Situasi politik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat saat ini mirip tahun 1960-an. Kerawanan sosial yang berlarut-larut mencapai puncaknya ketika El Nino datang beruntun tahun 1963-1964 dan 1965-1966. Militer mengambil alih tampuk kekuasaan. Bila El Nino datang tahun ini atau tahun depan, kejadian serupa bisa saja terulang kembali.
Semula El Nino diperkirakan akan datang tahun 2002, tetapi ada indikasi akan terjadi lebih awal. Bila terjadi tahun ini, dampak terparah bukanlah kelangkaan pangan tetapi meledaknya jumlah pengangguran, yang potensial menjadi pendemo bayaran. Hilangnya lapangan kerja dan lumpuhnya kegiatan ekonomi di pedesaan dapat menjadi pemicu puncak kerawanan sosial. Musim kering yang panas, air yang langka, dan daya beli yang rendah, menyebabkan munculnya sifat premanisme, radikalisme, dan lunturnya tepa salira. Pada tahun 1960-an, selain kondisi sosial politik dan ekonomi tidak menguntungkan, stagnasi produksi pertanian ikut memperburuk situasi. Investasi pemerintah untuk membuka lahan baru dan perbaikan sarana irigasi tidak ada. Produksi beras dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan. Daya beli masyarakat sangat rendah. Kemiskinan makin meluas. Ujung-ujungnya adalah terjadinya kerawanan sosial.
Situasi saat ini mempunyai banyak persamaan dengan tahun 1960-an. Kondisi sosial politik dan ekonomi yang tidak menentu, diperburuk oleh stagnasi produktivitas pertanian, terutama padi yang merupakan pangan pokok rakyat. Era revolusi hijau, yang berhasil meningkatkan produksi padi secara mengagumkan, sudah berakhir. Hingga kini belum ada terobosan jitu yang dapat mengembalikan swasembada beras.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Produktivitas padi di sentra beras mengalami stagnasi bahkan cenderung turun. Banyak lahan yang ‘sakit’ karena pengusahaannya terlalu intensif. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida tidak terkendali. Akibatnya biaya produksi meningkat sementara harga jual rendah sehingga keuntungan yang diperoleh petani jadi tipis, adakalanya merugi.
Laju peningkatan produksi padi nasional selama 10 tahun terakhir sangat lambat. Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, produktivitas tidak dapat menembus angka 5 ton per hektar. Sebelumnya, untuk meningkatkan produktivitas sebanyak 0,5 ton dari 3,5 – 4 ton/ha, cuma butuh waktu 2-3 tahun. Selanjutnya dibutuhkan waktu 7 tahun untuk meningkatkan produktivitas dari 4 ke 4,5 th/ha (Tabel 1).
Kedua, luas panen stagnan di bawah 10,5 juta hektar. Hal ini diduga karena program intensifikasi Bimas (Bimbingan Massal) seperti Insus dan Supra Insus, yang sangat intensif pada 1970-1980, sudah mengalami titik jenuh. Di samping itu, harus diakui bahwa akhir-akhir ini memang belum ada teknologi usaha tani yang mampu mempercepat peningkatan produktivitas, baik yang dihasilkan oleh lembaga penelitian nasional maupun lembaga penelitian padi internasional (International Rice Research Institute).
Berbarengan dengan stagnasi produktivitas padi dan luas panen, terjadi pula ketimpangan pemilikan lahan. Jumlah petani gurem meningkat nyata. Sewa lahan per musim sudah mencapai dua juta rupiah di sentra produksi padi. Buruh yang tidak mempunyai modal tidak mampu menyewa lahan sehingga tetap berstatus sebagai buruh. Dalam kondisi yang susah, buruh dan pengangguran sering “terpaksa” menjarah padi yang belum saatnya di panen. Frekuensi kejadian semacam ini cenderung meningkat di Jawa Barat terutama di Jalur Pantura.
Kecemburuan sosial makin meruncing karena lebarnya kesenjangan antara petani kaya dan miskin. Panen model bawon menjadi beban bagi pemilik lahan, karena buruh panen menuntut upah yang lebih tinggi berkisar 11-13% dari hasil panen. Pemilik lahan lebih menyukai panen model tebasan, agar tidak berurusan dengan buruh panen. Namun disayangkan, model tebasan membuat hubungan sosial di antara petani semakin renggang. Hal serupa pernah terjadi pada tahun 1960-an. Jumlah pengangguran meningkat. Premanisme, radikalisme, dan penjarahan kerap terjadi dengan intensitas yang meningkat.
