Keelokan panorama Kepulauan Derawan ibarat lampu terang pengundang laron. Di sana, tempat pengunjung bisa melihat langsung penyu berenang bebas di bawah cottage berbentuk panggung, berdiri puluhan penginapan dan operator wisata selam berikut jasa pemandu yang siap melayani wisatawan. Di sana pula nasib warga; jadi penonton atau aktor.
Kampung yang semula sepi beranjak ramai pengunjung yang menggerakkan roda ekonomi. Perubahan itu pun ingin dirasakan masyarakat di tempat lain yang juga memiliki destinasi wisata tak kalah unik, seperti sedang diupayakan masyarakat Kampung Teluk Sulaiman di Kecamatan Biduk-biduk di kawasan Taman Pesisir Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Mereka memiliki Pulau Sigending, ”surga” kecil nan elok menggoda.
Meski berukuran kecil, 1,2 hektar, pulau yang bisa dicapai dalam waktu 10 menit dengan perahu kecil dari dermaga kampung itu kaya pemandangan alam. Sepanjang jalan, pengunjung disuguhi eksotisnya ekosistem mangrove yang tumbuh di perairan nan jernih kebiruan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saking beningnya, perairan itu bagaikan cermin bersih yang pantulan gambarnya pelan-pelan memudar seiring gelombang kecil yang muncul setelah kapal melintas. Rimbunan mangrove itu rumah bagi monyet hidung panjang atau bekantan yang biasa bermain-main di pinggir pantai setiap pagi tiba.
”Pulau ini memiliki ekosistem yang lengkap. Ekosistem mangrove, lamun, hingga terumbu karang ada di Sigending,” kata Anisa Budiayu, Manajer Program Kelautan The Nature Conservancy Indonesia (TNC) di Berau, pertengahan Desember 2014.
Dedaunan lamun yang menjulur ke atas dari dalam perairan menjadi pakan bagi penyu hijau dan penyu sisik. Penyu-penyu berukuran 40 sentimeter hingga 1 meter menjadi pemandangan umum.
Di sana, ada pula satu kawasan perairan berpasir yang dipenuhi aneka bintang laut berwarna biru, berduri, juga bintang laut kecil berwarna merah-krem. Belum lagi ekosistem terumbu karangnya yang, setelah pulih dari aktivitas pengeboman ikan, kini telah dihuni berbagai jenis karang masif dan sponge lengkap dengan berbagai jenis ikan warna-warni.
Diincar investor
Meski pulau ini berada di paling selatan Taman Pesisir Kepulauan Derawan dan berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur, pesona Sigending tak luput dari incaran investor yang ingin mendirikan resor di tengah pulau.
”Belum lama ini ada investor masuk. Setelah melihat paparannya, kami menolak karena masyarakat tak mendapatkan apa-apa. Hanya jadi pekerja kasar di resor. Kami tidak ingin seperti di Derawan, warga hanya jadi penonton, bahkan tamu,” kata Risno Kiay, Sekretaris Kampung Teluk Sulaiman.
Selain Sigending, desa tetangga yang masih dalam satu Kecamatan Biduk-biduk, yaitu Kampung Labuan Kelambu, memiliki obyek wisata Labuan Cermin. Lokasi wisata yang biasa disebut Danau Dua Rasa itu bisa ditempuh sekitar enam jam jalan darat dari Tanjung Redeb, ibu kota Berau.
Desa-desa di Biduk-biduk dihubungkan jalan aspal yang relatif mulus meski pertengahan Desember lalu terdapat perbaikan jembatan dan gorong-gorong. Selama perjalanan, kanan-kiri jalan terdapat pohon kelapa setinggi lebih dari 20 meter yang serasi dengan latar langit biru cerah. Sungguh pemandangan indah.
Labuan Cermin merupakan cekungan di antara perbukitan karst dengan laut yang menghasilkan ”danau dua rasa”. Pada bagian atas terdapat lapisan air tawar yang dihasilkan dari bukit karst, sedangkan pada bagian bawah merupakan air asin dari laut.
Keterlibatan warga
Obyek wisata berair bening yang dikunjungi hingga 8.000 orang pada libur hari raya Idul Fitri itu dikelola mandiri oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Labuan Cermin (Lekmalamin), organisasi pemuda di Kampung Labuan Kelambu. Mereka tak menarik retribusi, hanya mengandalkan pendapatan potongan Rp 30.000 dari tarif sewa kapal sebesar Rp 100.000 yang mengantar warga dari permukiman ke Labuan Cermin.
Bersumber dari pendapatan itulah, Lekmalamin melengkapi Labuan Cermin dengan berbagai fasilitas, seperti kamar ganti, serta merintis penginapan sederhana. Selain itu, berbekal Surat Ketetapan Bupati untuk melindungi 2.000 hektar hutan setempat, sejak tahun 2014, Lekmalamin menyediakan jalur berjalan kaki (trekking) sejauh 1,4 kilometer.
”Tambahan atraksi ekowisata ini biasanya digemari wisatawan-wisatawan mancanegara,” kata Untung Jaelani, Ketua Lekmalamin.
Geliat inisiatif masyarakat pun terasa di Kampung Tanjung Batu, ”pintu gerbang” penyeberangan wisatawan yang bisa ditempuh dua jam perjalanan darat dari Tanjung Redeb sebelum menyeberang ke Pulau Derawan atau pulau lain. Mereka hendak mengelola 1.500 hektar dari total 2.000 hektar hutan mangrove setempat yang berstatus areal penggunaan lain (APL) sebagai atraksi wisata.
”Kami sudah studi banding wisata mangrove di Bedul (Banyuwangi) dan Bali. Kami ingin Tanjung Batu tidak hanya dilewati wisatawan ke Derawan. Biar wisatawan juga bisa menikmati mangrove di sini,” kata Jorjis, Kepala Kampung Tanjung Batu.
Nilai jual mangrove setempat ada pada keberadaan mangrove jenis Camptostemon philippinense yang di dunia ini diperkirakan tinggal 2.500 individu. Selain itu, mangrove setempat juga menjadi rumah bagi berbagai fauna bekantan, monyet hitam, burung, ular, dan buaya.
Inisiatif masyarakat untuk mengelola seperti itu merupakan modal bagi pemerintah guna memaksimalkan pemanfaatan destinasi wisata setempat berbasis masyarakat. Selain itu, seiring masyarakat merasakan pundi ekonomi dari ekowisata, alam pun akan terjaga keberlanjutannya demi mengalirnya gelombang wisatawan ke daerah.
Pendampingan yang tepat dapat menempatkan warga lokal sebagai pemeran utama pembangunan daerah, sekaligus kesejahteraan mereka. (ICHWAN SUSANTO)
Sumber: Kompas, 6 Januari 2015