Presiden Joko Widodo ingin menjadikan inovasi sebagai penggerak ekonomi dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, inovasi belum jadi bagian budaya bangsa.
KOMPAS/MUCHAMAD ZAID WAHYUDI–Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gatot Dwianto (kiri), Sekretaris Utama BPPT Dadan Moh Nurjaman (tengah) dan Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Soni Solistia Wirawan memberikan keterangan kepada media di Jakarta, Kamis (5/12/2019) terkait rencana penyelenggaraan BPPT Innovator Award dan BPPT Innovation Day pekan depan.
Banyaknya riset, publikasi, dan paten tidak akan menjadi pengungkit ekonomi selama tidak bisa dihilirisasi menjadi produk inovasi yang mampu dikomersialisasi. Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan ekosistem inovasi yang kuat dan saling mendukung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gatot Dwianto di Jakarta, Kamis (5/12/2019), mengatakan selama ini, Indonesia fokus memperbanyak riset yang memang tertinggal di banding banyak negara maju.
Namun, “Kita lupa memikirkan membangun ekosistem inovasi,” katanya. Tanpa ekosistem yang mendukung, lahirnya produk-produk inovasi asli Indonesia yang mendunia dan munculnya perusahaan pemula berbasis teknologi (PPBT) yang mampu menyerap tenaga kerja akan tetap sulit diwujudkan.
Salah satu yang paling menghambat, lanjut Gatot, adalah aturan yang rumit, tumpang tindih, bahkan menghambat lahirnya inovasi dan berkembangnya PPBT. Berbagai aturan yang tak mendukung dan jadi keluhan peneliti, perekayasa, PPBT dan industri itu perlu dibedah dan dicari solusinya.
Cinta inovasi
Untuk mendukung pembentukan ekosistem inovasi, pembangunan pusat riset, kawasan sains dan teknologi lengkap dengan inkubator bisnisnya, meningkatkan jumlah dan meregenerasi peneliti dan perekayasa, atau peningkatan anggaran riset memang dibutuhkan.
Namun persoalan membangun pasar yang akan menggunakan produk-produk inovasi anak bangsa itu sering terabaikan. Persoalan pasar itu membuat banyak inovasi anak bangsa yang bernilai tinggi, seperti gandum tropika, telepon pintar hingga mesin-mesin industri tidak laku di pasaran.
“Semangat cinta produk inovasi Indonesia perlu dibangun,” kata Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi secara terpisah.
Selama ini, bangsa Indonesia sangat mudah terkagum dengan karya inovasi bangsa lain dan sering memandang rendah karya inovator lokal. Sepanjang kebanggaan terhadap karya anak bangsa itu tidak dibangun, Indonesia tetap akan jadi pengikut dan konsumen produk-produk negara lain.
Bambang menambahkan, pengalaman banyak negara menunjukkan, kebanggaan atas produk teknologi bangsa sendiri, meski kualitasnya di masa awal belum sempurna, jadi awal berkembang dan berlanjutnya inovasi bangsa. Pejabat negara maupun program pemerintah bisa dijadikan teladan dalam penggunaan produk-produk lokal.
Karena itu, tawaran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan kandungan komponen dalam negeri tertinggi harusnya yang dimenangkan meski kualitasnya lebih rendah dibanding produk yang impornya tinggi. “Namun, harus ada regulasi yang mengaturnya,” kata Gatot.
Pembelaan atas produk-produk dalam negeri juga akan mendorong lahirnya teknopreneur-teknopreneur baru. Terlebih, pemerintah telah menargetkan pembentukan 3.500 teknoprenuer antara 2020-2024. (Kompas, 27/8/2019)
Persoalannya, inkubator bisnis yang ada saat ini baru sekitar 120-130 buah. Inkubator bisnis teknologi dengan klasifikasi A pun baru delapan buah, satu dikelola BPPT dan tujuh dikelola perguruan tinggi.
Menurut Gatot, pendampingan teknopreneur dan PPBT potensial dan berkualitas perlu terus dilakukan hingga mereka bisa berkembang menjadi perusahaan besar yang mandiri. Pendampingan tidak hanya sampai mereka lulus dari inkubator, tapi juga setelah lepas dari inkubator untuk mempercepat perkembangannya.
Berbagai aturan yang mendukung ekosistem inovasi itu juga diperlukan untuk menjaga keberlanjutan inovasi. Sebuah produk inovasi mulai dari perancangan hingga benar-benar bisa dipasarkan membutuhkan waktu 20-30 tahun. Kondisi itu menuntut adanya kebijakan yang konsisten, tidak berubah-ubah saat rezim berganti.
“Komitmen riset dan inovasi itu juga harus dihidupkan dari pusat hingga daerah karena keduanya terbukti mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat,” kata Bambang.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 6 Desember 2019