Organisasi perlindungan hewan, PETA, menyoal eksploitasi luwak atau musang sebagai penghasil kopi bernilai tinggi. Hasil investigasi mereka terhadap produsen kopi luwak di Filipina dan Indonesia menunjukkan, luwak yang dikandangkan dari alam diperlakukan tidak layak.
Para aktivis yang berbasis di Hongkong itu juga menyoal pencantuman kata-kata yang intinya ”berasal dari luwak liar” di kemasan kopi luwak. Itu dinilai bentuk penipuan karena biji kopi dihasilkan dari luwak yang dikandangkan, bukan luwak liar.
”Investigasi kami di desa-desa di Indonesia dan Filipina, negara yang menghasilkan kopi luwak terbesar di dunia, menunjukkan bagaimana luwak hidup di kandang sempit dan kotor serta tidak layak,” kata Jason Baker, Wakil Presiden Operasi Internasional People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), Kamis (17/10), di Jakarta. Atas temuan ini, ia telah memberi tahu Kementerian Perdagangan. Di sisi lain, ia mengajak konsumen mendukung penghentian praktik itu.
Dalam konferensi pers, PETA menunjukkan rekaman video berisi perilaku stres luwak di dalam kandang. Perilakunya terus-menerus berputar di dalam kandang, menggigit-gigit jeruji kandang, dan mengayun-ayunkan kepala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil wawancara PETA terhadap sejumlah petani kopi luwak menemukan informasi bahwa luwak dilepas kembali setelah tiga tahun dikandangkan. Itu dinilai terlalu lama dan membuat satwa tak bertahan di alam.
Lebih lanjut Baker menyebutkan, luwak yang biasanya memperoleh buah kopi matang dengan cara memanjat pohon malah dikandangkan. Bahkan, hewan itu dipaksa mengonsumsi buah kopi berlebihan. Padahal, luwak atau musang membutuhkan variasi makanan lain, seperti daging atau buah-buahan.
Terkait tudingan itu, M Teguh Pribadi, Bendahara Asosiasi Kopi Luwak Indonesia (AKLI), tak menampik temuan tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa praktik itu tak dijalankan semua produsen kopi luwak.
Rencana sertifikasi
Saat ini, pihak AKLI masih menunggu persetujuan sertifikat standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) produk kopi luwak dari Kementerian Pertanian. Teguh memastikan dalam SKKNI dicantumkan syarat kesejahteraan hewan/luwak yang dipekerjakan.
Ia mencontohkan, minimal ukuran kandang bagi luwak adalah 2 meter x 1 meter dengan tinggi 2 meter. ”Dalam sehari, luwak membutuhkan makanan sekitar 5 kilogram, 2 kilogram di antaranya biji kopi. Lainnya aneka buah dan daging,” kata Teguh. Dari 1 kilogram kopi yang dikonsumsi, hanya dihasilkan 0,3-0,4 kilogram biji kopi.
Teguh mengatakan, pemberlakuan standar itu juga untuk menghentikan praktik pengoplosan kopi luwak dengan kopi biasa. Terkait tudingan penipuan produsen kopi luwak dengan mencantumkan
”berasal dari luwak liar” di kemasan, ia berbeda pandangan.
”Semua luwak itu diambil dari alam liar. Setahu saya belum bisa diternakkan atau dibudidayakan,” ujarnya.
Kopi luwak dihasilkan dari buah kopi yang dikonsumsi luwak. Feses luwak berupa biji kopi itulah yang kemudian diolah menjadi minuman kopi premium.
Di dunia internasional, kopi luwak menjadi terkenal saat ditayangkan dalam Oprah Winfrey Show dan film The Bucket List. Di restoran di Inggris, satu cangkir kopi luwak seharga sekitar Rp 800.000.
Di Indonesia, harga per cangkir kopi luwak arabika di kedai kopi di Aceh sekitar Rp 60.000, sedangkan kopi arabika biasa Rp 20.000. Adapun bubuk kopi luwak arabika kemasan 100 gram seharga 30 dollar AS (sekitar Rp 300.000) dan kopi arabika biasa 3 dollar AS (Rp 30.000). (ICH)
Sumber: Kompas, 18 Oktober 2013