Dr.Thee Kian Wie dan Konsistensi Ilmuwan

- Editor

Jumat, 10 Januari 1997

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penghujung tahun lalu, Thee Kian Wie tanpa sengaja melanggar rambu lalu lintas di Jalan Sudirman. Seorang polisi muda kontan menyetop mobil Thee.

Tatkala mengetahui pelanggar lalu lintas itu pegawai negeri, si polisi sempat bertanya dengan ragu,”Akh, apa betul Anda pegawai negeri?” Wajah dan terutama mata Thee diamat-amati dengan teliti. Diperlakukan seperti ini Thee hanya bisa menghela nafas panjang. Ia terpaksa mencabut tanda pengenal yang menabalkan namanya sebagai ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Thee Kian Wie pun berseloroh, ”Saya sudah menjadi pegawai negeri sebelum Anda lahir. Tapi, saya mengerti kalau Anda menjalankan tugas dengan baik.”

Contoh peristiwa seperti itu kerap dialami Thee, sehingga ia akhirnya kebal menghadapi masalah tersebut. Ia tak pernah menyesal menjadi pegawai negeri, terutama karena ia bisa berkarya di lembaga keilmuan setaraf LIPI.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Thee bertutur, sejak memutuskan menjadi pegawai negeri tahun 1959, ia sangat menyadari bahwa jenjang jabatan tidak terbuka baginya. ”Karena kesadaran itulah, saya dapat bekerja dengan happy sejak awal. Jika banyak diganggu ambisi, saya frustrasi sejak dulu…,” ujar pria kelahiran Jakarta 20 April 1935 ini, ketika ditemui dalam tiga kesempatan pekan lalu, di ruang kerjanya lantai lima gedung LIPI.

Dalam ukuran Thee, ia memperoleh kepuasan dengan bekerja di LIPI. Ia meraih doktor ekonomi (PhD) pada University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, Agustus 1969 berkat beasiswa. Sebagai ilmuwan, ia merasa memperoleh kehormatan jauh lebih besar dari yang sepantasnya ia terima.

Para mahasiswa dari pelbagai kalangan suka datang ke ruang kerjanya yang sempit dan bersahaja, terutama untuk konsultasi skripsi, meminta informasi, membaca buku-bukunya yang beragam, atau sekadar minta saran tentang substansi skripsi. Ilmuwan-ilmuwan muda, maupun para periset, juga suka bertandang ke tempatnya. Meski sedikit direpotkan, Thee merasakan kebahagiaan luar biasa karena memperoleh kehormatan dikunjungi mahasiswa dan ilmuwan.

Namun, ia kerap merasa risih juga. Banyak yang over estimate terhadap dirinya. Padahal, ia merasa tidak sehebat yang disangka orang. ”Kelemahan saya yang utama ada tiga. Ngomong terlalu banyak. Kadang-kadang kurang hati-hati, dan kadangkala kurang disiplin pada waktu,” ujar Thee.

Ia pun berkata, banyak ekonom muda berkualifikasi jauh lebih hebat dibanding dia. Thee menyebut beberapa nama ekonom temama seperti Dr Iwan Aziz, Dr Mari Pangestu, Dr Djisman Simanjuntak, Dr Faisal Basri. Menurut Thee. perkembangan ilmu berjalan demikian cepat, dan ia sangat sadar bahwa kerap ngos-ngosan mengIkuti perkembangan amat cepat itu. Para ekonom mudalah yang mempunyai energi lebih untuk berkejaran dengan ilmu tersebut.

”Saya selalu bilang kepada para mahasiswa ekonomi, lihat tuh ilmuwan kakap seperti Mari, Iwan, Faisal, Djisman Simanjuntak, dan Bungaran Saragih. Mereka bright tapi rendah hati ” Kalian kelak, ujar Thee kepada para mahasiswa, mesti lebih hebat lagi dibanding Mari, Iwan, Faisal, dan lain-lain.

Cuma, Thee menekankan, ilmuwan apalagi kalau sudah profesor, dilarang congkak dan jual mahal ketika didatangi mahasiswa. Thee pernah sangat sedih ketika mendengar ada profesor menolak keinginan mahasiswa berkonsultasi skripsi, hanya dengan alasan sibuk. Ia pun merasa terpukul ketika ada ilmuwan ternama memasang bayaran per jam untuk konsultasi skripsi mahasiswa.

”Porno banget profesor kok ngaku sibuk. Ilmuwan kok pasang tarif per jam. Walaaah,” ujar Thee dengan nada geram.

Dalam visi dia, sesibuk apa pun guru besar, mesti menerima kedatangan mahasiswa. Generasi muda perlu diberi pengertian, perlu diasah agar lebih pintar.

STEREOTIP umumnya keturunan Tionghoa di mana pun di jagat ini ialah terjun dan bertarung habis-habisan di bidang bisnis. Tapi, Thee Kian Wie, putra pertama dari pasangan guru, Thee Tjun Jap memilih dunia pendidikan. Adiknya, Prof dr Sutisna Himawan, seorang ahli patologi anatomik Fakultas Kedokteran UI, menempuh jalan serupa. Adiknya yang bungsu, Lilian Himawan, bekerja di perusahaan swasta. ”ilmuwan itu exciting work, meski acap meletihkan,” ucap Thee.

