Dibandingkan evolusi strain virus baru, perubahan ekologi yang berpengaruh terhadap hilangnya habitat hutan kelelawar lebih merupakan faktor kunci dari kemunculan virus Nipah.
Kemunculan virus Nipah pertama kali terjadi sekitar 23 tahun lalu. Kejadiannya berlangsung di lingkungan peternakan babi di Kampung Sungai Nipah, Negara Bagian Perak, Malaysia. Di awal wabah, sejumlah anggota keluarga peternak babi di kampung itu meninggal tanpa diketahui sebabnya. Penyakit menyebar di tiga negara bagian, yakni Perak, Negeri Sembilan, dan Selangor, September 1998-Mei 1999.
Dari 265 kasus yang mengarah pada gejala radang otak akut, 105 meninggal dengan tingkat kematian 40 persen. Penyidikan menunjukkan 92 persen dari orang yang menderita sakit memiliki riwayat kontak atau terpapar dengan babi. Tingkat kesakitan pada babi akibat virus Nipah tinggi, tetapi tingkat kematian rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk memadamkan wabah, Pemerintah Malaysia memusnahkan lebih dari satu juta ekor babi dengan mengerahkan petugas militer. Kerugian besar bagi negara ini karena mengakibatkan hancurnya perdagangan dan industri babi lokal.
Sejak kejadian ini, virus Nipah dianggap sebagai zoonosis baru muncul (emerging zoonosis) yang mungkin saja di masa depan bisa menimbulkan ancaman besar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Reservoir kelelawar
Wabah Nipah di Malaysia adalah contoh di mana terjadi pelimpahan keluar (spillover) virus secara tak langsung dari kelelawar ke orang, yang melibatkan inang perantara, yaitu babi. Bukti terjadi pelimpahan keluar virus didukung bukti epidemiologis dan molekuler.
Kelelawar juga dianggap sebagai penyebar virus Nipah di Bangladesh dan India yang muncul setelah wabah di Malaysia pada 2001, tetapi babi tak punya peran seperti di Malaysia. Wabah Nipah dilaporkan terjadi hampir setiap tahun di Bangladesh (2001-2013) dan secara periodik di India (2001, 2007, 2018, dan 2019). Wabah paling mengkhawatirkan terjadi di Kerala, India, pada 2018-2019, yakni ada 23 penderita, 21 meninggal, dengan tingkat kematian 91 persen.
Sebagian besar korban adalah anak-anak yang terindikasi makan buah kurma yang telah digigit kelelawar. Namun, dalam wabah di kedua negara ini, terutama di India, ditemukan juga penularan dari orang ke orang, dengan beberapa pekerja kesehatan yang menangani anak-anak ikut jatuh sakit.
Konsumsi nira kurma mentah yang terkontaminasi virus dari kelelawar buah dianggap sebagai sumber utama infeksi virus Nipah pada manusia di Bangladesh. Virus ditemukan pada air liur, urine, dan kotoran kelelawar, tetapi kelelawar tetap tak terpengaruh oleh infeksi.
Kejadian wabah bersamaan dengan musim pengumpulan nira kurma yang dijadikan minuman yang disukai anak-anak di perdesaan. Antibodi terhadap virus Nipah umumnya terdeteksi pada kelelawar buah di daerah-daerah di mana terjadi wabah.
Indonesia memiliki banyak spesies kelelawar buah. Namun, sampai saat ini, hanya beberapa dari spesies ini yang telah diambil sampelnya untuk pemeriksaan virus Nipah. Deteksi antibodi dan molekuler virus Nipah pada kelelawar buah di sejumlah daerah di Indonesia memberikan sinyal bahwa kelelawar buah bisa bertindak sebagai inang potensial.
Untuk terjadinya pelimpahan keluar virus-virus terkait kelelawar diperlukan kombinasi berbagai faktor, meliputi peluang ekologi untuk melakukan kontak, kesesuaian reseptor antara virus dan inang, serta respons kekebalan.
Namun, terlepas dari hambatan potensial dan fakta bahwa ada banyak kejadian pelimpahan keluar virus yang tak terdeteksi, yang pasti pelimpahan keluar patogen zoonotik dari kelelawar terus terjadi sampai kini.
Pada saat virus Nipah muncul 1998, ada informasi terbatas tentang distribusi kelelawar di Semenanjung Malaysia. Peneliti Malaysia menyatakan ada kaitan antara deforestasi dan wabah virus Nipah. Mereka menganalisis berbagai data soal kebakaran hutan, kualitas udara, curah hujan, kekeringan, dan pola panen sawit sebelum dan saat wabah terjadi.
Dibandingkan evolusi strain virus baru, perubahan ekologi yang berpengaruh terhadap hilangnya habitat hutan kelelawar lebih merupakan faktor kunci dari kemunculan virus Nipah. Populasi kelelawar yang berada di bawah tekanan ekologis akan mendorong perubahan pola mencari makan, perilaku migrasi, dan kedekatan kelelawar dengan populasi manusia.
Perubahan ekologi yang memicu wabah Nipah menghubungkan satwa liar (kelelawar), ternak (babi), dan manusia. Segitiga kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan (One Health) menjadikan wabah Nipah sebagai contoh dari apa yang telah kita istilahkan sebagai epidemi antroposen. Suatu keadaan yang bermula ketika aktivitas manusia mulai memiliki pengaruh ke ekosistem bumi.
Prediksi pandemi
Patogen zoonosis seperti virus Nipah yang mematikan, yang telah melintasi hambatan spesies dan dapat menular dari orang ke orang meski terbatas, dianggap mengkhawatirkan dunia karena dapat berkembang menjadi lebih mudah menular dan akhirnya menyebabkan wabah atau pandemi besar.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memfokuskan sumber daya bagi upaya mencegah peluang patogen seperti virus Nipah yang mampu melimpah keluar dari satwa liar dan ternak untuk menginfeksi dan lebih beradaptasi ke manusia.
Studi di Bangladesh menunjukkan strain virus Nipah terus berevolusi. Studi lebih lanjut soal keberagaman genetik dan karakteristik molekuler dari strain virus Nipah pada kelelawar dan manusia, penting dalam upaya mengetahui kemampuannya dalam menyebabkan infeksi, menilai potensi epidemik pada manusia, dan membantu seleksi kandidat vaksin.
Virus yang ditularkan kelelawar ditemukan di seluruh dunia, tetapi upaya surveilans dan pengambilan sampel berlangsung tambal sulam. Kemungkinan banyak inang virus Nipah yang kompeten belum teridentifikasi.
Perlu dirancang suatu penelitian yang lebih sistematis tentang ciri-ciri spesies kelelawar yang diketahui membawa virus Nipah. Sekaligus meneliti pola makan, makanan yang disukai, perilaku migrasi, rentang geografis, dan reproduksi kelelawar. Termasuk meneliti kondisi lingkungan di mana kemungkinan pelimpahan keluar virus terjadi.
Surveilans populasi kelelawar berisiko tinggi dapat memberikan peringatan dini bagi otoritas kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat untuk mengambil tindakan preventif sebelum wabah terjadi.
Tri Satya Putri Naipospos Ketua 2 Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia.
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 24 Februari 2021