius juga sangat kecil peluangnya terjadi di wilayah Indonesia.
“Berdasarkan catatan historis, suhu maksimum di Indonesia belum pernah mencapai 40 derajat celcius. Suhu tertinggi yang tercatat di Indonesia dalam beberapa hari ini adalah berkisar 34-35 derajat celsius di Ciputat, Semarang dan Aceh,” ujarnya.
Namun, saat ini kondisi iklim secara global cenderung lebih hangat dan kering. Fenomena itu juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil simulasi proyeksi iklim multi-model memakai skenario RCP4.5 (emisi GRK menengah), pada periode 2020-2030, rata-rata wilayah daratan di Indonesia akan lebih panas 0,2 – 0,3 derajat celcius dibandingkan rata-rata suhu udara pada periode 2005-2015.
Sementara dengan skenario emisi GRK yang tinggi (RCP8.5) perubahan suhu dimungkinkan hingga 0.5°C. “Musim kemarau di Indonesia akan lebih panas dan kering,” ungkapnya.
Suhu di Indonesia pada musim kemarau di bulan Juni ini terekam 1,25 derajat celsius lebih tinggi daripada periode 1981-2010. Hal itu terutama terpantau di Jakarta, Sumatera, sebagian besar Kalimantan, dan Sulawesi.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 Juli 2019