Maraknya para pemukim yang tinggal di daerah-daerah bantaran sungai di daerah perkotaan, termasuk di DKI Jakarta seperti di Kampung Melayu, Sunter, Cipinang dan sebagainya, semata-mata bukan salah para pemukim yang sering disebut ”liar” itu. Akibat kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintah seperti PLN, Telkom, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan sebagainya maka permukiman di bantaran sungai semakin hari semakin padat saja.
Ir Dyah Rahayu Pangesti Dipl HE, pakar sungai, mengemukakan hal itu, Selasa (6/6), di Jakarta dalam orasi ilmiahnya sebagai peneliti utama di Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Selama ini,makin luasnya pemukiman bantaran sungai sering dituding sebagai penyebab utama banjir Jakarta karena aliran air hujan yang seharusnya bisa langsung dibawa ke laut jadi tertahan dan melimpas ke daerah-daerah sekitarnya. Berdasarkan UU Pengairan sebenarnya daerah bantaran sungai, yaitu masing-masing lima meter dari kiri dan kanan sungai, terlarang untuk permukiman penduduk. ”Namun, bila tahu hal itu tidak dibenarkan, mengapa PLN memasang sambungan, listrik ke rumah-rumah di situ, PDAM memberikan fasilitas pelayanan air bersih, dan PT Telkom memasang sambungan telepon?” tanyanya.
Tidak hanya itu. Bahkan Kantor Pelayanan Pajak juga menetapkan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) terhadap bangunan di sana. Akibatnya, warga yang tinggal di daerah bantaran sungai yang rata-rata tingkat pendidikannya masih terbatas, merasa seolah-olah tak melanggar hukum karena mereka juga mendapat pelayanan umum yang sama dengan warga lainnya dari instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BARANGKALI Ir Dyah Rahayu Pangesti yang dilahirkan pada tanggal 27 November 1948 di Solo, Jawa Tengah, merupakan orang yang langka dalam bidangnya. Dalam tugasnya meneliti sifat sungai, Dyah, istri dari Isnadi, seorang Wiraswastawan, harus sering mendatangti sungai-sungai di Indonesia yang umumnya panjang dan kebanyakan berada di daerah yang terpencil. Apalagi di Indonesia kini tercatat ratusan sungai, yang sebagian besar bahkan belum pernah terjamah tangan manusia, apalagi dimanfaatkan.
Dyah, yang menamatkan pendidikannya dalam bidang teknik sipil di Universitas Diponegoro pada tahun 1972, melanjutkan pendidikannya di International Institute for Hydraulic and Environment Engineering di TU (Technical Universitry) Delft, Belanda, yang diselesaikan pada tahun 1977. Saat ini Dyah bertugas sebagai peneliti di Departemen Pekerjaan Umum, yang berganti nama jadi Departemen Permukiman dan Pengembang Wilayah.
Menuruf Dyah, ibu dari satu putra dan dua putri, dalam menyongsong abad ke-21 ini penanganan sungai tak lagi bisa dilakukan secara parsial seperti pada masa lalu. ”Penanganan sungai harus dilakukan secara terintegrasi, meskipun untuk itu harus melintasi batas-batas administrasi daerah,” katanya.
Karena itu, perusakari hutan di bagian hulu Sungai Ciliwung di daerah Puncak untuk pembangunan Vila dan rumah makan seperti pada masa lalu tak bisa dibiarkan lagi karena meningkatkan ancaman banjir terhadap bagian hilir Ciliwung. Ujungnya, warga Jakartalah yang harus membayar mahal karena menderita kebanjiran.
”Keuntungan ekonomis yang diperoleh dari pembangunan di bagian hulu Ciliwung sangat tak sebanding dengan kerugian yang diderita warga di bagian hilirnya,” kata Dyah. Penderitaan warga Jakarta terhadap banjir lebih terasa akhir-akhir ini dengan masih belum teratasinya dampak krisis ekonomi.
