Terkendala Aturan, Industri Keuangan Belum Mendukung
Semua pihak harus bekerja sama untuk mewujudkan ekosistem industri kreatif berbasis teknologi digital. Dibutuhkan waktu tiga hingga lima tahun agar ekosistem itu terwujud sehingga muncul perusahaan berbasis digital Indonesia yang bisa bersaing di pasar global.
CEO dan pendiri Bubu Internet, yang juga Ketua Komite Tetap untuk Telekomunikasi Teknologi Informasi dan Media Khususnya Cetak dan Daring Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Shinta Witoyo Dhanuwardoyo, pekan lalu, kepada Kompas mengatakan, ekosistem industri digital di Indonesia belum terbentuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Hanya beberapa inkubator yang sudah terbentuk. Kita kalah dengan Malaysia dan Singapura,” katanya. Industri digital itu menghasilkan setidaknya beberapa produk, seperti animasi, gim, dan aplikasi.
Namun, ia yakin apabila semua pihak bekerja keras, dalam lima tahun, dan bisa dipercepat menjadi tiga tahun, ekosistem yang terdiri dari anak-anak berbakat, inkubator, lembaga jasa keuangan, dan perusahaan jasa penunjang industri digital akan terbentuk dan saling terkait.
”Apabila tidak terbentuk, kita hanya akan menjadi buruh digital bagi pemain-pemain dari negara lain,” katanya.
Sementara itu, industri kreatif digital dalam negeri masih kesulitan menggalang dana publik karena kerap terbentur oleh aturan.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) Hari Sungkari mengatakan, dibutuhkan waktu 5-10 tahun bagi industri digital untuk bertumbuh. Saat ini industri digital masih sulit menggalang dana.
Untuk masuk ke lantai bursa (IPO), perusahaan digital kreatif masih dikenai aturan sama dengan industri pada umumnya. Aturan mengenai aset minimum dinilai cenderung memberatkan, yaitu Rp 100 miliar. Kemudahan aturan bagi usaha skala menengah, yaitu aset minimum Rp 5 miliar, juga dinilai masih berat.
”Kebanyakan pelaku usaha digital hanya bermodalkan kamar kos dan komputer. Karena itu, sulit bagi mereka mengembangkan ide kreatif jika harus mengikuti aturan mengenai aset minimum,” ujar Hari.
Ia menambahkan, untuk mengembangkan industri kreatif berbasis digital, pemerintah perlu memberi dukungan lebih. Hari mencontohkan, sebagian negara di Asia berhasil menjadikan usaha kreatif maju setelah memberikan dukungan penuh bagi pelaku industri. Ia mencontohkan, K-Pop dan film-film Korea dengan cepat mendunia setelah pemerintahnya mengatur agar diberi ruang bagi suguhan lokal di televisi pada waktu utama. Begitu pula pemerintah di Malaysia membiayai tayangan kartun Upin Ipin hingga 26 episode dan mendukung pemasarannya hingga dikenal secara internasional.
Pemilik Tari Multimedia, Ferie Budiansyah, menambahkan, pemerintah perlu membangun bursa khusus bagi industri bernilai aset rendah. Dengan demikian, usaha digital bisa tumbuh melalui penggalangan dana publik. Saat ini baru sebagian kecil perusahaan digital mendapat suntikan dana setelah diambil alih oleh perusahaan besar.
Saat ini, MIKTI bekerja sama dengan PT Telkom tengah membangun 20 pusat kreatif (creative camp) di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pusat ini menjadi tempat para pemula dalam industri kreatif berbasis digital untuk mengembangkan idenya dan berbagi.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membangun pusat-pusat inkubator bagi anak- anak muda yang siap mengembangkan idenya.
Direktur Digital Creative Camp Andriansyah mengatakan, dari 20 lokasi itu, yang sudah berjalan di Bandung dan Yogyakarta. Pusat kreatif lainnya akan segera dibuka di Solo, Jakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Balikpapan, Riau, Medan, Palembang, dan Makassar. (ITA/SF/MAR)
Sumber: Kompas, 19 Mei 2014