Dr Mohammad Kasim Moosa; Pakar Rajungan dari Bandengan

- Editor

Rabu, 15 November 1995

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia adalah benua maritim. Begitu predikat baru yang menggeser julukan negara maritim, bagi negeri yang wilayah perairannya paling luas di dunia ini. Dengan lautan seluas 3.166.163 kilometer persegi atau dua per tiga dari luas keseluruhan wilayah Nusantara juga dikenal memiliki keanekaan biota laut paling kaya, termasuk areal terumbu karang yang terluas di jagad ini.

Sumber daya yang melimpah di bawah permukaan laut itu, ironisnya kurang menggugah penduduknya yang tersebar di 5000-an pulau untuk menggali manfaat dari khazanah jenis kehidupan di dalamnya. Keanekaan biota perairan Indonesia sebaliknya menjadi daya tarik yang besar bagi periset asing dan ini telah berlangsung sejak dua abad lalu.

Penelitian biota laut di perairan Indonesia, tercatat telah dilakukan pertama kali oleh G E Rumphius yang kemudian menerbitkan buku D’Amboinsche Rariteitkamer pada tahun 1705. Ekspedisi di perairan Indonesia setelah itu terus di lakukan peneliti asing lainnya, di antaranya yang terkenal adalah Ekspedisi Challenger (1873-1876) Ekspedisi Sibolga (1899-1900), dan Ekspedisi Snellius(1929-1930). Baru setelah kemerdekaan peneliti Indonesia mulai ikut serta dalam ekspedisi kapal riset asing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yang membuat terus gencarnya ekspedisi kapal asing dan para penelitinya menembus wilayah perairan Indonesia, antara lain karena informasi tentang keragaman jenis biota itu sangat diperlukan untuk mengevaluasi sumber daya plasma nutfah yang tersedia bagi keperluan rekayasa genetika pada masa yang akan datang.

DI antara ahli yang dapat dihitung dengan jari itu, tersebut nama Dr Mohammad Kasim Moosa. Meski akan menginjak usia 59 tahun Februari mendatang, menjelajahi daerah pesisir, mengarungi samudera, dan menyelami laut, tak ubahnya nelayan dan peIaut, masih tetap dijalani pria berdarah India dan berkulit gelap ini.

Kegiatan yang selalu bersentuhan dengan air, agaknya sudah mendarah daging bagi Moosa yang bernaung di bawah rasi bintang berlambang ikan Pisces. Lebih dari 30 tahun ia menekuni bidang biota laut, setamat dari pendidikan Sarjana Muda di Universitas Nasional pada tahun 1963 dan bekerja di Puslitbang Oseanologi LIPI.

Sejak lahir hingga kini Moosa yang besar di Pekojan Jakarta Utara, bahkan tidak bergeser jauh dari tempatnya sekolah dan bermain-main semasa kecil dulu di daerah pesisir Jakarta. Daerah jelajahnya waktu itu, mulai dari sekolahnya di Bandengan ke Ancol hingga ke tempat pemandian Cilincing dengan jajaran pohon nyiurnya.

20160712_093311-1wArena tempat anak kelima Moosa bin Ali menangkap rajungan itu telah lama sirna, berubah 180 derajat karenaperusakan dan pencemarani lingkungan. Meski begitu ia tetap setia dengan tanah kelahirannya. Sudah tiga dasawarsa, peneliti yang gemar memelihara ikan ini, berkantor di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, di Pasar Ikan kemudian di Ancol (1977), yang lokasinya bersebelahan dengan daerah rekreasi Taman Impian Jaya Ancol. Dalam meniti karier selama itu berbagai jabatan pernah diembannya antara lain sebagai Kepala Laboratorium Zoologi Laut, Kepala Pusat Penelitian Biologi Laut, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, serta Pimpinan Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut. Ayah dari tiga putri ini baru mempertegas profesinya sebagai peneliti tahun 1973 sebagai Ajun Peneliti, dengan berbekal Diplome Ecole Pratique des Hautes Etudes dari Sorbonne,Paris, yang diraihnya dua tahun sebelum itu.

Lalu selama dua tahun ia menjalani pelatihan Taksonomi Crustacea di Museum National d’Histoire Naturelle Paris. Ketika menjabat sebagai peneliti, ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Universitas Pierre et Marie Curie di Perancis hingga meraih gelar Doktor pada tahun 1983 dengan tesis mengenai Stomatoppoda (udang).

Setelah itu jenjang selanjutnya diraihnya dalam waktu cepat, yakni mulai dari Ahli Peneliti Muda (1985), Ahli Peneliti Madya (1986); hingga ke jenjang puncak Ahli Peneliti Utama (1989). Pengukuhannya sebagai APU bidang biologi laut oleh Sidang Majelis Pengukuhan APU LIPI yang dibentuk belum lama ini, baru dilaksanakan di Kantor Pusat LIPI Jakarta, bulan lalu, persisnya 24 Oktober 1995..

