Prediksi kedatangan fenomena El Nino yang membawa kekeringan dahsyat seperti tahun 1997 diperkirakan takkan terjadi. Saat ini masih terjadi hujan akibat tekanan tinggi dan melimpahnya uap air di perairan Indonesia. Fenomena alam itu diperkuat keberadaan radiasi matahari yang cenderung lebih kecil.
”Perlu lebih cermat lagi membaca cuaca atau iklim dan bagaimana besar-kecilnya dampak kedatangan El Nino di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup akan membicarakan lagi hal ini bersama BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan kementerian lain,” kata Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, di Jakarta, Selasa (1/7).
Saat itu, Paulus Agus Winarso, pengajar Akademi Meteorologi dan Geofisika, sedang menjelaskan El Nino. Agus menunjukkan beberapa bukti dan data yang menunjukkan El Nino tak membawa kekeringan sedahsyat tahun 1997 atau 1982. Bahkan, secara global, ia menyebut terjadi fenomena La Nina (memicu hujan lebih panjang di Indonesia).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Paulus menunjukkan data indeks Pacific Decadal Oscillation (PDO) yang sejak 1900-2013 terjadi siklus 20 tahunan silih- berganti antara rezim hangat dan dingin. Periode tahun 2000, bumi cenderung ”mendingin” hingga kini.
”Secara umum, bumi kurang hangat yang berakibat belum giatnya tekanan udara yang terbukti kurang giatnya musim badai, baik di belahan selatan dan kini giliran utara,” katanya.
Kenaikan suhu air laut 0,8 derajat celsius, sedangkan indikator terjadinya El Nino adalah 1 derajat celsius. ”Berdasarkan pengalaman, El Nino biasa terjadi di kuartal ketiga, tidak pernah di pertengahan,” katanya. Pemerintah mengumumkan dampak kekeringan El Nino mulai dirasakan Juli-Agustus 2014.
Ia juga menunjukkan saat ini masih terjadi hujan deras dan puting beliung disertai genangan (banjir) di sejumlah kota. ”El Nino tak ada hujan. Kuartal kedua tidak hujan terus-menerus, itu pasti El Nino,” katanya.
Paulus bahkan menyebut El Nino yang diprediksi memberi dampak basah, bukan kering seperti sebelumnya. ”Sepertinya situasi musim kemarau bersamaan dengan kejadian El Nino 2014 yang cenderung basah kuyup bagi daerah dengan curah hujan tinggi dan musim kemarau kering sedang,” katanya.
Arief menyebut analisis itu menunjukkan adanya dinamika perubahan iklim yang sedang berlangsung. ”Namun, tidak ada salahnya kita mempersiapkan pencegahan, seperti kekhawatiran akan maraknya kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan pertanian akibat El Nino,” katanya. (ICH)
Sumber: Kompas, 1 Juli 2014