Bagaimana kedudukan hasil riset bioteknologi peneliti muda Indonesia di antara karya-karya peneliti muda se-ASEAN? Inilah yang diuji di ASEAN Young Scientist and Technologist Award (AYSTA) 1992 tanggal 19-21 September di Singapura. Presentasi peserta dilakukan hari Minggu (20/9) ini, dan pemenangnya diumumkun esoknya.
Duta lndonesia sudah dipilih awal Agustus lalu: Dr Enny Ratnaningsih (34), staf Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Teknologi Bandung. Berangkat dari Jakarta dengun Singapore Airlines hari Sabtu (19/9) menuju hotel berbintang lima Mandarin, Singupura Enny sudah memasang kuda-kuda menghadapi lawan yang mewakli Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Kuda-kuda macam apa? “Lihat saja nanti,” katanya kepada Kompas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di hotel itulah kompetisi berlangsung dan di situ pula diadakan 3rd ASEAN Science and Technology Week tanggal 21-94 September. Pekan teknologi itu mengundang pemenang Nobel Prof Dr Baruch S Blumberg (Oxford University) untuk berpidato dengan topik Basic Science and Its Applications: Maintaining the Balance.
TIDAK gentar menghadapi lawan dari Singapura dan Thailand yang konon riset bioteknologi mereka jauh lebih maju dibandingkan dengan Indonesia?
Tunggu dulu. Enny belum tahu bidang penelitian duta dari Thailand maupun Singapura. Soalnya, bidang penelitian yang dipertandingkan dalam AYSTA tidak mesti sama. Kalaupun nanti sama-sama bioteknologi, Enny mengaku tidak gentar.
Setelah memenangkan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI) 1992 di Jakarta dengan lawan-lawan yang tangguh dari bermacam disiplin, seperti astronomi dan bioteknologi sendiri, kepercayaannya bangkit kembali.
“Terus terang, selama dikarantinakan dengan rekan-rekan peneliti muda Indonesia di Jakarta beberapa beberapa hari sebelum pengumuman pemenang, orang hanya melihat Mezak Ratag (dari Lapan, Bandung, Red.) dan Antonius Suwanto (dari PAU Bioteknologi IPB, Bogor, Red.). Saya tak menyangka kalau bisa menang. Tapi, kemenangan ini, tanpa maksud mengecilkan teman-teman, cukup membuat saya untuk tak gentar menghadapi rekan dari negara jiran,” kata Enny kepada Kompas di kediamannya di Arcamanik, Bandung bulan Agustus lalu.
RISET yang dilakukannya membuat peta fisik kromosom bakteri Pseudomonas aeruginosa dibimbing oleh Prof Bruce W Holloway, pakar Pseudomonas kaliber dunia.
“orang-orang dunia kalau mau meneliti tentang Pseudomonas, konsultasi dulu kepada Bruce,” kata putri Jawa kelahiran Jember itu untuk menegaskan seorang Enny di antara seseorang peneliti dalam bioteknologi di negara-negara ASEAN.
Keterangannya tentang bobot seorang Bruce menegaskan pula bahwa finalis PPMI tahun ini banyak diikuti oleh peneliti muda Indonesia yang hasil riset mereka sudah berkelas internasional. Mezak Ratag dengan gugatan monumental terhadap teori evolusi bintang, demikian pula Antonius Suwanto dengan penelitian bakteri Rhodobacter spaeroides tipa liar yang ternyata memiliki dua kromosom. Antonius menggugat “dogma” dalam biologi bahwa organisme prokariot yang bebas di sitoplasma selalu memiliki satu kromosom melingkar.
Sayangnya, prestasi macam ini di Indonesia searing lalu digudangkan dalam dokumentasi kegiatan tahunan di lembaga penyelenggara pemilihan orang-orang berprestasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka tak dikenal dan sering malah diamggap tidak pernah ada.
APA yang Enny lakukan selama 4,5 tahun di Monash University, Australia sejak tahun 1986 hingga tahun 1991?
Sebelum membimbing Enny, Bruce membimbing banyak kandidat doktor dalam bidang Pseudomonas dengan tinjauan dari sudut genetis dan model-model molekuler. Belum sampai ke fisik bakteri itu sendiri. Mereka selalu mulai dari cara genetis untuk mengidentifikasikan gen-gen yang dikandung oleh Pseudomonas untuk mempelajari organisasi gen di dalam kromosom.
Kebetulan waktu Enny datang tahun 1986, alat berukuran besar untuk memisahkan DNA asam deoksiribonukleat), pulse field gel electrophoresis (PFGE) baru diciptakan orang. Lalu, Bruce menawarkan Enny sebagai kandidatnya yang pertama menggunakan PFGE untuk secara fisik membuktikan dan memetakan kromosom, yang secara genetis sudah dibuat oleh kandidat-kandidat sebelumnya.
Peta fisik kromosom? “Ya, peta fisik selalu dapat diandaikan seperti peta dunia. Lokasi suatu tempat dapat ditentukan relatif terhadap tempat lain: Indonesia di selatan malaysia. Dengan membuat peta fisik, saya bisa menmepatkan posisi gen yang satu relatif terhadap gen yang lain. Artinya, DNA itu dipisahkan secara fisik dan divisualisasikan. Setelah itulah percobaan baru bisa dilakukan,” kata Enny menjelaskan.
Paralel melakukan riset dan memahami pangoperasian alat PFGE yangmasih baru waktu itu, Enny pulang di lndonesia dengan oleh-oleh: kiat mengambil gen dan memanipulasi DNA dengan terarah dan lebih cepat.
