Namanya mengandung nilai sejarah. Persitiwa Dwikora antara tahun 1963/1964 adalah peristiwa putusnya hubungan diplomatik antara Indonesia-Malaysia. Waktu itu Presiden Soekarno memberikan perintah komando kepada rakyat, yang kemudian terkenal dengan euforia ganyang Malaysia.
Peristiwa itu begitu mendalam di hati Ir Mulyadi Noyocandono yang akhirnya diabadikan dalam nama anaknya Dwikorita Karnawati. Kini setelah 36 tahun, bayi itu telah menjadi seorang doktor geologi lingkungan. Ya Dr Dwikorita Karnawati, yang kini menjadi pengajar di Fakultas Teknik jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Menurut Ny Mulyadi Noyocandono, ibu Dwikorita, hari lahir Dwikorita persis dengan hari lahir Bung Karno, 6 Juni. Karena lahir pada saat peristiwa Dwikora dan hari lahirnya persis dengan hari lahir Bung Kamo, maka diberilah nama lengkap Dwikorita Karnawati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Bapak saya nampaknya memang senang mencatat peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia, dan diabadikan pada nama anak-anaknya,” ujar Dwikorita Karnawati. Nama kakak sulungnya misalnya, lahir pada saat peristiwa perebutan Irian Jaya yang dikenal dengan nama Trikora, diberi nama Herutama Trikoranto. Demikian juga adiknya, yang bernama Hanrina, lahir tahun 1966 pada saat para pegawai negeri sipil dilatih pertahanan rakyat (Hanra). Orangtuanya bukan tentara, bukan pula pelaku sejarah yang terpatri dalam nama-nama itu. ”Tetapi bapak memang pengagum Bung Karno,” kata Ita, panggilan akrab Dwikorita.
Perempuan simpatik ini belakangan benar-benar disibukkan oleh kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tanah longsor yang banyak membawa korban di Purworejo, Cilacap (Jawa Tengah) dan juga di daerah Sumatera, khususnya di wilayah Sumatera Barat. Seperti ketika ditemui Kompas, Selasa (28/1 1) dia sedang sibuk menelepon asistennya, untuk meminta nomor-nomor faksimili kabupaten-kabupaten di wilayah Sumatera yang memiliki daerah rawan longsor.
”Para bupati di Sumatera, bukan hanya di Sumatera Barat, akan dikirimi faksimili, yang berisi pedoman praktis menghadapi bencana tanah longsor. Diharapkan pedoman praktis itu dari kabupaten bisa disebarkan ke tingkat kecamatan dan desa,” kata wikorita
Untuk menangani bencana tanah longsor di Kabupaten Purworejo, Dwikorita bersama tim geologi UGM memang bisa terjun sendiri, ke desa-desa melakukan penyuluhan praktis menghadapi bencana tanah longsor, meskipun terkadang harus keluar uang dari kocek sendiri. Namun, untuk terjun langsung ke Sumatera di samping dana juga tenaga geolog di UGM sangat terbatas. Karena itu yang dilakukan adalah mengirim faksimili pedoman praktis menghadapi bencana longsor.
Pedoman itu memang sangat sederhana, bagaimana warga mengetahui kondisi alamnya, bagaimana mengetahui gejala awal tanah longsor. Pedoman itu berisi pula, bagaimana masyarakat bisa mengambil tindakan emergency praktis untuk menghindar dari timbunan longsoran. Pedoman itu juga memberi pengertian praktis kemungkinan masyarakat bisa melakukan tindakan pencegahan peristiwa longsor.
MENGAPA wanita berkerudung ini begitu gigih, berkampanye pencegahan korban tewas dalam peristiwa tanah longsor, tanpa ada yang menyuruh atau instansi yang meminta. ”Kalau saya diam sebenarnya juga tidak apa-apa. Namun ada sesuatu yang mengusik jiwa saya, yang mendorong saya untuk berbuat,” ujarnya.
Dorongan kuat yang pertama adalah karena sakit yang dideritanya, yaitu sesekali mengalami sesak napas. Ketika datang ke daerah-daerah bencana tanah longsor, sering dia wawancara dengan para korban yang selamat.
