Lebih dari tiga hari sejak bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, terjadi, jasad korban yang belum ditemukan dipastikan mulai membusuk. Jaringan tubuh mereka akan melunak sehingga jasad satu korban dengan lainnya mirip dan sulit dikenali.
”Jasad korban bisa diidentifikasi dari baju, rambut, perhiasan, kartu identitas yang dibawa, atau informasi lain, seperti postur dan tinggi badan,” kata Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Purwadianto, di Jakarta, Senin (15/12).
Oleh karena itu, pengumpulan informasi semasa hidup (antemortem) korban yang hilang dari keluarga amat penting. Data yang dibutuhkan tak hanya jenis kelamin dan usia, tetapi juga berbagai informasi kesehatan korban yang memudahkan kerja tim identifikasi orban bencana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UI Yuli Budiningsih memaparkan, jika jasad tak bisa dikenali karena baru ditemukan setelah sekian lama, identifikasi bisa dilakukan dengan membandingkan antara asam deoksiribonukleat (DNA) korban dan keluarganya.
”Tes DNA adalah pilihan terakhir berdasar keputusan pemerintah karena menyangkut efektivitasnya,” katanya. Pada beberapa kasus, jika banyak korban bencana tak ditemukan hingga batas waktu pencarian ditetapkan, wilayah bencana itu ditetapkan sebagai kuburan massal.
Relawan
Proses pembusukan membuat kondisi lingkungan tempat bencana longsor memburuk. Karena itu, relawan perlu berhati-hati. Jika memungkinkan, memakai sepatu bot setinggi lutut agar mudah menyelamatkan diri jika terperosok. ”Penggunaan sarung tangan tebal dan sepatu bot adalah keharusan,” kata Agus.
Yuli menambahkan, jika relawan dan tim evakuasi tak sehat, sebaiknya istirahat. ”Relawan harus tahu batas kekuatannya,” ujarnya. Keselamatan relawan adalah hal utama.
Jika kondisi tak memungkinkan untuk evakuasi dan identifikasi korban, proses itu sebaiknya ditunda hingga aman agar tak muncul masalah baru. Di saat bersamaan, informasi proses evakuasi dan berbagai kondisi yang menyertai harus disampaikan kepada keluarga korban sehingga keluarga korban dan masyarakat paham situasi terjadi.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, proses pembusukan jenazah mulai terjadi. Menurut Agus, di udara terbuka, pembusukan membuat wajah dan tubuh jenazah menggelembung berisikan cairan pembusukan. Jika jasad ada dalam tanah, jaringan tubuh, seperti kulit dan otot, melunak dan mengubah bentuk tubuh sehingga sulit dikenali.
Di udara terbuka, pembusukan membuat tubuh korban berwarna hijau kehitaman. ”Jasad korban yang tertimbun longsor akan berwarna hijau kecoklatan seperti warna tanah tempat mereka ditemukan,” paparnya.
Menurut Agus, karena tubuh korban tertimbun longsoran, proses pembusukan lebih lambat dibandingkan jika jasad korban ada di udara terbuka. Namun, kondisi tanah berair mempercepat pembusukan.
Proses pembusukan korban yang tertimbun longsor tak menimbulkan penyebaran kuman penyakit ke lingkungan. Sebab, jasad korban tertimbun tanah dan mereka dari komunitas sehat. ”Relawan harus rajin cuci tangan dan minum air dari sumber terlindung,” ucapnya. (MZW)
Sumber: Kompas, 16 Desember 2014