Fira Fatmasiefa (16) dan Bramasto Rahman Prasojo (15) sedih melihat penyandang tunanetra kesulitan belajar membaca huruf braille, terutama mereka yang mengalami kebutaan setelah tumbuh dewasa. Kedua remaja peneliti yang masih kakak-adik itu pun terdorong menciptakan alat bantu baca braille berbasis sains komputer.
Fira Fatmasiefa (16) dan Bramasto Rahman Prasojo (15) menunjukkan alat baca huruf braille berbasis sains komputer yang mereka ciptakan, di Sekolah Chandra Kusuma, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (26/4). Atas temuannya, mereka memenangkan dua medali emas di ajang International Conference of Young Scientist 2017, 16-23 April, di Stuttgart, Jerman.
Fira Fatmasiefa (16) dan Bramasto Rahman Prasojo (15) menunjukkan alat baca huruf braille berbasis sains komputer yang mereka ciptakan, di Sekolah Chandra Kusuma, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (26/4). Atas temuannya, mereka memenangkan dua medali emas di ajang International Conference of Young Scientist 2017, 16-23 April, di Stuttgart, Jerman.
Usaha mereka berhasil. Tak hanya itu, karya mereka membuahkan dua medali emas di ajang International Conference of Young Scientist (ICYS) 2017, di Stuttgart, Jerman, 16-23 April. Kedua emas itu untuk kategori hasil riset sains komputer dan poster ilmiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ICYS adalah perlombaan karya ilmiah tingkat dunia bagi siswa sekolah menengah yang digelar sejak 1993. Indonesia pernah menjadi tuan rumah dua kali, pada 2010 dan 2013.
Ketika ditemui di Sekolah Chandra Kusuma, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (26/4), Fira dan Bramasto dengan penuh semangat bercerita bagaimana mereka menemukan ide dan mempersiapkan riset berjudul “Braille Literacy Helper”.
Ide itu bermula dari kegiatan bakti sosial di Sekolah Luar Biasa-A Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (Yapentra), di Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang, yang diikuti Fira, Agustus 2016. Fira sedih menemukan sejumlah penyandang tunanetra kesulitan belajar membaca braille secara konvensional, yakni menggunakan papan yang dibuat lubang-lubang di permukaannya.
Guru mengisi lubang dengan paku payung sehingga kepala paku membentuk tonjolan sesuai kode huruf braille yang ingin diajarkan. Siswa lalu meraba papan itu dan menyebutkan kode huruf braille itu. Dengan cara tersebut, penyandang tunanetra tidak dapat belajar sendiri. “Mereka punya banyak waktu luang, tapi tidak bisa dimanfaatkan untuk belajar huruf braille karena guru tidak selalu bisa mendampingi,” ujar Fira.
Di SLB-A itu, Fira berkenalan dengan seorang penyandang tunanetra, Berkah Stephen. Meski umurnya sudah 20 tahun, Stephen masih duduk di kelas IX SMP. Ia mengaku kesulitan mengikuti pelajaran karena belum mahir membaca huruf braille. Ia sebenarnya dilahirkan dengan penglihatan normal. Namun, ia mengalami kebutaan saat berusia 13 tahun akibat penyakit infeksi pada mata. Setelah berkenalan dengan Fira, Stephen memegang sebuah naskah dengan huruf biasa dan berkata, “Saya tahu kertas ini berisi huruf-huruf. Dulu saya bisa membacanya.”
Fira menceritakan perkenalan itu kepada adiknya, Bramasto. Setelah itu, mereka sepakat untuk mencoba membuat alat bantu baca braille. Fira mengerjakan bagian perangkat keras, sementara Bramasto menyusun bahasa pemrograman komputer. Mereka dibimbing guru bidang studi matematika dan komputer, Ponten Pranata Aritonang. Proyek penelitian itu dimulai pada Agustus 2016.
Awalnya, mereka membuat alat pemindai huruf braille menggunakan lensa kamera. Input gambar dari kamera diubah menjadi suara. Dengan alat itu, penyandang tunanetra hanya perlu mengarahkan kamera ke naskah braille, lalu alat itu menerjemahkannya menjadi suara. Riset berjudul “Braille to Voice Reader” itu mendapat medali emas pada seleksi ICYS 2017 di tingkat provinsi.
