Memeriksa pasien lalu memberi tindakan medis adalah pekerjaan yang biasa dilakukan seorang dokter. Namun, jika sang dokter menggalang solidaritas untuk membiayai perawatan pasien-pasiennya, ini yang tidak biasa. Edi Setiawan Tehuteru melakukan keduanya selama bertahun-tahun.
Edi adalah dokter spesialis anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD), Jakarta. Sejak bekerja di rumah sakit itu tahun 2004, ia melakukan banyak hal yang melampaui pekerjaannya sebagai tenaga medis. Ia, misalnya, getol menggalang komunitas untuk menyosialisasikan bahaya kanker, cara pencegahan dan penanganannya, serta menghimpun dana untuk pengobatan pasien.
Berkat keluwesannya bergaul, terhimpun puluhan relawan dari kalangan artis, penyiar radio, komedian, mahasiswa, pengusaha, dan orangtua dari anak-anak penderita kanker. Agar aktivitas komunitas ini terlembagakan secara formal, Edi mendirikan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dana yang dihimpun oleh yayasan dari para donatur digunakan untuk membantu biaya pengobatan sejumlah anak-anak, pasien RSKD, yang mayoritas berasal dari keluarga tidak mampu.
Fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat seperti surat keterangan tidak mampu dan jaminan sosial (melalui BPJS) memang bisa membebaskan keluarga pasien dari sebagian besar tagihan biaya perawatan. Namun, kerap ada obat tertentu yang tidak masuk dalam tanggungan jaminan sosial sehingga keluarga pasien tetap harus membelinya sendiri.
Pria berdarah Ambon-Jawa ini berkomitmen mengurangi kecenderungan orangtua yang terpaksa memulangkan anaknya dari rumah sakit karena alasan biaya. Alangkah pilu hatinya jika ia mendengar orangtua pasien yang mengatakan, “Dok, izinkan anak kami pulang karena kami tak sanggup lagi membiayai perawatannya. Mungkin sudah nasib anak kami tak bisa dirawat tuntas lalu meninggal di rumah.”
“Hati Anda pun pasti terenyuh jika mendengar ucapan seperti itu,” ujar Edi saat ditemui di RSKD, beberapa waktu lalu.
Ada lagi masalah lain yang mesti dihadapi pasien yang membutuhkan darah. Pada bulan puasa, kata Edi, biasanya pasokan darah untuk perawatan pasien turun. Edi mencoba mengatasi hal itu dengan menghubungi sukarelawan yang bekerja sebagai penyiar radio. Kebutuhan darah diumumkan dari ruang siaran dan didukung penyebaran informasi lewat media sosial.
Cara ini cukup efektif untuk menggalang dukungan. Biasanya, diumumkan pagi, sorenya saat waktu berbuka puasa tiba sudah datang sekitar 10 calon donor ke RSKD untuk menyumbangkan darahnya.
Edi juga mengajak sukarelawan yang berlatar belakang psikolog untuk ikut memberikan pendampingan bagi pasien dan orangtuanya. Ia juga menerbitkan buku panduan menjalani kemoterapi. Secara rinci, melalui buku yang diterbitkan Yayasan Anyo Indonesia, Edi menguraikan cara mengenal kanker pada anak sejak dini.
Untuk pasien yang sulit tertolong karena kondisinya sudah telanjur parah, Edi membagi pengetahuan tentang kematian yang dianggap berkualitas. “Kematian yang berkualitas adalah kematian yang tidak menimbulkan penderitaan atau rasa sakit bagi pasien. Tidak kalah pentingnya lagi, rasa ikhlas dari keluarga untuk mengiringi kepergian pasien, tanpa ada rasa penyesalan,” begitulah Edi memberi nasihat.
Bagi masyarakat awam, vonis “kanker” pastilah mengerikan karena tidak jarang berujung pada kematian. Bisa dibayangkan apabila penyakit ini menerpa anak-anak yang belum bisa memahami keadaan. Belum lagi, efek samping dari kemoterapi yang telanjur memicu kecemasan pengidap.
Bapak dari pasien
Edi berupaya membuat anak-anak penderita kanker yang dirawat di bangsal anak RSKD merasa lebih nyaman. Karena itu, ia merintis bangsal yang ramah anak sekembalinya dari pelatihan pediatric oncology di Universitas Amsterdam, Belanda, 2006.
Anak-anak yang dirawat di bangsal anak dalam hitungan bulan, bahkan tahun, diupayakan tetap mendapatkan hak untuk belajar dan tumbuh kembang. Untuk keperluan tempat belajar, sebuah ruangan disulap seperti kelas dan perpustakaan. Meja, kursi, rak buku, dan tembok dicat warna cerah disertai gambar-gambar yang menyenangkan.