Pengangguran dan kerawanan sosial
Jumlah pengangguran dewasa ini diperkirakan mencapai 38 juta jiwa. Di kota-kota besar sebagian penganggur rela menjadi “Pak Ogah” yang “mengatur” lalu lintas dengan imbalan belas kasihan (kadang memaksa). Mereka mudah dimobilisasi untuk melakukan demonstrasi.
Sektor pertanian yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja ternyata tidak mampu karena stagnasi teknologi, belum jelasnya arah pembangunan, dan tidak menentunya kondisi perpolitikan yang berbuntut pada kerawanan sosial.
Anehnya, walaupun pengangguran makin banyak, tetapi upah buruh tidak menuruti hukum penawaran dan permintaan. Upah tetap mahal dan sulit turun yang tentu saja memberatkan petani. Apabila upah diturunkan, penganggur memilih pekerjaan lain yang tidak produktif, atau tetap menganggur. Di jalur Pantura (Pantai Utara) Jawa Barat, peran kelompok buruh lebih dominan daripada pemilik lahan, mereka sulit diatur. Misalnya pada saat tanam, jaraknya cenderung melebar agar lebih cepat selesai. Demikian juga pada kegiatan panen, pemilik lahan sering dalam posisi sulit karena waktu dan upah panen ditentukan secara sepihak oleh pemanen. Pada saat merontok gabah, buruh panen tidak jarang menyisakan gabah untuk dipungut kembali oleh koleganya (tukang ngasak).
Penghapusan atau restrukturisasi tunggakan KUT (Kredit Usaha Tani) dikhawatirkan nanti akan turut memicu kemarahan petani yang taat membayar, karena merasa tidak adil. Dengan kata lain, penunggak diberi kelonggaran, pada hal banyak di antara mereka orang yang mampu. Saat ini banyak petani gagal panen karena banjir atau longsor. Bila El Nino datang tahun ini, beban mereka tentu akan lebih berat.
Para ahli iklim membuat klasifikasi El Nino berdasarkan dampak yang timbul: berat, sedang, dan ringan. Kondisi yang berat terjadi bila EL Nino lebih lama dan kering. Musim kering datang lebih awal sedang musim hujan berikutnya terlambat. Tingkat keparahan dipengaruhi pula keadaan wilayah, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Musim kering yang datang lebih awal, seperti yang terjadi tahun 1997, menyebabkan sebagian pertanaman gagal. Bila hujan datang terlambat, maka petani akan mengalami kerugian ganda, yaitu gagal panen pada musim kering, dan tertunda tanam pada musim hujan. Kondisi yang demikian berpotensi memicu kerawanan sosial.
Hingga saat ini pemerintahan Gus Dur relatif mampu mengendalikan gejolak sosial. Kelompok yang menginginkan Gus Dur mundur dari jabatan presiden tidak mudah memobilisasi massa. Bila tahun ini atau tahun depan El Nino datang mengancam, sementara kondisi sosial ekonomi belum berubah, maka kerawanan sosial dikhawatirkan akan meningkat. Bila hal ini terjadi, sulit diatasi karena jumlah pengangguran terlalu banyak. Sebagian mereka akan panik karena perekonomian yang suram.
Antisipasi
Perhatian Pemerintah, terutama jajaran Departemen Pertanian, terhadap ancaman El Nino begitu besar. Berbagai tim telah dibentuk dan berbagai program telah pula dibahas untuk mengantisipasi dampak negatif El Nino. Sayangnya, program antisipasi terlalu fokus pada upaya mengatasi kemungkinan terjadinya kelangkaan pangan. Bila El Nino hanya terjadi satu musim, ancamannya tidak terlalu berat karena pasokan beras dalam negeri relatif cukup. Pasokan beras dunia juga cukup aman, bahkan harganya cenderung turun, saat ini berkisar 170-180 dollar Amerika per ton.
Akan tetapi, bila El Nino datang beruntun, seperti kejadian tahun 1960-an, maka kelangkaan pangan akan terjadi. Untuk ini perlu program-program khusus dengan strategi yang mantap. Masalah pengangguran perlu mendapat prioritas dan diatasi sejak dini.
Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) harus dipersiapkan dari awal, agar dapat dilaksanakan secara baik, dan rakyat yang paling menderita dapat tertolong. Pemerintah harus segera “turun kebawah”, untuk mengajak petani dan masyarakat secara bersama-sama (participatory approach) untuk mengantisipasi masalah karena Pemerintah sendirian tidak akan mampu.
Dr Sirman Purba, Peneliti pada Pusat Penelitian Tanaman Pangan Jalan Merdeka No 147, Bogor 16111
Sumber: Kompas, Minggu, 4 Maret 2001