Emisi kebakaran hutan dan lahan pada periode Januari – Juli 2019 mencapai 38 juta ton setara karbondioksida. Angka ini belum final karena kebakaran pada Agustus masih tinggi dan berlangsung hingga kini.
Pada perhitungan final emisi kebakaran hutan dan lahan, pada tahun 2018 emisi mencapai 162.663.073 ton setara CO2 dan tahun 2017 mencapai 24.661.562 ton setara CO2. Besaran nilai pelepasan emisi ini tergantung pada luas dan jenis hutan/lahan.
WWF/ZULFAHMI–Kebakaran TN Tesso NiloApi tampak menyala di Taman Nasional Tesso Nilo akibat kebakaran hutan/lahan yang melanda dekat camp flying squad di Desa Lubuk Kembang Bunga sepekan terakhir. Foto kemungkinan diambil pada 11 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data Sipongi dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan luas kebakaran pada Januari – Juli 2019 mencapai 135.749 hektar (ha). Dari jumlah itu, seluas 31.002 ha berasal dari hutan/lahan gambut dan 104.746 ha berasal dari hutan/gambut mineral.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles Brotestes Panjaitan, Senin (2/9/2019), di Jakarta, mengatakan emisi dari kebakaran tersebut relatif kecil karena luas gambut yang terbakar juga kecil. Faktor emisi pada gambut jauh lebih besar dibandingkan area tanah/hutan mineral.
Sebagai perbandingan, ia mencontohkan luas kebakaran tanah mineral di Nusa Tenggara Timur mencapai 71.712 ha sehingga menimbulkan emisi 3,27 juta setara CO2. Riau yang mengalami kebakaran pada gambut seluas 27.635 ha dan lahan mineral 2.430 ha, atau total 41 persen luas kebakaran NTT, menimbulkan emisi 29,29 juta ha atau 9 kali lipatnya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Emisi Kebakaran Hutan dan LahanPresentasi Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brotestes Panjaitan. Data 2019 tersebut pada periode Januari-Juli 2019.
Restorasi
Ia mengatakan kunci penurunan emisi di sektor kehutanan berada pada pengendalian kebakaran hutan dan lahan di samping penurunan deforestasi. Ini menjadi pekerjaan rumah utama mengingat komitmen penurunan emisi Indonesia pada dokumen niatan kontribusi nasional (NDC) sebesar 29-41 persen, sebesar 17,2 persennya bergantung pada kehutanan.
Karena itu, sejak 2016, Indonesia menggiatkan program restorasi gambut untuk mengembalikan kebasahan dan tutupan hutan pada gambut-gambut yang rusak.
Raffles mengatakan luas kebakaran gambut yang relatif kecil tahun ini menunjukkan restorasi mulai menunjukkan hasil. Ia mencontohkan pada tahun 2015 sebelum restorasi gambut dikerjakan, luas kebakaran gambut mencapai 2,6 juta ha yang 891.275 ha berada di area bergambut.
Selain restorasi gambut, ia mengatakan upaya menekan emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan juga didukung dengan membaiknya koordinasi antar kementerian/lembaga serta pemerintah daerah. Ini mempercepat pemadaman sehingga membuat api tak terlanjur membesar sehingga sulit dipadamkan.
Kecepatan pemadaman, kata dia, menjadi kunci untuk mencegah kebakaran tak meluas. Bila api terlanjur membakar lahan – terutama gambut – selama lebih dari sejam, ia mengatakan upaya yang dilakukan akan sangat besar dan membutuhkan volume air yang sangat besar. “Dengan pemadaman cepat itu kebakaran tak terlanjur meluas, korelasinya linier,” kata dia.
Raffles pun menyebutkan pemerintah daerah dan masyarakat pun telah memiliki respons yang membaik terkait kebakaran hutan dan lahan. Pemda kini tak ragu menerapkan status dini darurat sebelum memasuki kemarau serta menyediakan anggaran patroli dan penyediaan sarana prasarana pencegahan/pemadaman kebakaran. Apalagi dari sistem fiskal, daerah kini bisa membelanjakan dana transfer daerah berupa Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Masih berlangsung
Dihubungi di Pekanbaru Riau, pakar kebakaran hutan dan lahan IPB University Bambang Hero Saharjo mengatakan kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 diperkirakan masih berlangsung hingga akhir Oktober. “Perjalanan belum selesai. Data luas kebakaran itu masih periode Januari-Juli, padahal bulan Agustus juga masih ada yang berkecamuk,” kata Bambang. Dia mengatakan Senin pagi kemarin Pekanbaru terselimuti kabut asap setelah dua-tiga hari lalu kabut menghilang karena hujan deras.
Ia meminta kewaspadaan terus ditingkatkan dan deteksi api dilakukan lebih baik. Bambang Hero mencontohkan sudah saatnya titik-titik api yang berstatus “kuning”, bukan “merah”, juga dicek di lapangan.
Ia mencurigai dugaan titik api yang masih berstatus “kuning” tersebut merupakan cikal-bakal titik api yang telah meluas. Apalagi saat ini titik-titik api yang kecil belum diperhitungkan.
Dicontohkanya di daerah Pelalawan Riau, awalnya terdeteksi sedikit hotspot. Namun ketika deteksi dilakukan menggunakan drone (pesawat nir awak), titik-titik api kecil sangat banyak dan diduga menjadi cikal-bakal titik api yang telah meluas.
Contoh serupa juga menurutnya yang terjadi di Muara Medak, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Api semula kecil namun kian membesar dan mengarah ke perbatasan serta asapnya menutup langit Jambi yang menyebabkan sejumlah sekolah diliburkan.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 3 September 2019