“Menurut penduduk, para korban yang tertimbun tanah itu tidak langsung mati, tetapi masih merintih-rintih, mengaduh-aduh minta tolong. Bahkan itu bisa berlangsung beberapa jam. Sebenarnya penduduk mau menolong, tetapi tidak tahu di mana letak para korban. Ada yang nekat mencangkul, justru ada korban yang kena cangkul kepalanya.”
Dari situlah Dwikorita bisa merasakan, betapa para korban itu akhirnya tewas, karena derita sesak napas tertindih longsoran tanah dan bangunan rumah. ”Saya sangat bisa merasakan betapa menderitanya sesak napas itu, karena saya memang mengalami,” katanya
Dorongan yang kedua, adalah gelar doktor yang diperolehnya. Dia memperoleh gelar doktor atas biaya Bank Dunia. ”Itu berarti uang pinjaman. Selama empat setengah tahun saya meraih gelar doktor geologi lingkungan di Inggris kalau dihitung minimal saya menghabiskan dana Rp 500 juta. Coba kalau Rp 500 juta itu dibelikan beras dan dibagikan ke warga desa, betapa senangnya dan bahagianya mereka.”
Berangkat dari pemahaman itulah, Dwikorita memandang bahwa apa yang dia nikmati sekarang sebagai ahli, adalah uang dari rakyat. ”Sudah sepantasnya saya merasa berutang kepada rakyat. Karena itu sangat bersalah saya kalau apa yang saya punya tidak saya kembalikan ke rakyat. Artinya, dengan ilmu ini saya ingin membantu mereka,” katanya.
Menurut Dwikorita, seandainya longsoran itu memang tidak bisa dicegah oleh manusia, setidak-tidaknya dirinya telah berbuat untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi. Ucapnya,”Bencana longsor ini memang membutuhkan perhatian kalangan perguruan tinggi, khususnya ahli geolog.”
Dikatakan oleh Dwikorita, para ahli geologi di Indonesia masih berkutat dengan paradigma lama, yaitu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, misalnya kebutuhan dalam pertambangan dan perminyakan, yang selalu diiringi dengan impian gaji yang tinggi. ”Apabila kita simak kejadian bencana alam banjir dan longsoran akhir-akhir ini, terlihat sangat terbatasnya para ahli geologi ataupun institusi geologi yang melakukan action nyata di lapangan guna membantu melakukan mitigasi dan penyuluhan ke masyarakat yang tertimpa bencana.”
Menyinggung pertemuan antar kalangan ahli geologi di ITB 22 November lalu yang membahas geologi lingkungan, yang dihadirkan empat pembicara, semuanya datang dari perminyakan dan pertambangan, ”Apakah ini menunjukkan bahwa para ahli geologi kurang peka terhadap permasalahan lingkungan?”
IBU dari dua anak Amiluhur Priyanto (10) dan Umyra Priyanto (6) ini memang tergolong keluarga sibuk. Suaminya Dr Ir Sigit Priyatno MSc staf pengajar Teknik SipiI di UGM, juga diliputi kesibukan yang berat. Makanya baginya pertemuan, dalam keluarga merupakan peristiwa yang sangat yang sangat indah.
Bukan hanya sang suami yang sering pergi meninggalkan keluarga karena pekerjaan. Dwikorita pun hampir sebulan sekali pasti meninggalkan keluarga pergi ke luar kota. ”Tetapi kami berupaya bergantian, kalau bapak di rumah saya bisa pergi, sebaliknya bapak pergi saya berusaha tidak pergi ke luar kota.”
Namun, jika dia pergi ke lapangan dan hanya sekitar Yogyakarta saja, dia pasti mengajak dua anaknya, terkadang diajak pula ke kantor. ”Ya biar dia tahu juga apa yang diperbuat ibunya ketika pergi,” tutur ibu yang setiap malam harus menuntun belajar dua anaknya itu.
Hari Minggu, jika memang longgar waktu, sering digunakan untuk santai bersama keluarga ”Tetapi kalau situasi-situasi seperti sekarang ini jelas tidak bisa, apalagi Sumatera juga longgsor. Situasi itu lebih memanggil hati saya untuk mencurahkan tenaga dan pikiran.” (Thomas Pudjo Widijanto)
Sumber: Kompas, 29 November 2000