Tidaklah sulit membuat mikroba kebal dari penisilin di laboratorium dengan memberi dosis yang tidak cukup mematikan mikroba, dan hal yang sama bisa terjadi dalam tubuh. (Alexander Fleming)
Tujuh puluh tahun lalu, tepatnya 11 Desember 1945, penemu penisilin itu telah memperingatkan dunia. Peringatan peraih Nobel Kedokteran itu menjadi kenyataan: dunia menuju era pasca antibiotik, yaitu infeksi sederhana saja tak bisa lagi diobati antibiotik.
Setelah ditemukan tahun 1928, penisilin bak obat dewa yang dapat mengobati banyak penyakit dan menyelamatkan jutaan nyawa. Penggunaan penisilin pun meluas untuk berbagai penyakit infeksi. Namun, tahun 1947, empat tahun setelah penisilin diproduksi massal, pertama kalinya dilaporkan ada kekebalan (resistensi) bakteri terhadap penisilin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebal antibiotik berarti bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang digunakan mengobati penyakit akibat bakteri tersebut. Kekebalan antibiotik dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, membuat pengobatan kian lama dilakukan, dan kian mahal biayanya.
Kekebalan pada antibiotik dapat disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak rasional (berlebihan, dosisnya kurang, atau tidak tepat), ketidakpatuhan pasien minum antibiotik, penggunaan antibiotik berlebihan di peternakan dan perikanan, serta pengendalian infeksi yang lemah di rumah sakit. Pada saat yang sama, tak banyak antibiotik baru yang sama ampuhnya dengan jenis antibiotik yang sudah tidak manjur lagi.
Survei terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap 10.000 orang di 12 negara memperlihatkan, 32 persen responden percaya mereka perlu menghentikan penggunaan antibiotik begitu merasa sehat daripada menuntaskan konsumsi obat yang diresepkan.
Responden tidak tahu bahwa ketidakpatuhan minum antibiotik hingga tuntas bisa berisiko terjadinya bakteri kebal terhadap antibiotik.
Pemberian antibiotik yang tidak tepat dosis, misalnya, tidak akan efektif menghambat pertumbuhan bakteri. Yang terjadi justru bakteri beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan antibiotik itu. Akibatnya, bakteri itu menjadi kebal dan antibiotik menjadi tidak ampuh lagi.
Data surveilans KPRA-WHO-Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan tahun 2013 di enam rumah sakit di Indonesia, menunjukkan, ada peningkatan prevalensi bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL) yang kebal terhadap antibiotik golongan sefalosporin generasi 3. Enzim ESBL mampu memecah antibiotik sehingga menghilangkan kemampuan antibiotik melawan kuman penyakit. Itu merupakan indikator serius terhadap risiko kegagalan pengobatan kasus infeksi.
Ada beberapa jenis mikroorganisme penyebab penyakit. Dua di antaranya virus dan bakteri. Antivirus adalah obat yang dipakai mengobati penyakit akibat virus, sedangkan obat untuk penyakit yang disebabkan bakteri adalah antibakteri atau yang lebih dikenal dengan antibiotik.
Obat antibakteri disebut juga antibiotik karena sebagai mikroorganisme, bakteri tidak hanya bisa hidup di dalam tubuh manusia, tetapi juga mampu hidup di luar tubuh manusia.
Obat keras
Antibiotik termasuk obat keras yang dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan bakteri. Oleh karena itu, antibiotik tidak akan efektif mengobati penyakit yang disebabkan virus.
Sekretaris Komite Penanggulangan Resistensi Antimikroba (KPRA) Anis Karuniawati menuturkan, kekebalan pada antibiotik bisa terjadi di rumah sakit ataupun masyarakat.
Beberapa bakteri kebal antibiotik itu: Acinetobacter baumannii, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus yang kebal metisilin (MRSA).
Di rumah sakit, bakteri yang kebal itu paling banyak menyebabkan pneumonia (radang paru-paru), infeksi saluran kemih, infeksi daerah operasi, dan sepsis. Di tengah masyarakat, bakteri Mycobacterium tuberculosis sudah ada yang kebal.
Pengobatan tuberkulosis yang kebal obat (MDRTB) berlangsung hingga dua tahun, sedangkan pengobatan tuberkulosis yang tidak kebal antibotik selama enam bulan. Obat yang harus diminum pasien MDRTB juga lebih banyak dan biayanya lebih mahal dibandingkan pasien TB biasa.
Perkiraan WHO, apabila kekebalan antimikroba tidak dikendalikan akan menyebabkan 10 juta kematian di dunia setiap tahun dan kehilangan produk domestik bruto (PDB) 2 persen-3,5 persen secara global pada tahun 2050. Menurunnya produktivitas karena sakit dan ongkos pengobatan yang semakin tinggi menambah nilai kerugian ekonomi.
“Meningkatnya resistensi terhadap antibiotik adalah krisis global. Pemerintah berbagai negara menyadari, itu merupakan tantangan kesehatan masyarakat terbesar saat ini. Resistensi antibiotik telah mencapai tingkat membahayakan di berbagai belahan dunia,” ujar Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO, dalam pernyataan tertulisnya, Senin (16/11) di Geneva, Swiss.
Pendiri Yayasan Orangtua Peduli (YOP) Purnamawati Sujud menambahkan, semua pihak, mulai dari masyarakat hingga tenaga kesehatan harus bijak menggunakan antibiotik. Jangan sampai karena tidak menggunakan dengan bijak, keampuhan antibiotik menurun.
Survei WHO juga menunjukkan, 64 persen responden percaya antibiotik dapat menyembuhkan batuk-pilek dan flu. Padahal, antibiotik tak memberi dampak apa pun pada penyakit yang disebabkan virus.
Untuk itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan masyarakat adalah jangan buru-buru mengonsumsi antibiotik jika batuk, flu, dan diare tanpa darah. Tiga penyakit itu disebabkan virus. Konsumsi antibiotik membuat bakteri kebal antibiotik.
“Mulai sekarang bijaklah menggunakan antibiotik agar umur antibiotiknya panjang. Save the pill for the very ill,”ujar Purnamawati.—ADHITYA RAMADHAN
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Era Kegelapan Pasca Antibiotik Mengancam”.