El Nino diperkirakan berkembang dengan peluang hingga 70 persen pada akhir tahun 2018 ini. Kondisi ini akan berdampak pada keterlambatan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
?Peringatan tentang menguatnya peluang terjadinya fenomena cuaca global El Nino itu disampaikan Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) dalam siaran persnya pekan lalu. Intensitas El Nino sejauh ini belum dapat dipastikan, tetapi kemungkinan tidak akan sekuat tahun 2015.
?Menanggapi hal ini, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, di Jakarta, Senin (17/9/2018) mengatakan, “BMKG terus memantau perkembangan El Nino ini karena bisa berdampak terhadap dinamika cuaca di Indonesia.“
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Menurut Dwikorita, BMKG telah mengeluarkan prakiraan musim hujan 2018/2019 pada awal September lalu. Jika dibandingkan terhadap rerata klimatologis 30 tahun (periode 1981- 2010), awal musim hujan 2018/2019 umumnya akan mundur, pada November-Desember, yaitu terjadi di 68,4 persen zona musim. Hanya sekitar 22,8 persen zona musim yang normal dan 8,8 persen lebih maju.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Puncak musim kemarau membuat warga harus mencari sumber air dari ceruk sungai untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka seperti di Desa Cekel, Kecamatan Karangayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Senin (17/9/2018). Kemarau juga menyebabkan sungai, embung, dan waduk semakin minim ketersediaan pasokan air untuk kebutuhan pertanian.
?Sedangkan berdasarakan intensitasnya, musim 2018/2019 di sebagian besar daerah atau 71,9 persen diperkirakan masih normal, 20,2 persen bawah normal, dan sisanya sebanyak 7,9 bersifat di atas normal.
?Puncak musim hujan diprediksi tetap terjadi pada Januari-Februari 2019. Namun demikian, dampak El Nino diperkirakan akan mengurangi intensitas hujan di sejumlah daerah, terutama di Indonesia bagian timur.
Topan Mangkhut
Secara terpisah, Senior Forescaster BMKG Seonardi mengatakan, musim hujan telah terjadi di sejumlah daerah. Daerah-daerah tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kelpulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Papua. Hujan di daerah-daerah itu juga dipicu topan Mangkhut yang melanda Filipina.
Kalimantan akan memasuki musim hujan pada Oktober. Sedangkan Kalimantan bagian timur, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur baru akan memasuki musim hujan pada November-Desember.
Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Wilayah IV Sulsel Daryanto mengatakan, hari tanpa hujan (HTH) terpanjang, yakni 68 hari, terjadi di sejumlah wilayah di Kabupaten Jeneponto, Kota Makassar, Kabupaten Maros, serta Kabupaten Takalar. “Kekeringan berdampak pada berkurangnya ketersedian air,” katanya.
Di Lampung, kekeringan diperkirakan akan berdampak pada mundurnya musim tanam. Pada 2017, petani menanam padi sejak awal September. Di Kalimantan Selatan, kemarau berdampak pada budidaya ikan keramba jaring apung di sepanjang aliran Sungai Martapura. Debit air sungai yang surut, menyebabkan banyak ikan di keramba mati.
“Total ikan yang mati bulan lalu lebih kurang 15 ton,” kata Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Melati Desa Sungai Alang, Kabupaten Banjar, Muhammad Refki.
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kekeringan melanda 11 provinsi sejak Januari. Untuk mengatasi kekeringan, kata Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, BNPB menyiapkan anggaran Rp 50 miliar. Bantuan itu bersifat darurat seperti suplai air, pengadaan tandon air, sewa mobil tangki air, pembangunan bak penampung air, pembangunan sumur bor dan hal lain yang bersifat darurat.
?Cuaca ekstrem
?Berdasarkan pantauan WMO, kondisi laut dan atmosfer di Samudera Pasifik yang sejak April hingga awal September 2018 masih netral, kini mulai menghangat. Diperkirakan suhu muka laut di wilayah indikator ENSO (El Nino/Southern Oscillation), yaitu di Samudera Pasifik tropis bagian timur dan tengah, akan menghangat 0,6 derajat celcius hingga 1,2 derajat celcius pada periode November 2018 hingga Januari 2019.
Sumber: WMO, 2018
?Anomali iklim ENSO terdiri dari fase El Nino dan La Nino yang terjadi berulang dua hingga delapan tahun. Fenomena iklim ini memiliki pengaruh besar pada pola cuaca dan iklim di sebagian besar bagian dunia.
?“Perubahan iklim telah mempengaruhi pola tradisional El Nino dan La Nina dan dampak keparahannya. Tahun 2018 sebenarnya dimulai dengan La Nina lemah, namun pendingan ini tidak cukup menguragi tren pemanasan global sehingga tahun ini akan menjadi yang terpanas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
?Sekalipun dalam kondisi ENSO netral, tren pemanasan global telah memicu sejumlah kejadian cuaca ekstrem, mulai dari panas tinggi yang terekam di Eropa, dan banjir di Jepang, India, dan Asia Tenggara. “Sebagian besar kejadian ini jelas menunjukkan pengaruh dari perubahan iklim,” kata Taalas.
Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, El Nino menyebabkan suhu permukaan air laut di sekitar Indonesia relatif mendingin, yang berakibat pada berkurangnya penguapan dan pembentukan awan sehingga curah hujan juga menurun.
Data historis dampak El Nino menunjukkan, curah hujan berkurang drastis hampir di semua wilayah Indonesia pada kejadian El Nino kuat pada tahun 2015 dan 1997. Hal ini menyebabkan kekeringan musim kemarau menjadi lebih panjang dan parah serta memicu kebakaran hutan dan lahan yang lebih luas.
?Sebaliknya, La Nina membuat cuaca di Indonesia cenderung hangat dan lebih lembab. Selain meningkatkan curah hujan terutama pada musim hujan, fenomena La Nina juga membuat cuaca pada musim kemarau Indonesia menjadi lebih basah. (JUMARTO YULIANUS/RENY SRI AYU/VINA OKTAVIA/AGUIDO ADRI/SUCIPTO)–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 18 September 2018