Di sela jadwal kemoterapi, anak-anak bisa betah bermain di ruangan itu. “Ini bagian dari hospital schooling. Anak-anak tetap mendapatkan hak belajar dalam masa tumbuh kembangnya,” ujar Edi.
Kebiasaan Edi untuk membuat pusat layanan medis lebih ramah memang sudah tampak ketika ia masih dokter umum. Tahun 1995-1998, sebelum mengambil pendidikan dokter spesialis anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edi pernah bertugas di Puskesmas Kelurahan Ancol, Jakarta Utara.
Tembok puskesmas yang bercat putih polos dihiasi dengan poster tentang beragam penyakit di daerah itu. Kain gorden yang tadinya biru kusam ia ganti dengan tirai aneka warna. Pasien dilayani dengan suasana tidak formal.
Suatu ketika, Kompas menyaksikan tindakan medis yang dilakukan Edi terhadap anak- anak penderita kanker berusia tujuh tahun di sebuah ruang khusus. Edi mengawali tindakannya dengan candaan. “Tidur yang pulas, ya. Ntar kalau udah mimpi ketemu bidadari, jangan lupa titip salam dari dokter, ya Nak,” begitulah ucapan Edi sebelum pembiusan untuk tindakan bone marrow puncture (BMP), sebuah prosedur pengambilan cairan sumsum tulang guna mendiagnosis sel kanker.
Karena terbiasa menempatkan diri sebagai orangtua pasien, pasien dan eks pasiennya pun lebih suka memanggilnya “daddy” ketimbang “dokter”. Pada acara bedah buku #Fight #Pray #Hope berkaitan dengan peringatan Hari Kanker Anak Internasional, 15 Februari lalu, sejumlah eks pasiennya memberikan testimoni untuk Daddy. Interaksi Edi bersama para pasiennya itu terangkum dalam buku karya Kennedy Jennifer Dhillon.
Nama Edi masyhur hingga mancanegara. Lima tahun lalu, pasangan suami-istri Burhanuddin Bella dan Umi Tjende dari Jakarta mencoba membawa anak mereka yang terkena kanker untuk berobat di Singapura. Seorang dokter ahli di National University Hospital Singapore, Prof Quach Thuan Chong, menyarankan mereka tidak perlu repot-repot berobat di luar negeri.
Sang profesor menyodorkan nama dokter Edi di RSKD. Alhasil, setelah ditangani oleh Edi dengan rangkaian kemoterapi selama 1-2 tahun, pasien yang bernama Rafly Dwi Marzuq (15) itu kini sudah sembuh total dan tercatat sebagai siswa berprestasi di SMP Negeri 19 Jakarta.
Meski kini masyhur sebagai dokter, Edi mengaku cita-citanya di masa kecil sebenarnya menjadi penerbang. Namun, impian itu kandas karena sejak di bangku SD dia sudah berkacamata.
Karena menyenangi pelajaran biologi dan tertarik pada aktivitas melayani manusia, ia akhirnya memilih jadi dokter. Mengapa kemudian ia mendalami kanker dan begitu paham kondisi psikologis keluarga pasien? Itu tidak lepas dari pengalamannya sewaktu merawat ibunya yang juga mengidap kanker hingga meninggal.
Apa yang dilakukan Edi untuk meringankan penderitaan anak-anak penyandang kanker dan keluarganya tidak selalu mendapat pujian dari orang lain. Tidak jarang, ia justru mendapat cibiran. Namun, Edi tidak mau ambil pusing. Ia terus berusaha memperjuangkan nasib anak-anak penderita kanker.
Ia benar-benar bapak bagi anak- anak penderita kanker.
EDI SETIAWAN TEHUTERU
Lahir:
Jakarta, 29 Mei 1967
Pendidikan/pelatihan:
Dokter Umum, Universitas Trisakti (1994)
Master of Hospital Administration, Universitas Indonusa Esa Unggul (1995)
Spesialis Anak, Universitas Indonesia (2003)
Pediatric Oncology Training Amsterdam Medisch Centrum, Universiteit van Amsterdam, Belanda (2006)
Bone Marrow Transplantation Course-Ospedale Microcitemico, University of Cagliari, Italia (2012-2015)
Keluarga:
Istri:
Risma Dame Riana Tambunan Tehuteru
Anak:
Ferdinand Immanuel Tehuteru
Frederick Gamaliel Tehuteru
Febrian Nathanael Tehuteru
Farreldi Yehezkiel Tehuteru
Pekerjaan:
Anggota Staf Medik Fungsional Onkologi Anak RSKD
Dosen Biomedik KekhususanOnkologi FK UI
Organisasi:
Pendiri Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia
Anggota International Children’s Palliative Care Network
Pengurus Perhimpunan Onkologi Indonesia
Editor Indonesian Journal Cancer
NASRULLAH NARA
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2016, di halaman 16 dengan judul “Bapak bagi Anak-anak Penderita Kanker”.