Menurut Thee, sejak kecil ia sudah mengandung keinginan besar menjadi guru. Dorongan itu bukan semata Iantaran ayahnya seorang guru, melainkan ia gemar membaca, dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Hobi itu di tunjang ayahnya, yang meski bukan guru kaya, tapi mempunyai banyak koleksi buku.

Bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda yang dia kuasai dengan baik, membuat Thee leluasa membaca banyak literatur asing. Tak heran kalau sejak kecil ia banyak mengetahui gagasan-gagasan besar para ilmuwan dunia. Ia pun tahu banyak tentang Napoleon Bonaparte, Revolusi Perancis, sejarah Rusia, dan bahkan sosok pria paling kejam di dunia, Adolf Hitler. Khusus tentang Hitler, Thee suka secara khusus mendalami. Sebab selain Hitler kejam juga sekaligus penakut luar biasa karena memilih bunuh diri ketika hendak dibekuk Sekutu. Hal lain, tanggal kelahiran Hitler sama dengan tanggal kelahirannya. Hitler, yang bernama asli Adolf Schickel Gruber lahir di Austria 20 April 1889 sedang dia lahir di Jakarta, 20 April 1935.

Thee ingat betul, ketika Belanda masih berada di Indonesia, dan Jerman sukses menyerang Belanda (dalam Perang Dunia II –Red), banyak foto Hitler dipasang di Jakarta. Gambar itu, sengaja dipajang di tempat umum, sehingga masyarakat leluasa melempari wajah Hitler dengan panah paku.

Tujuannya menghina Hitler sehebat mungkin. Beberapa teman dekat Thee yang tahu tanggal kelahiran Thee ikut menggoda. ”Eh… kamu Kian Wie, tanggal lahirmu sama dengan Hitler!”

Tapi Thee kecil tidak hirau. Ia bahkan ikut mengambil panah paku dan menancapkan panah paku itu ke wajah Si penjagal manusia. Thee mencatat, Hitler termasuk pemusnah banyak manusia, di samping Mao Tze Dong (terutama dalam Lompatan Jauh Ke Depan, 1958-1961 serta Revoiusi Kebudayaan –Red), Stalin dan sejumlah tokoh Serbia dalam Perang di Bosnia. Pemahamanan terhadap banyak soal, dan cabang ilmu inilah yang kemudian mendorong Thee ingin membagi-bagi ilmunya. Jalan untuk itu adalah menjadi guru.

Thee mengatakan ia tidak gampang menghadapi masa depannya, meski sejak sekarang ia sudah bisa membayangkan uang pensiunnya sebagai pegawai negeri golongan IV hanya Rp 400.000. Uang segitu, menurut dia, meski sedikit, akan dicukup-cukupkan untuk hidup.

”Sekarang saya tidak miskin-miskin amat. Saya punya rumah sendiri, punya mobil Starlet. Punya satu istri,” ucap Thee, bercanda. ”Saya juga punya banyak teman. Itu aset luar biasa. Anda bayangkan saja kalau hidup tanpa teman, hehehe…”

20160926_061253wSang istri, Tjoe, ikut bekerja di sebuah perusahaan swasta. Bekerjanya Si istri, menyebabkan Thee tidak sampai terengah-engah menutupi kebutuhan rumah tangganya.

Buah perkawinannya dengan Tjoe, menghasilkan seorang anak bemama Marcel (15 tahun). Thee memang terlambat menikah, sehingga pada usia mendekati 62 tahun, anaknya, Marcel, baru berusia 15 tahun. Thee lama terbenam dalam keasyikan riset, sehingga sempat lupa kawin. ”Tapi, istri saya mesti merasa beruntung karena mendapatkan ilmuwan kere seperti saya, hahaha…” kata pria yang dikenal suka melucu ini terbahak-bahak.

Ihwal mengapa ia tak mengubah nama, Thee kembali tertawa. Mengutip William Shakespeare, ia mengatakan apalah arti sebuah nama. Bagi dia, hal penting bagi WNI keturunan asing ialah loyal. Mengubah nama pemberian orang tua is too much, dan tak mengubah keadaan.

Pers pun, menurut Thee, kadangkala munafik. Kalau ada penjahat, atau terpidana keturunan Cina, selalu dipasang nama Cinanya. Tapi begitu ia mengharumkan nama bangsa ini, jarang yang memasang nama Cina si pengharum nama bangsa itu. ”Ahh saya pikir, lebih baik dengan nama Thee Kian Wie saja. Saya dimaki atau dipuji tetap dengan nama itu,” ujarnya.

Thee kagum pada sejumlah keturunan Cina yang rela menempuh ”jalan sulit”, seperti Kwik Kian Gie dan Arief Budiman. ”Mereka hebat. Saya sungguh kagum pada mereka,” ujarnya. (Abun Sanda)

Sumber: Kompas, Jum’at, 10 Januari 1997

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 21 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB