“Saya kira sudah bisa diduga. Beberapa karya yang lain memang bagus sekali,” tulis Eka Kurniawan melalui pesan singkat, pertengahan April lalu. Itu tanggapan dia tentang pengumuman seleksi tahap lanjut kandidat novel penerima anugerah Man Booker International Prize 2016.
Maret lalu, The Booker Prize Foundation, penyelenggara anugerah itu mengumumkan daftar panjang 13 novel kandidat penerima penghargaan fiksi dalam terjemahan bahasa Inggris. Novel Man Tiger (versi bahasa Inggris dari Lelaki Harimau) karya Eka Kurniawan adalah salah satunya.
Novel yang diterjemahkan oleh Labodalih Sembiring itu tak masuk dalam daftar pendek berisi enam kandidat yang diumumkan pertengahan April lalu. Dalam daftar itu, ada karya pemenang nobel sastra asal Turki, Orhan Pamuk, A Strangeness in My Mind. Ada pula novel A General Theory of Oblivion karya Jose Eduardo Agualusa dari Angola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyelenggara menyebutkan lima dari enam kandidat baru pertama kali masuk daftar mereka. Eka, di daftar 13 besar, juga baru pertama kali dinominasikan di ajang tersebut. Ia adalah novelis pertama Indonesia yang karyanya masuk nominasi long list.
“Saya baru di level 13 besar. Masih butuh perjalanan (mungkin panjang) untuk berada di posisi terbaik di tingkat global,” lanjut Eka.
Hampir bersamaan dengan pengumuman nominasi 13 besar itu, novel Eka lainnya, Beauty is a Wound (terjemahan dari Cantik itu Luka oleh Annie Tucker), memenangi penghargaan World Readers’ Award 2016. Penyelenggaranya adalah Asosiasi Penerjemah dan Penulis Asia Pasific.
Cantik itu Luka adalah novel debut Eka dengan tebal nyaris 600 halaman yang pertama kali terbit tahun 2002. Novel itu dibuka dengan kalimat, “Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.”
Pembuka itu seperti berbicara banyak hal. Ia langsung mengenalkan tokoh sentral, yaitu perempuan teramat cantik bernama Dewi Ayu. Kalimat itu juga menyiratkan nuansa horor. Mengaduk kecantikan dan kengerian (horor) adalah gaya yang digemari Eka.
“Saya mengadopsi grotesque (kejanggalan), lalu membalutnya dengan humor. Seperti Don Quixote (novel karya Miguel de Cervantes) membalut tragedi dengan humor,” kata Eka saat menyambangi kantor penerbitnya di Jakarta. Nuansa demikianlah yang bakal ditemui pembaca di cerita-cerita karangannya.
Eka kerap disandingkan dengan penulis besar dunia. Ia disebut-sebut sebagai “anak literatur” dari Gabriel Garcia Marquez, penerima nobel sastra asal Jerman Gunther Grass, dan novelis kontroversial Salman Rushdie. TheNew York Review of Books ketika mengulas terjemahan Cantik itu Luka menyematkan julukan itu.
Eka menganggapnya wajar, tetapi bukannya jemawa karena sejajar dengan nama-nama besar itu. “Itu (memperbandingkan) memang kebiasaan media barat ketika membaca penulis yang baru mereka kenal. Itu hal yang sangat umum. Ketika Rushdie muncul, ia juga dibandingkan dengan Grass,” katanya.
Bagaimanapun Eka merasa mendapat apresiasi atas karyanya. Bagi dia, disejajarkan dengan penulis besar juga sebuah tantangan: apakah benar ia ada di level yang sama atau tidak.
Yang jelas, pembacanya kini makin banyak. Itu terlihat dari ratusan orang yang mengantre mendapat tanda tangannya pada peluncuran novel teranyar, O, di sebuah mal terbesar di Jakarta, pertengahan Maret lalu. Ia belum pernah meluncurkan buku di tempat se-kinclong itu.
Novel keempat itu lahir ketika Eka sedang ada di pentas literatur internasional. Pembaca di dalam negeri juga bersemangat menyambut novel yang sedikit lebih tipis ketimbang novel perdananya. Eka merencanakan novel keempat ini sebaik mungkin. Proses penulisannya memakan waktu delapan tahun.