Ia menyelesaikan problem yang dihadapi ahli biologi maupun kedokteran selama ini untuk membunuh bakteri Pseudomonas setelah berhasil memetakan kromosom bakteri itu secara fisik. Kesulitan macam apa yang dihadapi para dokter dan ahli biologi? Pseudomonas adalah bakteri yang bisa berada di tubuh manusia maupun binatang tanpa menimbulkan apa-apa. Barulah pada saat daya tahan tubuh melemah, bakteri ini beraksi menimbulkan infeksi. Akhimya, dokter harus menggunakan kombinasi bermacam antibiotik untuk mengobati pasien.
Peta fisik karya Enny itu memperjelas pola restriksi dan mempermudah identifikasi bakteri dalam berbagai infeksi pada manusia maupun binatang. Para dakter pun dengan mudah dapat memilih satu jenis antibiotika. “ltu praktisnya: ilmu kedokteran bisa langsung mengaplikasinnya,” kata Ennny.
Hasil pekerjaan selama 4,5 tahun itulah yang akan dipresentasikannya di hadapan juri AYSTA dalam tempo 20 menit. Dan Enny sudah mencoba penjelasan itu kepada Kompas di rumahnya, didampingi suaminya, Ir Tjundoko Suprijadi (39), dan dua putrinya, Tika (10) dan Lisa (7).
MASUK di ITB sebagai mahasiswa TPB (tahun pertama bersama) tahun 1978, Enny memilih Jurusan Kimia. Setahun setelah kuliah, banyak pengalaman baru yang ia dapatkan. Mengajar privat kimia untuk anak-anak SMA dan mulai pacaran dengan Tjundoko, yang waktu itu mahasiswa Jurusan Sipil ITB angkatan 1974.
Setahun menjelang lulus sarjana, Enny menikah dengan Tjundoko yang baru diwisuda. Mengerjakan tugas akhir sambil berbadan dua, putri pertamanya, Tika, lahir tiga bulan sebelum Enny sidang sarjana. Prof Dr Oei Ban Liang, pembimbing tugas akhirnya, mengajak Enny untuk mengajar di Jurusan Kimia ITB. Itu berarti, mahasiswa favorit Oei ini harus mengikuti program pascasarjana.
Dasar anak favorit, Oei yang mendapat tugas baru tahun 1986 untuk memimpin PAU Bioteknologi ITB mengajak lagi Enny untuk ikut bergabung. Peran Enny di lembaga baru ini tidak tanggung-tanggung. “Waktu PAU didirikan, tak satu pun di ITB ini yang pernah belajar bioteknologi. Saya minta Enny mengikuti program Ph.D dengan spesialisasi teknologi rekombinan DNA untuk bakteri. karena bidang ini merupakan $salah satu basis bagi pengembangan bioteknologi,” kata Oei kepada Kompas.
Namun, di kemudian hari, justru kedudukan rangkap sebagai staf PAU sekaligus staf Jurusan Kimia ini akhirnya membuat Enny kekurangan waktu melanjutkan penelitiannya dalam bioteknologi. “Macetnya kegiatan meneliti doktor-doktor Indonesia setelah kembali dari luar negeri terutama yang mengajar di lembaga perguruan tinggi mungkin disebabkan oleh beban mengajar yang menyita waktu,” ujarnya ketika hadir dalam acara diskusi dengan pemenang Nobel Fisika Dr Heinrich Rohrer pecan lalu di LIPI.
Namun mantan Ketua Batan Prof. A Baiquni, PhD yang menjadi pemandu dalam perbincangan dengan Rohrer itu mengingatkan, pekerjaan rangkap meneliti dan mengajar di perguruan tinggi AS misalnya, merupakan hal yang lumrah.
“Saya setuju tugas rangkap, asalkan tugas mengajar yang diberikan itu sesuai dengan bidang riset yang kita lakukan masing-masing. Tapi yang tak masuk di akal saya, saya masih harus mengajar Kimia Dasar dan Kimia Organik yang membutuhkan waktu banyak dari persiapan sampai memberikan kuliah, dan memeriksa ujian,” kata Enny menentang pendapat Baiquni.
Enny wajar saja bersemangat menggugat tugas rangkap itu. Berangkat dari rumah enam hari seminggu pukul sembilan pagi dan pulang paling cepat pukul enam sore. Waktunya di rumah untuk anak-anaknya praktis hanya ada pada malam hari. Itu pun dua jam dari empat jam yang tersisa, dia gunakan untuk memeriksa pekerjaan rumah anak-anaknya dalam matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Betul, suaminya tak keberatan dengan waktu yang amat pendek berada di rumah. ”Toh, menurut Islam yang kami yakini dan kami sepakati, saya tetap pemimpin di tengah keluarga kami,” kata Tjundoko tentang istrinya yang sibuk itu.
Rasanya kalau kegiatan meneliti tak hanya dilakukan untuk mendapatkan gelar doktor, sesudah itu yang bersangkutan hanya akan menjadi bekas peneliti, usul Enny tampaknya perlu dipertimbangkan para pengambil keputusan di Jurusan Kimia ITB atau di perguruan tinggi pada umumnya. Bukankah banyak yang berminat menjadi staf pengajar di perguruan tinggi negeri?
All we like sheep have gone astray (Yuni lkawati/Salomo Simanungkalit)
Sumber: Kompas, 27 September 1992