Ketika melaju ke tingkat nasional, mereka mengubah konsep alat pemindai braille yang masih belum sempurna. Jika huruf braille terlalu rapat, terjemahannya kadang tidak tepat. “Lagi pula, kalau mengandalkan pemindai elektronik, kepekaan indera peraba penyandang tunanetra akan berkurang. Padahal, banyak fasilitas umum yang didesain untuk penyandang tunanetra dengan mengandalkan indera peraba,” tuturnya.
Mereka lantas membuat alat baru dengan konsep belajar huruf braille secara mandiri. Mereka terus berjuang hingga kadang harus tidur lewat tengah malam. Fira membuat desain alat yang baru, Bramasto menyusun bahasa pemrograman yang panjangnya 117 halaman pada kertas berukuran A4. “Bahasa pemrogramannya sangat panjang karena saya menggunakan cara sederhana. Saya belajar secara otodidak,” ucap Bramasto.
Aspek sosial
Kerja keras mereka melahirkan alat baru yang terdiri atas dua kotak, berukuran masing-masing sekitar 12 cm x 20 cm dan 5 cm x 10 cm. Kedua kotak itu dihubungkan dengan kabel-kabel. Kotak yang lebih kecil berisi empat tombol yang terhubung dengan papan sirkuit elektronik. Kotak yang lebih besar merupakan papan dengan tonjolan kode huruf braille dan dilengkapi pengeras suara.
Dengan alat itu, tonjolan kode huruf braille akan muncul secara acak berbarengan dengan informasi huruf yang disampaikan melalui suara. Ini membuat penyandang tunanetra dapat belajar sendiri tanpa bantuan orang lain. Alat itu juga dapat digunakan untuk menguji ingatan penyandang tunanetra pada huruf-huruf yang sudah dipelajari.
Kini, alat tersebut sudah mulai digunakan di SLB-A Yapentra. Dengan alat itu, siswa semakin cepat memahami huruf braille.
Menurut Ponten, kunci kemenangan Fira dan Bramasto dalam ICYS 2017 terletak pada adanya aspek sosial yang mereka sentuh. Juri terkesan pada kepedulian mereka terhadap lingkungan sosial. “Banyak temuan berteknologi tinggi dalam bidang sains komputer, tetapi yang menyentuh aspek sosial hanya sedikit.”
Hal yang paling sulit dalam riset itu, lanjut Ponten, adalah bagaimana menggali perasaan dan kesulitan penyandang tunanetra dalam belajar membaca huruf braille. “Fira dan Bramasto berhasil melakukannya. Mereka berkunjung beberapa kali ke SLB-A Yapentra untuk merasakan sendiri kesulitan penyandang tunanetra,” katanya.
Meneliti sejak kecil
Ibu dari Fira dan Bramasto, Diyah Purworini, menyebutkan tidak pernah mematok target pada kedua anaknya itu untuk memenangi kompetisi. Ia hanya menekankan, kalau berhasil dibuat, alat itu akan membantu penyandang tunanetra. “Jika menang dalam lomba, itu hanya bonus,” ujarnya.
Ia menceritakan, kedua anaknya sejak kecil sudah senang meneliti. Bramasto pernah mendapat medali perunggu dalam Asia Pacific Conference of Young Scientist 2015. Ketika itu, ia membuat solar cell dari lampu diode pancaran cahaya (LED). Ide itu muncul saat Bramasto secara tak sengaja merasakan sengatan kecil saat memegang lampu LED di bawah sinar matahari. Temuan itu dinilai penting karena dapat menggantikan solar cell yang jauh lebih mahal.
Fira yang juga seorang penari balet pernah meneliti pembuatan kertas dari limbah tebu. Selain itu, ia juga meriset pembuatan bahan gypsum dari kulit kerang untuk membantu penyembuhan pasien patah tulang. Saat masih di sekolah dasar, dua kakak beradik itu pernah membuat alarm yang akan berbunyi ketika bayi mengompol.
Mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Mereka akan terus meneliti demi pengetahuan dan kemanusiaan.
FIRA FATMASIEFA
Lahir:
Surabaya, 9 Juni 2000
Pendidikan :
SD Swasta Pertiwi, Medan
SMP Chandra Kusuma, Deli Serdang
SMA Chandra Kusuma, Deli Serdang
BRAMASTO R PRASOJO
Lahir:
Surabaya, 12 Februari 2002
Pendidikan:
SD Swasta Pertiwi, Medan
SMP Chandra Kusuma, Deli Serdang
Orangtua:
Diyah Purworini (ibu)dan Gede Pardianto (ayah)
NIKSON SINAGA
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2017, di halaman 16 dengan judul “Peneliti Muda yang Membantu Tunanetra”.