DALAM menekuni bidang penelitian yang digemari ini, selama itu pula dari ”pos”-nya di pesisir Jakarta, Moosa telah mengikuti berbagai ekspedisi kapal riset. Yang pertama diikutinya adalah Ekspedisi Baruna tahun 1964, kemudian Ekspedisi Mariel king Memorial (1970), Ekspedisi Rumphius II dan IV (1975 dan 1980), Ekspedisi Gorindon III dan IV (1981 dan 1982), Ekspedisi SnelIius II (19841985) serta Ekspedisi Karubar (1991) Dua dari delapan ekspedisi itu yaitu Rumphius IV dan Karubar di bawah pimpinan Moosa.

Dari penggelandangannya menyusuri pesisir dan melaut, berminggu bahkan berbulan-bulan boleh dikatakan selalu membuahkan hasil. Di antaranya adalah sejumlah 56 karya tulis makalah, yang diterbitkan di Indonesia dan di luar negeri, yaitu di Singapura, Jepang, Belanda, Belanda, Belgia, Perancis, dan Amerika Serikat.

Karya tulis itu di antaranya mengenai temuan spesies baru biota laut. Temuan pertamanya adalah kepiting dari Ambon, yang ditemukan bersama mitra kerja sekaligus gurunya Raoul Serena, ilmuwan Perancis. Setelah itu banyak spesies baru yang ditemukannya sendiri. Pada Ekspedisi Mariel King Memorial, yaitu riset kerja sama antara Indonesia, Amerika Serikat, dan Australia, Moosa menemukan empat jenis Stomatopoda di perairan Maluku.

Bagi ilmu taksonorni Kasim memeberikan sumbangannya yang besar dari temuannya berupa 27 spesies baru, tujuh genera baru, dan satu famili baru Stomatopoda (Crustacea, Hoplocarida). Untuk jenis kepiting atau Brachyura (Crustacea Decapoda) ia juga menemukan 15 spesies baru, sebuah nama baru, 4 genera baru, dan dua subfamili baru. Temuannya itu belum termasuk 6 spesies baru dan satu marga baru yang makalahnya sedang dalam proses percetakan dan penjurian untuk diterbitkan dalam jurnal di Perancis.

Sebagai kehormatan atas prestasinya di bidang taksonomi hewan laut, nama Moosa digunakan para peneliti untuk penamaan beberapa Jenis hewan Iaut di antaranya Solenocera moosai oleh Crossnier pada tahun 1984, Trizocheles moosai oleh Forest pada tahun 1987, dan Diogenes moosai oleh Rahayu dan Forest yang menemukannya tahun ini. Pada tahun 1995, R. B. Manning juga membubuhkan namanya untuk satu marga Stomatopoda yaitu Kasim philippinensis untuk spesies tipe Heterosquilloides philippinensis yang ditemukan Moosa tahun 1985.

Kegiatan penelitiannya itu memang mendapat pengakuan yang luas di dunia. Karena selain menjalani penelitian di Indonesia, Kasim juga pernah menjadi peneliti tamu di National Science, Museum Tokyo pada tahun 1987 dan 1994 di Office de la Recherche Scientifique et Technique d’Outre Mer (ORSTOM) Paris pada tahun 1988, 1989, dan 1994 .

DALAM menekuni bidang biota laut yang merana selama sekitar 30 tahun, Moosa tidak banyak kemajuan. Pengetahuan tentang biota laut perairan Indonesia, menurutnya, walaupun telah

dirintis hampir 300 tahun lamanya dapat dikatakan masih sangat minim. Pengetahuan biota laut Indonesia sebagian besar hanyalah mengenai biota yang hidup di perairan dangkal, dengan kedalaman kurang dari 200 meter.

Demikian pula penulisan tentang suatu takson biota laut dari perairan dari perairan Indonesia secara komprehensif belum pernah dilakukan. Selain karena kelangkaan tenaga ahli, sebab lain adalah belum memadainya data yang tersedia, yang tersebar di berbagai institusi dan sulit diperoleh.

Moosa berpendapat, informasi tentang biota laut perairan Indonesia sebenarnya bisa diperkaya dengan jalan menelusuri pustaka dan mengunjungi museum yang menyimpan koleksi yang berasal dari Indonesia. ”Sudah saatnya kita merintis terbentuknya Natural History Museum untuk menyimpan khazanah kekayaan alam yang kita miliki,” sarannya. Keberadaan museum ini, ujarnya, dapat merangsang masyarakat mengenal dan mencintai alam Indonesia yang sangat beragam jenis biotanya.

Dalam kaitan itu, ia berpendapat, masyarakat juga perlu diimbau melaluil forum tertentu untuk menyumbangkan koleksinya. Dengan demikian nama mereka akan tersimpan ”abadi” dalam koleksi dan mungkin suatu-waktu dipakai dalam pemberian nama baru. (yun)

Sumber: Kompas, Rabu, 15 November 1995

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 38 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB