Kasus plagiat di Universitas Haluoleo melengkapi daftar panjang pelanggaran etika di perguruan tinggi di Indonesia. Ini masalah serius terkait revolusi mental.
Kasus penjiplakan karya ilmiah di Universitas Haluoleo, Kendari, dinilai mencoreng dunia pendidikan. Apalagi, kasus tersebut melibatkan rektor, atau pemimpin perguruan tinggi, yang mestinya memberi contoh teladan dalam penegakan etika akademik.
”Ini kasus serius dan amat bertentangan dengan jargon revolusi mental Presiden Joko Widodo,” ujar La Ode Aslan, Ketua Tim dari 30 Guru Besar Universitas Haluoleo (UHO) yang pada Juni 2017 lalu mengadukan kasus itu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aslan yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (9/2), menilai, sudah saatnya kasus ini diambil alih Presiden. Sebab, dua lembaga negara, yakni ORI dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memiliki kesimpulan berlawanan.
ORI menyimpulkan Rektor UHO Zamrun Firihu melakukan penjiplakan dalam tiga karya ilmiah, salah satunya berjudul Microwaves Enhanced Sintering Mechanism in Alumina Ceramic Sintering Experiments. Karya ini dimuat di jurnal Contemporary Engineering Sciences Vol 9, 2016. Kesimpulan ORI merujuk pada hasil pemeriksaan ahli dari berbagai bidang (hukum, bahasa, filsafat/etika, fisika).
Sebaliknya, tim investigasi dari Kemristek dan Dikti menyatakan tidak terjadi plagiarisme pada karya ilmiah tersebut.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE)–Aktivis dari Komite Anti Plagiasi berunjuk rasa di depan Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (27/5/2017). Mereka meminta pemerintah menangani masalah plagiasi yang terjadi di sejumlah perguruan tinggi, serta dilakukan oleh mahasiswa, dosen, dan guru besar.
Menurut Aslan, sesuai standar baku dalam pemeriksaan keaslian karya ilmiah, instrumen yang digunakan adalah Software Turnitin. Hasil pemeriksaan untuk karya Zamrun menunjukkan tingkat kesamaan dengan karya orang lain di atas rata-rata 50 persen, bahkan ada 70 persen.
”ORI mendekatinya dari etika akademik dan ranah pidana menyangkut hak cipta. Sedangkan tim investigasi Kemristek dan Dikti menelisik dari substansi jurnal tanpa melihat tata cara penulisan karya ilmiah termasuk cara pengutipan,” ujar Aslan. Ia menantang tim invetigasi Kemristek dan Dikti memaparkan secara terbuka hasil pemeriksaannya, seperti yang dilakukan ORI.
ORI menyatakan, Zamrun melakukan plagiat terhadap karya ilmiah lainnya. Dia mengutip dan mempunyai kesamaan, baik sebagian maupun seluruhnya dengan karya ilmiah lain, tanpa menyebutkan sumber secara tepat dan memadai, baik dalam catatan kaki, catatan perut, maupun daftar pustaka.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti mengakui adanya ada perbedaan hasil tim investigasi Kemristek dan Dikti dengan ORI. ”Mungkin cari pandangnya berbeda,” katanya.
Siap bertemu
Menurut Ghufron, pihaknya menerima hasil rekomendasi ORI dan segera disampaikan kepada Menristek dan Dikti Mohammad Nasir. ”Kami bersedia dipertemukan dan klarifikasi jika berbeda, di mana dan kenapa berbeda,” katanya.
Dalam laporan akhir hasil pemeriksaan yang diserahkan kepada Ghufron, 29 Januari lalu, ORI yang merekomendasikan gelar Guru Besar Zamrun dicabut, sekaligus mencopot yang bersangkutan dari jabatan rektor.
Nasir tetap melantik Zamrun sebagai rektor UHO pada 18 Juli 2017 di tengah mencuatnya kasus ini.
Zamrun sendiri hingga Jumat malam belum bersedia memberikan tanggapan. Melalui pesan singkat, dia hanya mengirimkan tautan berita pembelaan Menteri Nasir terhadapnya. (ELN/NAR)
Sumber: Kompas, 10 Februari 2018