Ia merancang sendiri ilustrasi sampulnya yang bergambar monyet. Kali ini binatang berekor itulah yang jadi tokoh pokok. Novel itu adalah fabel dengan monyet, anjing, buaya, dan burung kakaktua sebagai karakter yang sama pentingnya dengan polisi jujur dan bintang dangdut.
Di novel itu, kejanggalan, tragedi, dan humor berjejalin makin seru. Cerita baru bisa menggelontor dari karakter baru dengan kisah yang sama mengasyikannya dengan plot utama. Salah satu kepingan cerita ia “lepas” menjadi novel ketiga, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, terbit 2014.
Cara bertutur dari kekuatan karakter itu disebut Eka juga ada di novel pujaannya, Lapar, karya novelis Norwegia, Knut Hamsun, tentang pemuda yang rela lapar demi keinginannya jadi penulis. Dari novel itulah jalan hidupnya ia putuskan: jadi penulis. “Padahal, waktu itu masih belum tahu, mau nulis apa. Namun, saya yakin ingin jadi penulis. Titik,” kata Eka dengan senyum tipis-tipis saja.
Horor dan silat
Ia membaca novel Lapar ketika kuliah di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Eka tidak mendalami sastra dari pendidikan formal. Akan tetapi, ia merasakan manfaat besar menggeluti ilmu filsafat. Bidang itu membuka lebar-lebar pemikirannya tentang banyak hal. Selain itu, berkuliah juga memungkinkan ia melahap karya sastra dunia di perpustakaan kampus.
Tumbuh dan besar di Tasikmalaya dan Pangandaran, Jawa Barat, Eka tak banyak bersinggungan dengan literatur dunia. Ia melahap novel horor dan silat, koleksi wajib di banyak persewaan buku di daerah itu.
Eka remaja larut dalam keseraman Abdullah Harahap, juga kelitan Asmaraman Kho Ping Hoo. Ia pun menggemari Bastian Tito yang mengarang seri silat pendekar konyol dan agak cabul, Wiro Sableng.
Cerita petualangan karya Gola Gong juga jadi kesukaannya. Ketika SMA di Tasikmalaya, Eka pernah dikeluarkan dari sekolahnya karena tiga bulan membolos demi bertualang.
Kombinasi kisah petualangan, silat, dan horor itulah yang memberi guratan khas pada tulisannya. Eka pun menambahkan kedisiplinan pada detail seperti yang ditunjukkan Pramoe-dya Ananta Toer, pujaannya. Ia juga menggemari novel-novel impor yang kurang dikenal (obscure).
Bekal itulah yang ia pakai menulis novel pertamanya, yang ia kerjakan selama dua tahun. Sebelumnya, ia menghasilkan kumpulan cerita pendek Corat-coret di Toilet berisi 10 cerita yang pernah dimuat di beberapa koran. Kumpulan cerpen itu dijual Rp 10.000 per eksemplar dan ada yang beli. “Itu memberi saya keberanian untuk menulis novel.”
Hingga kini, novel Cantik itu Luka telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa. Lelaki Harimau telah terbit dalam lima bahasa. Terjemahan bahasa Inggris dari novel ketiga sedang disunting. Walau tersisih dari Man Booker International Prize, Eka sepertinya sedang menikmati pilihan hidupnya: jadi penulis.
KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI
EKA KURNIAWAN
Lahir:
Tasikmalaya, 28 November, 1975
Pendidikan:
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Novel:
“Cantik itu Luka” (2002)
“Lelaki Harimau” (2004)
“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” (2014)
“O” (2016)
Kumpulan cerpen:
“Corat-coret di Toilet” (2000)
“Gelak Sedih” (2005)
“Cinta Tak Ada Mati” (2005)
“Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” (2015)
Beberapa penghargaan:
Global Thinkers 2015 dari Foreign Policy
Book of The Year 2015 dari IKAPI atas ”Lelaki Harimau”
World Readers’ Award 2016 atas ”Beauty is a Wound”
HERLAMBANG JALUARDI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2016, di halaman 16 dengan judul “Hanya Ingin Jadi Penulis”.