BANTARAN Kali Ciliwung sebagai salah satu dari 13 sungai yang masuk ke wilayah DKI Jakarta saat ini sudah dipenuhi permukiman. Penduduk daerah bantaran sungai itu juga makin masuk ke tengah sungai bahkan beberapa bagian sungai direklamasi menjadi daratan. Untuk mengurangi dampak banjir Ciliwung yang hampir setiap tahun mengancam Kota Jakarta pemerintah tengah menyiapkan pembangunan terowongan air di Katulampa, Bogor. Terowongan itu akan mengalihkan kelebihan air Ciliwung ke Cisadane sabesar 600 meter kubik per detik.
Dyah yang kini bekerja di Proyek Bengawan Solo sudah membuat model terowongan itu. Pembuatan desainnya telah selesai dan pernbangunnya dijadwalkan bisa dimulai pada tahun 2001 dengan bantuan Pemerintah Jepang. ”Saya menjamin pembangunan terowongan Katulampa yang bisa mengurangi dampak banjir Ciliwung terhadap warga Jakarta dan tak akan menyebabkan banjir di Tangerang,” katanya.
Menurut keterangan dari Proyek Bengawan Solo, Dyah yang pernah melakukan kaji ulang terhadap rencana induk Kali Brantas di Jawa Timur, menyempumakan desain terowongan Katulampa sehingga terowongan itu kini siap dibangun. Perlu dicatat, Kali Brantas tadinya hanya ditangani masalah banjirnya saja. Dengan kajian ulang Dyah, kali terpanjang di Jawa Timur itu kini bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti pembangkit listrik, irigasi, dan sebagainya. Kali Brantas dengan berbagai bangunan airnya saat ini merupakan sungai yang paling banyak dimanfaatkan.
Sebagai peneliti Dyah juga mengingatkan, kelangkaan air yang melanda dunia diakhir abad ke-20 ini telah mengubah pandangan orang terhadap sumber daya air. ”Air yang semula hanya sebagai sumber daya alam yang melimpah dan tak bernilai kini berubah jadi sumber daya yang bernilai ekonomis,” katanya. Dyah mencontohkan air kemasan yang diperdagangkan sampai ke pelosok desa, yang harganya sudah lebih mahal dari bahan bakar minyak.
Dalam rangka pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Dyah mengingatkan pembagian peran yang baru antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebab sebagai sumber daya alam yang mengalir atau flowing resources, air tak mangenal batas administrasi. Sebagai contoh, wilayah administrasi bagian hulu adalah penjaga kelestarian sumber daya air, sedangkan penerima manfaat utamanya adalah wilayah administrasi bagian hilir. Sebaliknya, pencemaran air di wilayah administrasi bagian hulu akan memberikan biaya sosial bagi penduduk di bagian hilir.
AWAL karier Dyah dimulai sejak pulang dari Belanda dengan menjabat sebagai Kepala Seksi Laboratorium Hidrolika pada Proyek Bengawan Solo. Karier penelitinya meningkat ketika ditunjuk menjadi kepala laboratorium proyek yang antara lain menangani pembangunan Waduk Wonogiri atau lebih dikenal sebagai Waduk Gajah Mungkur itu.
Sejak tahun 1996 Dyah menjabat sebagai Kepala Balai Sungai dan Sabo (semacam bangunan penahan erosi sungai), Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum. Ia juga menjadi Koordinator Pengendalian Bencana Alam, selain dosen tamu di Universitas 11 Maret Surakarta, International Course for Sabo Engineering (kerja sama RI-Jepang), Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Ritsuemeken (Jepang), dan lain-lain.
Selain ia juga melakukan berbagai penelitian bersama, di antaranya dengan Disasters Prevention Research Institute Kyoto University (Jepang). Dengan ITB dilakukan penelitian efektivitas cara penangulangan longsoran dengan geosintetik diangkur, antara tahun 1997-1999.
Karya Dyah dalam bentuk publikasi ilmiah yang diterbitkan di dalam negeri maupun luar negeri sudah mencapai 60 tulisan. Masih ada sekitar 70 tulisan ilmiah lagi yang belum diterbitkan, termasuk standar dan penyusunan river catalogue hasil kerja sama dengan UNESCO. (Irwan Gunawan)
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 Juni 2000