Sungguh miris mencermati percakapan di media sosial saat ini, ketika saling hujat sudah makin menjadi-jadi. Kabar palsu atau hoax, bahkan fitnah keji bertebaran. Meski sulit dibuktikan kebenarannya dan menenggelamkan akal sehat ada saja yang percaya, bahkan mengirim ulang ke mana-mana.
Ini bisa menjadi tanda-tanda awal perpecahan serius jika tidak ada yang bisa meredamnya. Kondisi seperti ini, ke depan akan semakin parah karena para pemilik modal raksasa terus saja mencari celah peluang bisnis dalam bidang ICT, tidak peduli jasa layanannya akan digunakan seperti apa. Ketika peluang di darat dan laut dibatasi wilayah teritorial suatu negara, maka antariksa dan langit atas masih memberikan peluang besar.
Tidak terbayangkan selama kurun waktu 2017-2019 perusahaan SpaceX berambisi ”mengerudungi” Bumi dengan 4.425 buah satelit internet berkecepatan tinggi. Ini artinya, ketika menara BTS (base transfer station) di darat sulit menjangkau kawasan yang tidak ekonomis, satelit orbit rendah itu yang akan menjadi jawaban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Belum termasuk One Web yang 2018 akan meluncurkan 648 satelit untuk melayani kawasan terpencil dengan akses internet lebih cepat dan lebih murah. Inilah gambaran global yang akan memperlancar akses ke dunia maya. Kondisi itu masih diperkuat dengan penetrasi satelit atmosfer atau atmosat, satelit yang beredar di wilayah udara langit atas yang jaraknya jauh lebih dekat dengan permukaan Bumi.
Geliat ini juga memengaruhi Indonesia, di mana para operator seluler besar,Telkomsel, Indosat, dan XL, bahkan sudah menjalin kerja sama dengan Google dalam uji coba Project Loon untuk mendukung Indonesia Broadband Plan 2014-2019. Proyek yang berupa konstelasi balon udara berisi helium ini melayang statis di ketinggian 20 kilometer atau wilayah stratosfer yang tidak dilintasi lalu lintas penerbangan.
Balon yang bisa menggantikan 100 BTS di kawasan tak terjangkau ini, bagaimanapun juga akan menjadi bagian Proyek Palapa Ring yang selama ini diharapkan menjadi infrastruktur ICT andalan Indonesia. Selain menggelar jaringan serat optis di laut dan darat, serta diintegrasikan dengan satelit, kehadiran satelit balon merupakan komplemen yang sangat melengkapi.
Selain pesawat tanpa awak aerostatik berupa balon, sebenarnya Google juga memiliki drone aerodinamik berupa pesawat solar sel setelah mengakuisisi Titan Aerospace 2014 lalu. Dibandingkan dengan satelit orbit rendah, atmosat dipandang lebih murah membuatnya ataupun peluncurannya, selain lebih ekonomis dan fieksibel dalam pengoperasiannya.
Tidak heran apablia Facebook bermimpi menerbangkan 11.000 pesawat tanpa awak untuk membuat jaringan internet di Benua Afrika, setelah tahun lalu sukses dalam uji coba atmosatnya. Raksasa-raksasa ICT itu sebenarnya memanfaatkan peluang bisnis setelah Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sukses menerbangkan Pathfinder pada ketinggian 15 kilometer selama 24 jam nonstop tahun 1995.
Sementara kaum muda negeri ini mencoba dengan ekspedisi menembus langit pada 28 Oktober lalu di Balai Uji Teknologi dan Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Lapan, Pameungpeuk Garut, Jawa Barat. Sekalipun upaya menembus langit pada ketinggian 30 kilometer dengan unmanned aerial vehicle (UAV) AiXl hanya mampu mencapai sepertiganya, ini merupakan pengalaman sangat berharga.
Pameungpeuk di Pantai Selatan Garut selama ini dikenal sebagai pusat uji coba peluncuran roket Lapan. Misi kali ini berbeda, bukan peluncuran roket, tetapi drone yang diangkat dengan balon cuaca menuju langit atas.
Sekalipun drone hanya diterbangkan dan kembali ke pangkalan, uji coba ini sangat penting. Drone yang bekerja di lapisan stratosfer memiliki peran yang sangat panting, bukan sekadar untuk komunikasi saja, tetapi juga bisa berperan sebagai perangkat memonitor wilayah perbatasan, pembalakan liar, pencurian ikan, pemantau titik api kebakaran hutan, ataupun bencana lain di kawasan terpencil.
Sebagai negeri dengan ribuan pulau dan hamparan lautan luas, maka teknologi ini harus dikuasai. Ini mestinya lebih menantang, dan berdampak positif bagi masyarakat. Sayang sekali bila energi yang ada hanya dihabiskan untuk ”cakar-cakaran” dan tetap menjadi konsumen teknologi para pemilik modal.
Oleh AW SUBARKAH
Sumber: Kompas, 14 Desember 2016